Kanal

Satu Daun, Satu Shalawat


Ada seorang nenek tua penjual bunga cempaka. Ia menjual bunganya di pasar, setelah berjalan kaki cukup jauh. Usai berjualan, ia pergi ke Masjid Agung di kota itu. Ia berwudhu, masuk masjid, dan melakukan shalat Zhuhur. Setelah membaca wirid sekadarnya, keluar dari masjid dan membungkuk-bungkuk di halaman masjid. Si Nenek mengumpulkan dedaunan yang berceceran di halaman masjid.

Saya dapat cerita di bawah ini dari alm KH Jalaluddin Rakhmat. Beliau mendapatkannya langsung dari KH Zawawi Imron, penyair cum ulama yang lahir dan besar di tanah Madura, saat sang ulama bertandang dan menginap di Bandung.

Dulu, di sebuah kota di Madura, ada seorang nenek tua penjual bunga cempaka. Ia menjual bunganya di pasar, setelah berjalan kaki cukup jauh. Usai berjualan, ia pergi ke Masjid Agung di kota itu. Ia berwudhu, masuk masjid, dan melakukan shalat Zhuhur. Setelah membaca wirid sekadarnya, keluar dari masjid dan membungkuk-bungkuk di halaman masjid. Si Nenek mengumpulkan dedaunan yang berceceran di halaman masjid.

Selembar demi selembar dikaisnya. Tidak satu lembar pun ia lewatkan. Tentu saja agak lama ia membersihkan masjid dengan cara itu. Padahal matahari Madura di siang hari sungguh menyengat. Keringat membasahi seluruh tubuh Si Nenek.

Banyak pengunjung masjid jatuh iba kepadanya. Pada suatu hari, takmir masjid memutuskan untuk membersihkan dedaunan itu sebelum perempuan tua itu datang. Pada hari itu, Si Nenek datang dan langsung masuk masjid. Usai shalat, ketika ia ingin melakukan pekerjaan rutinnya, ia terkejut. Tidak ada satu pun daun terserak di situ. Ia kembali lagi ke masjid dan menangis dengan keras. Ia mempertanyakan mengapa daun-daun itu sudah disapu sebelum kedatangannya. Orang-orang menjelaskan bahwa mereka kasihan kepadanya. “Jika kalian kasihan kepadaku,” kata Nenek itu, “berikan kesempatan kepadaku untuk membersihkannya.”

Singkat cerita, Nenek itu dibiarkan mengumpulkan dedaunan itu seperti biasa. Seorang kiai yang terhormat diminta untuk menanyakan kepada perempuan tua itu mengapa ia begitu bersemangat membersihkan daun-daun. Perempuan tua itu mau menjelaskannya dengan dua syarat: pertama, hanya kiai yang mendengarkan rahasianya; kedua, rahasia itu tidak boleh disebarkan ketika ia masih hidup. Saat KH Zawawi Imron menceritakan kisah itu kepada alm Pak Jalal, Si Nenek sudah berpulang.

“Saya mi perempuan bodoh, Pak Kiai,”kata Si Nenek. “Saya tahu amal-amal saya yang kecil itu mungkin juga tidak benar saya jalankan. Saya tidak mungkin selamat pada Hari Akhirat tanpa syafaat Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Setiap kali saya mengambil selembar daun, saya ucapkan satu shalawat kepada Rasulullah. Kelak, jika saya mati, saya ingin Kanjeng Nabi Muhammad Saw menjemput saya. Biarlah semua daun itu bersaksi bahwa saya membacakan shalawat kepada beliau.”

Usai menceritakan itu, kepada kami Pak Jalal berkata bahwa kisah itu mengajarkan kita untuk tidak mengandalkan amal-amal kita. Kita harus menghindari ‘ujub yang menjatuhkan diri kita dari haribaan Tuhan. Kita harus selalu rendah hati. Senyampang itu, kisah itu juga mengungkapkan kecintaan yang tulus kepada Nabi Muhammad SAW. Semua itu keluar dari kepolosan penduduk desa. Kepandaian dan pendidikan dapat meningkatkan intelek sama jauhnya dengan menurunkan ruhani kita. Konon, seorang alim yang termashyur pernah berdoa, “Ya Allah, jangan cabut dariku rohnya orang awam.” Ada kearifan orang awam disajikan kepada kita lewat cerita-cerita kecil.

Misalnya, tentang pengakuan seorang mantan napi, yang menemukan Tuhan di penjara. “Dalam shalat dan zikir, saya merasa mendapat belaian kasih sayang Allah sehingga dada saya sering basah oleh air mata. Yang membuat saya sangat malu, bila istri mengirimkan makanan ke penjara. Ada hal yang membuat dunia menjadi terbalik. Sebenarnya sayalah yang harus memberi makan istri saya. Tetapi, kenyataannya, istri yang memberi makan.”

Back to top button