Market

Warga Seruyan Kalteng Bongkar Limbah Sawit, Malah Temukan Lahan Sinarmas Tanpa HGU

Keluhan warga desa di Kecamatan Danau Sembuluh, kabupaten Seruyan Provinsi Kalimantan Tengah, tentang pencemaran limbah sawit ke Sungai Seruyan pada tahun 2014, baru membuhkan hasil pada tahun 2019. Akhirnya, Pengadilan Tipikor menghukum tiga pejabat PT Sinarmas Group, 1 tahun 8 bulan.

Ketiganya, yakni Edy Saputra Suradja selaku Wakil Direktur Utama PT SMART Tbk. Edy juga menjabat Direktur/Managing Director PT Binasawit Abadi Pratama (BAP). Sedangkan Willy Agung Adipradhana selaku Direktur Operasional Sinarmas Wilayah Kalimantan Tengah IV, V dan Gunungmas. Willy juga menjabat sebagai Chief Executive Officer (CEO) Perkebunan Sinarmas untuk wilayah Kalimantan Tengah-Utara.

Satu terdakwa lainnya, yakni Teguh Dudy Syamsuri Zaldy selaku Department Head Document and License Perkebunan Sinarmas Wilayah Kalimantan Tengah-Utara.

Putusan Pengadilan Tipikor pada 13 Maret 2019 menjelaskan ketiganya dihukum 1 tahun 8 bulan penjara dan membayar denda Rp 100 juta subsider 2 bulan kurungan.

Putusan tersebut karena perusahaan Sinarmas Group di Kalimantan Tengah, tepatnya di aliran sungai Seruyan, mengabaikan pencemaran yang dirasakan masyarakat setempat. Sebab, sejak tahun 2014, masyarakat Seruyan menduga ada pencemaran limbah sawit di Danau Sembuluh, Seruyan, Kalteng.

Apalagi jaringan bisnis Sinarmas Group yang berada di wilayah tersebut, PT Sinar Mas Agro Resources dan Technology (SMRT) dan PT Bisasawit Abadi Pratama (BAP) karena tidak memiliki izin Hak Guna Usaha (HGU) dan tidak adanya Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPH). Bahkan belum ada plasma yang dilakukan oleh PT Binasawit Abadi Pratama (BAP).

Pertengahan Juni 2019, situs lingkungan Mongabai.co.id menurunkan laporan panjang tentang keluhan warga Seruyan. Kalteng. Dimas Novian Hartono, Direktur Eksekutif Walhi Kalteng mengatakan, sejak perkebunan sawit masuk wilayah ini awal 2000, banyak persoalaan dihadapi masyarakat sekitar danau terutama Desa Sembuluh I dan II dari pencemaran sampai konflik lahan.

Keluhan saat itu, Danau Sembuluh terancam limbah dari domestik maupun limbah cair pabrik minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) yang mengalir ke sungai yang bermuara ke Danau Sembuluh ini.

Danau Sembuluh, berada di Kabupaten Seruyan, Kalteng, tercemar berat diduga karena pembuangan limbah pengolahan pabrik sawit. Danau terbesar di Kalteng ini seluas 7.832,5 hektar dan panjang 35,68 kilometer. Ia tempat bermuara sungai-sungai besar dan kecil seperti Sungai Kupang, Rungau, dan Ramania.

Sebelum perkebunan sawit mengepung Danau Sembuluh, ia sumber penghidupan bagi warga enam desa di sekelilingnya, yakni, Desa Sembuluh I dan II, Bangkal, Tebiku, Terawan dan Dusun Lampasa.

Danau Sembuluh biasa digunakan warga untuk jalur transportasi, perikanan dan sumber air minum. Kondisi berubah. Air di danau itu kini tercemar.
Cacatan Walhi Kalteng, ekspansi perkebunan sawit masif di daerah itu mengubah bentang alam. Hutan sekitar, beralih fungsi menjadi perkebunan sawit. Pabrik-pabrik pengolahan sawit juga dibangun. Kualitas air memburuk. Ikan banyak mati. Air juga tak layak konsumsi.

Penderitaan panjang masyarakat Seruyan seakan hanya ditelah bumi dan terbang terbawa angin. Sebelum akhirnya, publik dikejutkan dengan Operasi Tangkap Tangan OTT) KPK pada akhir 2018. OTT tersebut mengamankan 14 orang yang diduga penerima suap yaitu anggota Komisi B DPRD Kalteng dan pihak penyuap yaitu PT Direktur PT Bina Sawit Abadi Pratama (PT BSAP) dan Wakil Direktur PT Sinar Mas Agro Resources (PT SMAR).

Langkah KPK tersebut berkaitan dengan masalah lingkungan, kehutanan dan perkebunan termasuk perijinan atas 72.120 Ha lahan di Kabupaten Seruyan sekitar Danau Sembuluh di Kalteng tersebut.

Menurut KPK, diamankannya ke-14 orang dan barang bukti Rp 240 juta itu, yang diduga berkaitan dengan pencemaran lingkungan pembuangan limbah sawit PT BSAP ke Danau Sembuluh, danau terluas di Kalimantan itu.

Suap tersebut dimaksudkan untuk menunda sidang DPRD yang akan membahas masalah limbah sawit buangan pabrik pengolahan PT BSAP, anak perusahaan raksasa Sinar Mas Group ke Danau yang sudah lama diprotes masyarakat. Limbah pabrik PT BSAP tersebut sangat mengganggu lingkungan hidup. Kasus ini pun menyeret empat wakil rakyat di DPRD Provinsi Kalimantan Tengah.

Dalam keterangannya, dua Wakil Ketua KPK, Basaria Pandjaitan dan Laode M. Syarief serta Kepala Biro Penerangan KPK Febri Diansyah, bahwa PT BSAP dan atau PT SMAR yang memiliki luas lahan perkebunan 72.120 ribu Ha itu telah beroperasi sejak 2006.

Namun perusahaan pemilik lahan itu belum memiliki HGU serta tidak jelas pejabat dan waktu izinnya dikeluarkan. Ini termasuk pengalihan fungsi sebab lahan 72.120 ribu Ha itu termasuk kawasan hutan.

Dengan terungkapnya kasus ini, mengidikasikan sejak tahun 2006 PT BSAP/PT SMAR itu gratis menguasai lahan 72.120 ribu Ha. Berapa keuntungan yang sudah diraup PT BSAP/PT SMAR selama itu? Bagaimana dahulu tanah itu bisa jatuh ke tangan perusahaan serta siapa yang bertanggung jawab?

Kalau sekarang yang dicurigai menguasai lahan 72.120 ribu Ha tanpa HGU dan mengelolanya menjadi perkebunan sawit, sekarang mencemari lingkungan lagi dan berusaha membungkam melalui pencegahan pembahasan DPRD. Artinya niat tidak baik perusahaan itu menjadi beranak-pinak secara struktural dan terprogram.

Mulai dari penyerobotan tanah, menguasai lahan rakyat tanpa hak, mencemari lingkungan hidup yang merusak hidup dan kehidupan masyarakat. Duh, tidak dapat dibayangkan betapa besar kerugian masyarakat, bangsa dan negara akibat ulah para pengusaha seperti itu.

Keuntungan yang diberikan perkebunan kelapa sawit maupun jenis tanaman lainnya menghasilkan devisa bagi negara serta memberikan lapangan kerja bagi masyarakat. Selain itu perusahan itu memang berkontribusi menumbuhkan atau meningkatkan perekonomian lokal dan nasional. Tetapi apakah kerugian negara dan pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukannya bertahun-tahun dapat ditolerir?

Usai putusan Pengadilan Tipikor tersebut, pihak PT Binasawit Abadi Pratama (PT BAP) yang diwakili Teguh Dudy Syamsury Zaldy sempat membantah temuan pencemaran tersebut. “Bapak bisa cek sendiri di lapangan, tidak ada itu. Itu yang ikan mati itu bukan pencemaran lingkungan,’ begitu pak,” katanya kala itu.

Sedangkan terkait dengan izin hak guna usaha dan izin pinjam pakai kawasan hutan, Asera mengatakan saat itu pihak BAP mengklaim sedang mengurus izin tersebut. Padahal, berdasarkan dakwaan KPK, PT BAP telah beroperasi di Kalimantan Tengah selama lebih dari 10 tahun sejak tahun 2006.

Back to top button