Kanal

Pelajaran Semiotika dari Putusan Mahkamah Konstitusi


Masalahnya, bagi publik yang menyaksikan di ranah parole, ketidakberetikaan dan ketidakpunyarasamaluan itu menjijikkan. Dan ketika ia berkelindan di dalam domain hukum, publik akan melihatnya sebagai kejahatan juga, kejahatan yang menyakitkan sebab ia menghina akal sehat dan mengganggu tatanan kehidupan berkebangsaan yang idealnya tunduk pada hukum itu sendiri.  

Oleh     :  Acep Iwan Saidi

Setidaknya terdapat dua pelajaran semiotika dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (22/04).

Pertama, terlepas karena dikhianati atau tidak, hukum adalah langue (sistem bahasa) yang, karena itu, bersifat menggenarilisasi dan mereduksi. Sedangkan perilaku (moralitas dan etika) adalah parole (praktik penggunaan bahasa keseharian yang renik dan kompleks). 

Perilaku yang renik dalam keseharian yang kompleks—sebagai sebuah pengalaman takterbahasakan—sedemikian memang tidak terdeteksi oleh sistem bahasa (hukum), apalagi jika para penegak hukumnya tidak memiliki imajinasi dan kepekaan sosial. Itu mengapa, misalnya, relasi ayah-anak-dan paman yang secara kasat mata dilihat banyak pihak sebagai sindikat yang mempermainkan hukum tidak terditeksi oleh hukum itu sendiri. 

Tidak ada bukti “hukum dokumentatif” yang  mengidentifikasi bahwa tindakan itu dapat disebut nepotisme yang melanggar hukum. Ya. Bukti itu letaknya memang pada “pengalaman takterbahasakan”. Seperti orang yang tidak punya rasa malu, bukankah ia juga tidak melanggar hukum. Tidak ada hukuman buat orang yang tidak beretika dan tidak punya rasa malu.

Masalahnya, bagi publik yang menyaksikan di ranah parole, ketidakberetikaan dan ketidakpunyarasamaluan itu menjijikkan. Dan ketika ia berkelindan di dalam domain hukum, publik akan melihatnya sebagai kejahatan juga, kejahatan yang menyakitkan sebab ia menghina akal sehat dan mengganggu tatanan kehidupan berkebangsaan yang idealnya tunduk pada hukum itu sendiri. Akibatnya, ketika pelaku ketidakberetikaan dan ketidakpunyarasamaluan dalam konteks demikian tidak diberi sanksi (hukuman), publik akan melihat hukum sebagai “institusi kejahatan” juga. Ia telah menyakiti hati nurani publik.

Kedua, dalam pilpres 2024, problematika keseharian (parole) yang darinya sebagian pihak (akademisi, cendikiawan, budayawan, mahasiswa) menangkap “titik-titik kebenaran” yang harus diselamatkan, digiring ke dalam ruang politik yang gelap dan penuh intrik. 

Di situ, tindakan menyelamatkan kebenaran dituduh sebagai tindakan politik keberpihakan. Maka etika adalah “ndasmu”. Seorang menteri bahkan menuduh bahwa moralitas kampus itu omong kosong. “Jangan ngomong moralitas, lah, memang saya tidak tahu moralitas guru besar itu”, demikian kurang lebih menteri tersebut berujar. Dengan cara itu, “titik-titik kebenaran” tadi dilenyapkan, setidaknya dibiaskan. Dan semuanya memang raib di hadapan mahkamah.

Secara semiotik, dua pelajaran di atas merupakan dua penanda yang sejak awal sebenarnya telah menunjukkan wujudnya, sebagai sebuah “kode proaretik atau naratif” (Roland Barthes). Bagaimanapun, perilaku manusia tidak berada di luar narasi, tetapi justeru membentang dalam spektrum sejarah yang selalu tidak bisa menghindar dari hukum kausalitas. Apa yang diputuskan MK sebenarnya hanya merupakan tindakan yang melegitimasi narasi tadi, yang dalam semiotika Peirce disebut legisign (tanda yang legitimate). 

Secara general (qualisign) maupun spesifik (sinsign), Indonesia—setidaknya dalam dua periode rezim pemerintahan terakhir—merupakan bangunan bahasa yang ringkih. Negara dibangun melalui elemen-elemen tanda bahasa yang satu sama lain saling dibenturkan. Indonesia, sejauh ini, adalah kontruksi tanda yang keropos.

Lantas, apa kabar masa depan? Tidak ada tanda yang definitif. Yang pasti, masa depan adalah hari tua, masa ketika tulang kian keropos! [dsy]

*Pengajar pada Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB, Bandung. Pembelajar dan pemerhati semiotika. 

Back to top button