News

Undang-undang Kesehatan: Beleid Berbahaya di Ujung Kuasa

Penghapusan mandatory spending dalam UU Kesehatan yang baru disahkan DPR, meski rawan persoalan seiring kriteria baru PBB tentang negara gagal sistemik, tidak lantas membuat negara lepas tangan dalam pemberdayaan kesehatan rakyat. Kurangnya sosialisasi dan transparansi selama penggodokan UU tersebut, menurut Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), layak dibatalkan.

Ketika Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dengan cergas menjawab pertanyaan wartawan tentang dihapusnya kewajiban belanja minimal (mandatory spending/MS) dalam UU Kesehatan yang resmi diundangkan pada Selasa (11/7/2023), jelas ia tak menduga akan datang urusan yang besar hanya dalam hitungan hari. Menjawab pertanyaan bertubi, kritis, kadang terkesan nyinyir khas wartawan, Menkes Budi pada hari diketok resminya undang-undang itu oleh Rapat Paripurna ke 29 Masa Sidang V tahun 2022-2023 DPR RI itu, datang dengan data.

“Besarnya spending tidak menentukan kualitas dari outcome,”kata Menkes di Kompleks DPR RI, dengan gaya yang kian khas para menteri kita—mencampur kata dari berbagai bahasa. Sederhananya, Menteri Budi menegaskan, ketentuan besarnya MS– pengeluaran negara yang sudah diatur dalam UU–tidak menentukan kualitas dari keluaran atau hasil yang dicapai.

“Kita ingin mendidik masyarakat, butuh bantuan dari teman-teman bahwa jangan kita meniru kesalahan yang sudah dilakukan banyak negara lain, yang buang uang terlampau banyak tanpa ada hasilnya,” kata Budi. Ia mencontohkan negara dengan MS besar seperti Amerika Serikat, menurut dia ternyata tidak mendukung harapan hidup masyarakatnya. “Amerika dengan 12 ribu dolar AS, rata-rata usianya 80. Kuba dengan 1.900 dolar AS rata-rata usianya juga 80, mereka terluntang-lantung,” kata Budi.

Menkes - inilah.com
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam jumpa pers yang di Jakarta, Rabu (16/9/2020). (Foto: Antara/HO-Biro Pers Setpres/Muchlis Jr/aa (Handout Biro Pers Sekretariat Presiden/Muchlis Jr)

Sementara Jepang dan Korea Selatan yang MS -nya sedikit, yakni 4.800 dolar dan 3.600 dollar, usia harapan hidup mencapai 80 tahun. Malah Singapura, kata Budi, punya hasil 84 tahun dengan MS sebesar 2.600 dolar. Dengan alasan itulah, UU Kesehatan menghilangkan pasal aturan mandatory spending, yang dalam aturan sebelumnya, pasal 171 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, diatur besarannya, yakni lima persen dari APBN dan 10 persen dari APBD, di luar gaji.

Entah bagaimana Tuhan mengatur, sehari setelahnya, pada 12 Juli, di sebuah gedung istimewa, Markas Besar PBB, New York City, AS, Sekretaris Jenderal  PBB, António Guterres, mengeluarkan pernyataan penting. Intinya, negara yang membayar bunga pinjaman lebih besar dari anggaran kesehatan atau pendidikan, bisa digolongkan sebagai negara gagal sistemik.

Sejatinya, saat pernyataan itu keluar dari lisan Guterres, waktu itu pula Indonesia otomatis seolah telah menjadi negara “pariah”. Menurut orang pertama yang membawa wacana tersebut ke Indonesia via medsos, Direktur Pelaksana Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan, Indonesia langsung masuk ke dalam ‘taksonomi’ tersebut. Anthony menjelaskan, mengacu pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di tahun 2022, total bunga utang Indonesia melebihi anggaran biaya pendidikan dan kesehatan yang ada. “Biaya kesehatan tercatat Rp176,7 triliun, dan bunga pinjaman Rp386,3 triliun. UN Chief, Antonio Guteress, menyatakan negara yang membayar bunga pinjaman lebih besar dari anggaran kesehatan atau pendidikan masuk kategori negara gagal sistemik,” kata Anthony.

‘Negara gagal’ sistemik

Bagi Indonesia, meski bisa diremehkan dengan sekian banyak alasan, pernyataan Sekjen PBB Guterres praktis menohok keras ulu hati. Digolongkan negara gagal (sistemik) tentu berbanding terbalik dengan kondisi di mana seorang kepala negara dianugerahi Nobel Perdamaian, misalnya, yang bisa mencelatkan kebanggaan hingga ke luar angkasa.

Pbb - inilah.com
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres saat konferensi pers di markas PBB New York, Amerika Serikat (20/11/2020). (Foto: Antara/Reuters/Eduardo Munoz/aa)

Istilah “negara gagal” sendiri bukan hal baru, dan sejak lama pun mengandung pengertian buruk. Sejak lama, tempelan ‘’negara gagal” bisa membuat suatu negara kontan menjadi ‘penderita kusta’ di antara relasi antarnegara. Setidaknya istilah itu mengemuka kuat saat ekonom Swedia, Gunnar Myrdal, penerima Hadiah Nobel Ekonomi pada tahun 1974 bersama  Friedrich A. Hayek, merilis bukunya yang fenomenal,”Asian Drama: An Inquiry into the Poverty of Nations” pada 1968. Terminologi ‘negara gagal’ kerap disebut-sebut dalam buku itu.

Malangnya, saat itu pun Indonesia disebut-sebut dalam buku hasil riset 10 tahun lebih tersebut. Di buku itu Myrdal memasukkan Indonesia ke dalam kategori negara lunak (soft state). Meski belum ‘negara gagal’, menurut Myrdal negara jenis ini bercirikan peluang kuat kebangkrutan ekonomi, merebaknya kemiskinan, disertai merajalelanya praktik korupsi akibat ketidakmampuan negara mencipta dan menerapkan hukum yang jelas dan tegas.

Terma ‘negara gagal’ juga diangkat pakar linguistik cum aktivis, Noam Chomsky, dalam bukunya yang terbit 2006,”Failed States: The Abuse of Power and the Assault on Democracy”. Tak tanggung-tanggung, di buku itu Chomsky menyebut Amerika Serikat telah menjadi “negara gagal”, dan dengan demikian menjadi bahaya bagi rakyatnya sendiri dan dunia. Mengapa? Karena menurut Chomsky, sebuah negara dikatakan gagal bila ia tak mampu “untuk memberikan keamanan bagi penduduk, untuk menjamin hak-hak di dalam negeri atau di luar negeri, atau untuk mempertahankan berfungsinya lembaga-lembaga demokrasi (bukan hanya formal).”

Bila tokoh dan media kita sering mengutip Francis Fukuyama, justru ilmuwan sosial penulis “The End of History and The last Man” dan “Trust” itu sering bicara miring soal Indonesia. Sejak reformasi, kata dia, Indonesia justru menjadi negara lemah manakala yang terjadi adalah kian meningkatnya potensi konflik horizontal di masyarakat, bertahannya tingkat kemiskinan, serta masih adanya makhluk kuno bernama kelaparan.

Pokoknya, ‘negara gagal’ itu nggak pernah mendatangkan untung. Yang ada bahkan buntung. Tentang masuknya Indonesia ke dalam kriteria buruk yang diungkap Sekjen PBB itu, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Ariyo DP Irhamna, mengatakan sependapat dengan Anthony Budiawan. “Pernyataan (Sekjen) PBB itu betul. Kita masuk salah satunya, dengan indikator demikian,” kata Ariyo.

Yang merugikan, kata alumnus University of Birmingham, Inggris, dalam Economics Development itu, salah satunya dampaknya negara kita akan terjebak sebagai negara dengan pendapatan menengah terus-menerus.”Artinya kita masuk ke dalam middle income trap (perangkap negara berpendapatan menengah). Tidak akan (pernah) bisa menjadi negara maju,” kata Ariyo. Menurut dia, kunci menjadi negara maju adalah kualitas sumber daya manusia (SDM). “Sementara SDM itu terkait erat dengan pendidikan dan kesehatan.”

Karena itu, Ariyo dengan tegas menyatakan penolakan atas penghapusan MS yang dinyatakan UU Kesehatan. “Meskipun kata Pak Menteri (Kesehatan) ini bisa jadi lebih tinggi daripada kalau ada di Anggaran Kesehatan, tapi bisa jadi lebih rendah kalau dihapus,”kata dia. Poin pentingnya, penghapusan itu membuat negara tak lagi punya kewajiban untuk mengalokasikan Anggaran Kesehatan sebesar lima persen.

Meski diketahui tujuh dari sembilan fraksi di DPR RI menerima UU tersebut, tak berarti tak ada penolakan kuat. Anis Byarwati, anggota Komisi XI dari F-PKS, menilai bagaimanapun hilangnya MS di UU Kesehatan baru itu sebuah langkah mundur dari pemerintah. Dia berkukuh menyatakan, penyediaan anggaran tersebut merupakan jaminan pemerintah bagi pembangunan bidang Kesehatan, sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia.

“Adanya mandatory spending sebagai belanja negara yang sudah diatur undang-undang, juga menunjukkan bahwa pemerintah hadir dan bertanggung jawab atas kesehatan. Anis berkata, alih-alih menghapus, Fraksi PKS bahkan mengusulkan adanya penambahan alokasi anggaran Kesehatan. “Tetapi justru ketentuan ini malah dihapuskan dengan berbagai macam dalih,” kata Anis.

Ia juga mengingatkan bahwa kesehatan adalah salah satu hak dasar bagi semua penduduk yang pemenuhannya menjadi tanggung jawab negara dan dijamin Konstitusi. “Jelas diatur dalam UUD RI 1945, Pasal 28H ayat (1), bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berhak memperoleh pelayanan Kesehatan,” kata dia.

Rs - inilah.com
Sejumlah tenaga medis memberikan pelayanan kepada pasien di Rumah Sakit Anutapura, Palu, Sulawesi Tengah, Jumat (25/1/2019). (Foto: Antara/ Basri Marzuki/wsj)

Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), melalui CEO-nya, Diah Satyani Saminars, menyampaikan rasa prihatin sehubungan fakta lenyapnya keharusan tersebut. “Hilangnya mandatory spending anggaran kesehatan membuat tidak ada jaminan atau komitmen perbaikan untuk menguatkan sistem kesehatan di tingkat pusat maupun daerah,” kata Diah. Padahal, kata Diah, selama ini pun masih ada 58 dari 514 kabupaten/kota di Indonesia yang proporsi anggaran kesehatannya di bawah 10 persen pada 2021, dengan distribusi alokasi yang timpang.

Kepala Pusat Ekonomi Makro dan Keuangan Indef, M Rizal Taufikurahman, khawatir dihapusnya MS itu akan berpengaruh terhadap target yang akan dicapai, seperti target prioritas stunting, perbaikan alat dan fasilitas kesehatan, bahkan kualitas pelayanan kesehatan. Yang lebih dikhawatirkan Rizal, program kesehatan pemerintah akan sulit terlaksana dengan dalih keterbatasan anggaran. “Selain itu kebijakan tersebut juga akan memberatkan konsumen. Yang sebelumnya ditanggung oleh pemerintah, ke depan akan dibebankan kepada masyarakat sebagai pengguna dari jasa kesehatan ini,” kata dia.

Soal ketiadaan jaminan untuk program-program penting pemerintah, semisal pemberantasn stunting, itu juga diamini Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira. Padahal, kata dia, banyak daerah masih memiliki tingkat stunting yang tinggi. Dengan didasari kekhawatiran porsi anggaran kesehatan dalam APBN tidak akan mencapai lima persen, Bhima cemas akan terjadi liberasi dana kesehatan yang lebih banyak mengandalkan peran swasta alias menjadi-jadinya komersialisasi di sektor kesehatan. “Hal itu jelas akan mempersulit masyarakat miskin mendapatkan hak kesehatan,” kata Bhima.

Tentang alasan pemerintah bahwa penghapusan MS karena selama ini banyak anggaran yang digunakan tidak jelas, bagi Bhima tidaklah tepat. Bukankah, kata dia, ada Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang bisa melakukan tindak lanjut terhadap kementerian atau lembaga terkait agar memperbaiki kualitas belanja kesehatan? “(Saya) Khawatir, mandatory spending yang dicabut dalam Omnibus Law Kesehatan sebenarnya bukan untuk memperbaiki anggaran Kesehatan, tapi lebih memperkecil kontribusi anggaran kesehatan terhadap peningkatan defisit APBN,”kata Bhima. Ia juga menilai, tidak adil jika MS Kesehatan dihapus, tetapi proyek-proyek seperti IKN dan pembangunan infra-struktur justru mendapatkan porsi sangat besar dalam APBN. “Bagaimanapun kesehatan adalah hak utama masyarakat, bahkan di atas hak untuk mendapatkan infrastruktur jalan tol yang layak.”

Lebih jauh, anggota BPJS Watch, Timboel Siregar, melihat secara yuridis langkah pengundangan UU Kesehatan itu bertentangan dengan Tap MPR no. X/MPR/2001 di Poin 5a huruf 4 yang berbunyi : Menugaskan kepada Presiden untuk mengupaya-kan peningkatan anggaran kesehatan 15 persen dari APBN.

Timboel bahkan was-was jumlah peserta penerima bantuan iuran (PBI) yang dibiayai iurannya APBN dan APBD akan dikurangi. “Hal itu berarti akan semakin banyak rakyat miskin yang dinonaktifkan dari Jaminan Kesehatan Nasional (JKN),” kata Timboel.

Dengan sejumlah alasan tersebut jika CISDI mendesak Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membatalkan UU Kesehatan yang baru saja disahkan tersebut. CISDI juga mengecam keras pemerintah dan DPR RI yang menurut mereka tidak melibatkan publik secara bermakna, inklusif, partisipatif, dan berbasis bukti, dalam proses penyusunan dan pengesahan RUU Kesehatan.  “Pengesahan RUU Kesehatan menjadi UU membuktikan pemerintah dan DPR RI mengabaikan aspirasi masyarakat sipil. Kami mengecam proses perumusan undang-undang yang seharusnya inklusif, partisipatif, transparan, dan berbasis bukti,” kata CEO CISDI, Diah Satyani Saminars.

‘Hilangnya’ negara

Silang sengkarut wacana dalam UU Kesehatan tersebut wajar mengingatkan kita pada filosofi kelahiran sebuah bangsa atau negara.  Merujuk pemikir besar politik dan kenegaraan, Ernest Renan, sejatinya bangsa adalah sebuah sukma bersama yang dicerminkan oleh perasaan cinta dan ikut memiliki suatu peninggalan yang kaya, tempat bersama-sama meneruskan sebuah warisan agung di satu sisi, dan hasrat untuk hidup bersama menempuh masa depan di sisi lain. Karena itu bangsa pun pada akhirnya adalah resultante (istilah fisika untuk perpaduan aneka ‘gaya’) dari banyak cita-cita dan cinta.

Lebih tua lagi pemikiran filsuf Prancis, Jean Jacques Rosseau, yang percaya bahwa hubungan antara warga dengan negara yang mereka cintai sejatinya sebuah—seperti judul bukunya–kontrak sosial. Dalam “Du Contrat Social ou Principes du Droit Politique” (1762), Rousseau menegaskan bahwa warga akan rela berjuang dan berkorban untuk negara karena yakin bahwa negara pun punya kewajiban untuk menjaga, mengamankan dan menyejahterakan dirinya.

Sebagian besar pengamat, praktisi kesehatan, ekonom dan warga biasa yang terlibat dalam wacana ini, baik di media arus utama maupun medsos, umumnya mengaitkan hilangnya MS dengan ‘hadirnya’ negara dalam urusan pemberdayaan public. Bagi sebagian warga, hilangnya MS otomatis berarti lenyapnya komitmen pemerintah (pusat) dalam pembiayaan pendanaan kesehatan warga.

Pemerintah masih akan hadir  

Di lain pihak, pemerintah punya versi lain soal penghilangan MS tersebut. Sebagaimana penjelasan yang dikemukakannya pada hari UU Kesehatan diundangkan, Menkes Budi Gunadi mengatakan, jika Indonesia terus terfokus kepada spending atau dana, akan banyak tanggungan yang dirasakan masyarakat dan pemerintah. “RI sekarang per kapitanya 132, kalau usianya 72, itu ada sekitar 11 ribu dolar AS tambahan yang ditanggung masyarakat dan pemerintah. Sebelas ribu dolar kali 270 juta penduduk. Itu bisa dihitung berapa triliun dolar? Itu kalau kita fokusnya ke spending,” ujar dia.

Karena itulah, kata Budi, sistem Kesehatan seharusnya tidak terfokus pada spending, melainkan pada program. Menurut Menkes Budi, yang utama adalah adanya commitment spending anggaran dari pemerintah untuk memastikan program-program di sektor kesehatan bisa berjalan.

Pernyataan Budi dikuatkan Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, Isa Rachmatarwata.  Ia menjamin belanja di sektor kesehatan akan tetap ada, meski besarannya tak lagi diatur minimal lima persen dari APBN dan 10 persen dari APBD. “Jadi enggak usah khawatir bahwa kita nggak akan mencukupi kebutuhan-kebutuhan itu. Tapi kita juga nggak ingin, sudah dialokasikan, ternyata nggak bisa digunakan karena nggak tahu mau belanja apa,” kata Isa.

Sementara tentang pernyataan Anthony Budiawan soal telah masuknya Indonesia sebagai negara gagal sistemik, Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo membantahnya. Ia menegaskan, anggaran kesehatan dalam APBN tersebut jika ditambah dengan anggaran kesehatan dalam APBD, jumlahnya lebih besar dari Rp386,3 triliun dana cicilan utang. “Anggaran kesehatan kemarin belum saya tambahkan yang dialokasikan via APBD, sebesar Rp249 triliun, sehingga total anggaran kesehatan RI itu Rp426 triliun. Masih di atas biaya bunga Rp386 triliun,” cuit Yustinus dalam akun Twitter @prastow, Kamis (20/7/2023).

Para anggota DPR RI pro-UU Kesehatan yang ditemui Inilah.com juga rata-rata tidak mempersoalkan hilangnya MS tersebut. Anggota Komisi IX dari F-PAN, Saleh Partaonan Daulay, yakin dan memastikan bahwa penghapusan MS dipastikan tidak akan berpengaruh kepada pelayanan kesehatan masyarakat. “Dipastikan penyediaan anggaran untuk kesehatan itu mengikuti seluruh kebutuhan anggaran pelayanan kesehatan kita. Jadi program-program kesehatan itu nanti akan dibiayai dari APBN, dari anggaran yang memang dimiliki pemerintah,”kata Saleh. Ia menunjuk bukti untuk hal itu dari pembahasan anggaran yang sedang terus berlangsung di DPR.

Nurhadi, anggota Komisi IX DPR dari F-NasDem, menganggap wajar penghapusan MS itu banyak membuat orang apriori. Ia menunjuk sosialisasi yang kurang dari UU Kesehatan yang membuat wacana terhenti pada urusan penghapusan MS semata. Informasi bahwa proses penganggaran dengan menggunakan MS atau anggaran wajib minimum itu berubah menjadi anggaran berbasis kinerja, jarang tersampaikan dengan baik.

Saya yakin, pemerintah bisa mewujudkan rencana anggaran yang nantinya bisa lebih efektif dan efisien berdasarkan kinerja yang dicanangkan leading sector bidang Kesehatan, bukan berdasar pada activity follow money atau kegiatan mengikuti anggaran yang disediakan,”kata dia.  Ia berjanji DPR tidak akan tinggal diam, akan terus memantau dan mengawasi penggunaan anggaran yang berbasis kinerja itu.

Rekan separtai Nurhadi, Irma Chaniago, juga menegaskan bahwa ke depan anggaran akan disesuaikan dengan semua program pemerintah per tahun, di pusat maupun di daerah. Untuk tahu besarnya anggaran, terlebih dulu harus diketahui berapa kebutuhan.

“Sepanjang komitmen pemerintah untuk tidak adanya kemubaziran, menurut saya taka da masalah,”kata Irma. Ia menggarisbawahi keluhan pemerintah bahwa dengan MS yang sudah dipatok, penggunaan anggaran Kesehatan justru banyak yang tidak tepat sasaran. Ia juga mengingatkan bahwa Partai Nasdem menerima UU Kesehatan itu dengan catatan terkait MS sebesar 10 persen. “Jadi, kami akan terus mengawalnya,”kata Irma.

Yang lebih ‘patriotik’ dalam wacana UU Kesehatan ini tampaknya Rahmad Handoyo, aggota Komisi IX dari Fraksi PDIP. Baginya, UU Kesehatan justru sebuah lompatan besar. “Ini lompatan besar, ya. Dengan adanya UU Kesehatan yang sudah disahkan ini, menjadi suatu perbaikan dan berkah buat masyarakat Indonesia,”kata Rahmad pada Inilah.com.

Baginya, soal kesehatan adalah amanah Konstitusi, UUD 1945. Setiap  warga negara berhak mendapatkan kesejahteraan, penghidupan yang layak, termasuk di dalamnya pelayanan kesehatan yang menjadi tanggungan negara. “Mengapa MS dihapuskan, itu karena prinsipnya kesehatan itu bukan menjadi tanggung jawab pemerintah (pusat) semata, melainkan Pemda dan seluruh elemen masyarakat.” Persoalannya, kata dia, bukan pada MS, melainkan pada efektivitas. Yang perlu dipikirkan ke depan, menurut Rahmad, bagaimana kerja sama pemerintah dan rakyat itu bisa membangun kolaborasi yang lebih baik.  [dsy/ Diana Rizky/Clara Ana]

Back to top button