Kanal

Di Beranda Istana Alhambra (2 – Pulang Kampung)

Dari Bandara Adi Sucipto, Yogyakarta, aku terbang dengan menggunakan Citilink. Harga terjangkau, tingkat keselamatan baik, dan pelayanan lumayan, merupakan alasan aku memilih maskapai milik BUMN ini. Setelah mendarat di Bandara Ngurah Rai, kota Denpasar,  aku melihat dua  adikku datang menjemput. Keduanya nampak tersenyum sambil melambaikan tangan, saat melihat aku keluar dari pintu “Kedatangan”.

Adik yang lebih besar bernama Kemal, sedangkan yang lebih kecil bernama Hisyam. Aku terkesiap saat melihat penampilan Kemal yang berubah. Jenggotnya dibiarkan panjang tidak rapi. Bajunya longgar tanpa kerah dan agak panjang sampai hampir sepaha. Bagian bawah celananya digulung sampai di atas mata kaki. Ia menggunakan sandal kulit, bukan sepatu seperti biasanya. Dahinya nampak menebal dan menghitam.

Mungkin anda suka

Aku berusaha menutupi keherananku, sembari bersikap wajar seperti biasanya kalau kami bertemu. Adikku yang satu ini sangat perasa. Maklum dalam pendidikan ia kurang beruntung, juga dalam bidang ekonomi, bila dibanding dengan Hisyam yang rumahnya sangat mewah untuk ukuran di kampung. Hisyam dan istrinya mengelola toko emas, punya bisnis tanah dan properti. Di kampung ia dipandang, disamping sukses dalam bisnis, ia juga dermawan.  Hisyam sering  membantu warga yang kesulitan ekonomi atau tertimpa berbagai musibah, termasuk saat pandemi Covid melanda. Ia dipercaya sebagai pengelola yayasan yatim-piatu yang menyantuni anak-anak yang ditinggal orang tuanya. Ia juga menjadi salah seorang pembina Persyarikatan Muhammadiyah Daerah Buleleng.

Baca Juga: Di Beranda Istana Alhambra (1 – Mendapat Beasiswa)

Kemal segera menyodorkan tangannya hendak bersalaman saat jarak hampir satu meter dariku, seperti biasanya bila kami bertemu. Aku menyambutnya dengan menyodorkan punggung tanganku. Wajahnya spontan berubah.

“Maaf Kita harus mengikuti Prokes!”, kataku menjelaskan.

“Kau percaya dengan Pandemi Covid-19?”, katanya dengan nada bertanya.

“Kau tidak percaya?”, aku balik bertanya untuk menegaskan.

“Bukannya tidak percaya, tetapi terlalu banyak bukti yang menunjukkan bahwa ini bagian dari konspirasi global!”, ungkapnya dengan nada datar.

“Kau terlalu banyak makan  hoax!”, komentarku balik.

Menyaksikan suasana seperti ini, Hisyam memotong dengan cara mengambil tas dari tanganku sembari membawanya ke arah mobil yang diparkir tidak jauh.

“Tunggu di sini, aku akan mengambil mobil agar saat melewati Bedugul langit masih terang!”, serunya.

Aku mengikuti langkahnya, agar kami tidak berdiri berdua dalam suasana seperti ini. Kemal kemudian berjalan di belakangku, dengan kaki yang sekali-sekali dihentakkan ke udara.

Setelah memasukkan tas di bagasi, Hisyam lalu menghidupkan mobil dan menyalakan ACnya. Aku segera mengambil inisiatif untuk duduk di kursi depan disamping sopir. Kemal tidak punya pilihan, kemudian duduk di kursi belakang sendirian.

“Bagaimana keluarga di Yogya?”, tanya Hisyam yang berusaha mengalihkan pembicaraan.

“Alhamdulillah Ipah dan Amir sehat!”, jawabku menjelaskan kondisi istri dan anakku.

“Semua keluarga di Singaraja juga demikian!”, komentarnya.

“Mau bermalam di rumahku atau di rumah Kemal?”, sambungnya.

“Aku mau bermalam di rumah lama.”, jawabku spontan.

Agar jangan ada kesan aku menghindar untuk memilih atau agar terhindar dari tudingan aku memilih rumah yang lebih bagus, kemudian aku berusaha menjelaskan alasannya.

“Aku hanya satu malam berada di sini. Setiap kali aku berada di rumah itu, aku teringat Abah dan Ibu. Juga suasana saat kita masih kecil, bermain, dan sekali-sekali adu mulut”. Kami bersaudara tidak pernah adu fisik. Semua itu memberikan kebahagiaan tersendiri bagiku yang merantau sejak mahasiswa.

“Aku berharap, walaupun kalian sudah memiliki rumah masing-masing yang lebih bagus, janganlah ada fikiran untuk menjualnya!”, kataku dengan nada penuh harap. Mereka berdua hanya diam.

Kemal lalu mengusulkan untuk membuat acara “Sykuran” sederhana dengan mengundang keluarga terdekat, jiran, dan beberapa sahabatku. Aku berusaha sangat hati-hati dalam situasi yang tidak kondusif, kemudian menjawabnya secara tidak langsung: “Saat ini kan situasi masih PPKM, kita diharapkan menghindari kerumunan”.

Kemal meresponsnya hanya dengan mendecakkan bibirnya tanda kecewa. Ia tampaknya memahami ketidak setujuanku.

“Tidak jarang ilmu yang tinggi justru akan menyesatkan!, komentarnya dengan nada menyindir.

“Maksudnya?”, kataku untuk mendapatkan penjelasan lebih lanjut.

“Banyak ilmuwan yang nyeleneh dalam beragama, ada juga yang dengan titel banyak merasa kastanya meningkat, sehingga menjadi kelompok feodal baru!”, komentarnya dengan nada menyerang.

“Semua itu tergantung kita, banyak orang miskin atau gagal dalam pendidikan juga nyeleneh, lalu mencari pelarian mengikuti faham keagamaan tertentu untuk menutupi kegagalannya!”, balasku menyerang balik.

Ia terdiam tidak menjawab, kesempatan ini aku gunakan untuk menasihatinya dengan kalimat:”Semua itu berpulang ke diri kita masing-masing. Di pasar ada orang baik dan ada orang tidak baik, begitu juga di kampus, termasuk di masjid. Apapun posisi kita, apapun profesi kita, dimanapun kita memilih hidup dan kehidupan pasti menghadapi ujian dari Allah, untuk membedakan siapa yang baik dan tidak, siapa yang lulus dan tidak!”.

Setelah melalui jalan yang berkelok di kawasan Bedugul yang hijau dan asri, aku meminta agar jendela mobil dibuka dan AC dimatikan. Aku ingin menghirup uadara segarnya yang alami. Di tempat ini aku dan teman-teman saat SMA suka berekreasi. Ada suasana nostalgia di hati. Aku minta berhenti sejenak di Candi Kuning untuk membeli ayam bakar Taliwang kesukaanku. Setelah 3 bungkus  ayam bakar selesai, aku bagikan masing-masing.

“Titip untuk keluarga!”, kataku secara diplomatis agar Kemal tidak punya alasan untuk menolak.

Kami melanjutkan perjalanan tanpa kata-kata. Lewat spion aku lirik, Kemal berpura-pura tidur. Aku melihat ke arah Hisyam yang tampaknya menikmati mengemudi pelan menuruni tikungan-tikungan yang tajam. Ia menoleh ke arahku sambil melempar senyum tanpa kata-kata. Aku membalasnya dengan senyuman serupa.

Sebelum matahari terbenam, kami sudah memasuki kota Singaraja. Aku mengambil kopor kecilku di bagasi mobil. Rumahku di Gang Mimbar hanya sekitar 30 meter dari jalan Raya Imam Bonjol. Kemal dan Hisyam mengikuti langkahku dari belakang. Setelah memasuki rumah aku langsung menuju kamar untuk meletakkan tas. Hisyam memanggil Ramlah pembantu lama kami yang masih setia untuk menjaga dan merawat rumah yang sudah tidak berpenghuni ini. Setelah memastikan semuanya beres, Kemal dan Hisyam lalu berpamitan.

“Jangan lupa besok pagi sebelum matahari terbit!”, kataku mengingatkan mereka berdua.

Setelah azan magrib berkumandang keras dari masjid Jamik yang merupakan masjid terbesar di kota ini, tempatku dulu suka Shalat berjamah sembari bermain karena halamannya yang luas.

Di bulan Ramadhan, aku selalu Shalat Tarawih di tempat ini. Seusai Tarawih dilanjutkan acara membaca AL Qur’an secara bergantian yang dilakukan secara bergiliran sejumlah remaja laki-laki yang duduk melingkar yang disebut Tadarus. Ramadhan bagiku merupakan hari istimewa, karena Abah memberikan kebebasan penuh pada anak-anaknya untuk pulang jam berapa saja. Aku suka mendengarkan orang Tadarus, karena biasanya ketika mendekati jam 24.00 ada saja yang mengantar kue atau nasi,  waktu  itu bagiku kiriman mereka merupakan suguhan istimewa, karena kualitas makanan di rumah jauh lebih rendah. Para remaja yang memiliki hak atas kiriman itu, selalu saja menyisihkan untukku. Mungkin mereka melihat wajahku yang penuh harap.

Buah merupakan barang mewah yang tak pernah disuguhkan di rumah. Makan nasi ditemani lauk walau sedikit sudah istimewa. Kami sering makan nasi hanya ditemani satu jenis sayur saja, dimana tempe dan tahu menjadi menu tetapnya. Satu-satunya peluang untuk merasakan nikmatnya buah bila hari raya agama Hindu tiba, seperti Galungan atau Kuningan. Saat seperti ini kami sengaja bermain di rumah tetangga yang sedang merayakannya. Pagi-pagi mereka ke pura untuk bersembahyang. Ibu-ibu dan anak gadisnya selalu membawa buah yang disusun di atas bokor, kemudian dijunjung di atas kepala.

Selesai upacara buah-buah ini masih utuh dan dibawa pulang kembali, hanya saja statusnya berubah. Mereka menyebut buah yang sudah digunakan untuk upacara: Surudan. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, surudan sudah tidak ada sarinya karena sudah dimakan dewa. Buah-buah ini kemudian dibagikan kepada siapa saja yang tampak. Bagi kami buah-buah ini sangat enak karena buah pilihan berkualitas tinggi.  Rasanya tidak berubah, hanya saja kami harus makan bersembunyi karena orang tua sering berdebat akan halal-haramnya surudan.

Selain buah juga ada ayam, hanya saja ayam tidak dibagikan kepada anak-anak yang beragama Islam. Mereka mengetahui kalau ayam yang tidak disembelih oleh orang Islam dengan cara yang sudah ditentukan haram bagi kami. Bagi kebanyakan tetangga kami ayam tidak disembelih, akan tetapi ditusuk pada bagian bawah lehernya. Cara ini dilakukan karena mereka berkeyakinan rasa dagingnya lebih sedap, selain itu juga untuk mendapatkan darahnya. Darah ayam yang membeku disebut: “Didih”. Didih kemudian digoreng dan menjadi lauk tambahan saat makan. Di pasar didih sapi banyak dijual.

Usai Shalat Magrib aku menikmati makan malam, sembari menunggu datangnya waktu Isya’ aku memeriksa setiap sudut rumah. Rumah ini sebetulnya bukan rumah yang asli. Sejak Nasir yang menjadi saudara tertua merantau ke Saudi Arabia, kemudian melanjutkan bisnisnya di Jakarta, rumah asli diratakan dengan tanah, kemudian dibangun rumah baru yang lebih layak untuk dihuni. Sekolahku S1 seluruhnya juga dibiayai dari hasil keringatnya. Karena itu aku merasa sangat berhutang budi padanya.

Kami punya tradisi keluarga untuk Pulkam setiap lebaran sejak aku dan kakakku merantau. Apalagi beberapa adik kemudian menyusul  untuk membantu bisnis Nasir di Jakarta. Semua saudaraku menekuni bisnis, hanya aku yang menjadi seorang guru. Suatu hari di bulan Ramadhan saat kami berada di rumah, Nasir yang biasa makan enak merasakan nasi di rumah kurang enak. Lalu ia memberikan sejumlah uang kepada ibu untuk membeli beras yang paling bagus. Keesokan harinya ternyata rasa nasi tidak berubah. Nasir berpikir bahwa Ibu tidak mengerti beras bagus.

Nasir kemudian datang sendiri ke pasar, lalu membawa satu kwintal beras Bali yang dipikul seorang buruh pasar. Beras Bali adalah beras yang paling bagus dan paling mahal, warnanya putih bersih dan aromanya wangi. Keesokan harinya, rasa nasi tidak juga berubah. Nasir penaaran, lalu diuntitnya ibu saat memasak di dapur. Ternyata Ibu membeli beras lain yang sangat murah. Setiap kali akan memasak, ia mengambil hanya separo beras Bali yang dibeli Nasir, sementara separonya lagi diambil dari beras yang dibelinya sendiri. Dua jenis beras itu lalu dicampurnya sebelum dicuci dan diaduk. Nasir lalu menegur Ibu, “kenapa hal itu dilakukannya?”, dengan nada bertanya.

“Sayang! Beras ini terlalu mahal!”,jawabnya datar memberikan penjelasan.

Pandanganku menyapu hampir semua sisi rumah, wajah ibuku, ayahku, dan saudara-saudaraku, serta tempat aku bermain terasa hidup kembali. Aku tersenyum sendiri, kemudian meneteskan air mata, membuat Ramlah yang menguntitku dari kejauhan heran. Aku mengetahui hal ini, tapi aku biarkan semuanya berjalan apa adanya. Seusai Shalat Isya’ aku langsung tidur, disamping karena lelah setelah seharian melakukan perjalanan, juga karena besok pagi-pagi sekali harus bangun.

(Bersambung)

Dr. Muhammad Najib

Duta Besar Republik Indonesia untuk Kerajaan Spanyol dan UNWTO. Penulis Buku "Mengapa Umat Islam Tertinggal?" info pemesanan buku
Back to top button