Kanal

Debat Capres, Efektifkah Merebut Suara?


Pada sebuah ajang pemilihan umum (Pemilu), terlebih pemilihan presiden (pilpres), debat dipandang sebagai salah satu metode efektif dalam berkampanye. Lynda Lee Kaid dalam Handbook penelitian komunikasi memaparkan bahwa pembenaran yang paling sering dikutip untuk studi tentang debat, adalah kenyataan mereka menjangkau audiens yang lebih banyak – lebih dari semua acara kampanye.

Ada enam aspek yang kemudian dibagi Kaid. Pertama aspek verbal, dimana seorang kandidat dalam hal ini capres, dituntut harus mampu memaparkan visi misi dan programnya dengan argumentasi yang kuat dan lugas. Aspek visual, dimana seorang kandidat harus mampu menciptakan gestur yang baik bagi audiens. Aspek perilaku dan citra terkait kestabilan emosi serta kepercayaan diri. 

Aspek kognitif, yakni menyangkut daya kritis dan penguasaan substansi materi, dan efek laten yakni tentang kemampuan capres memunculkan kejutan mengenai isu maupun konteks tak terduga yang bisa mematahkan argumen lawan debat.

Maka tak heran kemudian debat perdana capres di kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Rabu (12/12/2023), baik capres nomor urut 1 Ganjar Pranowo, capres nomor urut 2 Prabowo Subianto maupun capres nomor 3 Anies Baswedan, sama-sama berusaha menunjukan performa maksimal.

Baik secara visual yang ditunjukan Ganjar dengan memakai kemeja bertuliskan ‘Sat Set’, Prabowo yang kerap berjoget, maupun Anies yang menonjolkan sisi kognitif dengan pintar ‘menata kata’ (begitu kata sebagian orang).

Debat yang ditunjukan tiga paslon ini pun terbilang sukses menarik para pemilik suara. Hasil survei dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) terbaru menunjukkan, 72,5% responden mengaku tertarik menonton debat capres.

Dari proporsi itu, mayoritas atau 40,3% responden mengatakan mereka tertarik menonton debat capres-cawapres karena ingin lebih mengenal visi dan misi, serta program yang ditawarkan para calon.

Selanjutnya, sebanyak 11% responden yang mengatakan ingin lebih mengenal dekat dengan capres-cawapres lewat debat tersebut. Kemudian, sebanyak 9,1% responden mengaku tertarik menonton debat karena dapat melihat kualitas calon.

post-cover
Hasil survei Lembaga Survei Indonesia soal keinginan untuk menonton debat capres. (Foto:Tangkapan layar Rilis LSI)

Ada pula 7,8% responden mengatakan suka menonton debat, diikuti ingin tahu saja (5,5%), ingin melihat siapa yang lebih pantas menjadi presiden (4,6%), dan ingin melihat adu gagasan (3,7%), menambah wawasan (2,9%), dan agar masyarakat bisa menilai (1,7%).

Sementara alasan lainnya, yakni penasaran, melihat potensi calon, memastikan jawaban sempurna, melihat presentasi dan karakter, hingga uji kelayakan calon memiliki proporsi lebih kecil.

Debat capres perdana ini pun efektif menjadi bahan perbincangan para warga net. Analisis survei dari Indonesia Indicator (i2) yang dirangkum dalam lima platform media sosial, X (twitter), Facebook, Instagram, Tiktok, Youtube selama debat capres berlangsung, menunjukan bahwa interaksi perbincangan netizen terkait debat capres terakumulasi dalam 55.712 post dari 33.608 akun. Dimana sekitar 78% netizen laki-laki mengisi perbincangan, sementara 22% sisanya ditanggapi netizen perempuan.

Data yang diklaim dianalisis secara realtime dengan menggunakan sistem intelligence socio analytics (ISA) itu, juga menjelaskan netizen milenial (22-40 tahun) dan generasi X (41-55 tahun) lebih banyak memberikan respons. Milenial mencapai 65%, generasi X 27% dan gen Z (18-21 tahun) 5%.

Sorotan netizen milenial dan generasi X relatif mengarah pada isi pesan yang disampaikan masing-masing paslon serta narasi saling serang antarpaslon. Sementara gen Z cenderung lebih menyoroti ekspresi bagaimana setiap paslon merespons pertanyaan serta memberikan skor kepada masing-masing paslon versi mereka.

Berebut Suara Swing Voters dan Undecide Voters

Terlepas siapa paling juara dalam konteks debat perdana itu, pertanyaan lain timbul, seberapa efektifkah debat mampu menarik suara pemilih?.

“Sangat signifikannya (menarik suara),” ujar Direktur Eksekutif Trias Politika Strategi (TPS), Agung Baskoro, ketika berbincang dengan inilah.com.

Signifikan menarik suara didasari masih adanya ceruk suara yang terangkum dalam swing voters danundecided voters.

Mengutip laman resmi Kominfo, swing voters merupakan para pemilih yang pilihan politiknya masih bisa berubah. Pemilih di kategori ini dinilai mengedepankan rasionalitas dan melihat gagasan yang disampaikan para peserta pemilu. Swing voters menurut Kominfo, didominasi generasi milenial yang banyak mengakses internet. Berdasarkan data, jumlah swing voters mengalami kenaikan di tiap pemilu.

Swing voters pada Pemilu 1999 sebesar 7,3 persen, kemudian naik menjadi 15,9 persen pada Pemilu 2004. Lalu, naik jadi 28,3 persen pada Pemilu 2009, dan jadi 29,1 persen pada Pemilu 2014.

Survei indikator politik edisi September 2023, mencatat sebanyak 30,5 persen masuk dalam golongan swing voters.

Sementara undecided voters atau pemilih yang belum menentukan suara, survei litbang Kompas baru-baru inimenunjukan angka 28,7 persen. Angka yang tergolong besar mengingat pelaksanaan pilpres tersisa hanya dua bulan lagi.

Kelompok ini adalah mereka yang belum mempunyai ikatan ideologis ataupun kedekatan emosional terhadap sosok capres. Kebanyakan mereka, adalah bekas pemilih Joko Widodo-Ma’ruf Amin dalam pilpres 2019 lalu, sementara sebagian lainnya ialah mereka yang tidak menggunakan hak atau merahasiakan kemana suara mereka. 

post-cover
Calon presiden nombor urut 1,2 dan 3, Anies Baswedan, Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo, saat mengikuti debat pertama calon presiden 2024 di Kantor KPU RI, Jalan Imam Bonjot, Jakarta, Selasa (12/12/2023). (Foto:Inilah.com/AgusPriatna)

Kebanyakan undecided voters, ialah generasi tua dalam rentang usia 41-60 tahun yang sebagian besar masuk ke dalam generasi X. 54,2 persen mayoritasnya adalah kalangan perempuan.

Survei yang sama juga mengungkap, kebanyakan pemilih ragu ini, tinggal di perdesaan dan lebih banyak berpendidikan dasar. 

“Jumlah itu cukup signifikan dan membantu untuk memastikan siapa yang masuk ke putaran kedua menemani Pak Prabowo,” ujar Agung.

Penilaian Agung ini, didasari dari hasil survei yang selalu menempatkan Prabowo di atas capres lainnya. Secara umum, elektabilitas Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka unggul di angka 39,3 persen. Disusul Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar 16,7 persen dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD 15,3 persen.

Direktur Eksekutif Voxpol Center Research & Consulting, Pangi Syarwi Chaniago juga berpendapat yang sama. Pangi berkaca pada pelaksanaan Pilkada DKI tahun 2017, dimana Anies Baswedan mampu menarik suara pemilih lewat debat. 

“Setelah debat kan elektabilitas Anies sempat leading menyalip elektabilitas yang lain, AHY (Agus Harimurti Yudhoyono) contohnya gitu,” kata Pangi kepada inilah.com.

Oleh karenanya, debat menurut Pangi tidak boleh juga dianggap remeh, meski diakuinya debat sebagian besar hanya menyasar Gen Z dan Gen Milenial.

Direktur Eksekutif Algoritma Research and Consulting, Aditya Perdana membenarkan soal itu. Menurutnya ada persoalan dimana keterbatasan informasi telah membatasi acara debat capres-cawapres ditonton seluruh masyarakat, termasuk medsos. Informasi ini, menurutnya hanya menjangkau masyarakat perkotaan saja. 

Persoalan lain, menurut Aditya, menyangkut keterbatasan dalam mencerna dengan baik apa yang terjadi di dalam debat. “Sehingga saya tidak merasa optimis bahwa  debat itu akan punya pengaruh langsung terhadap pilihan masyarakat,” kata Aditya kepada inilah.com.

Obama Pernah Kalah Debat Tapi Menang Pilpres AS

Memang debat tidak bisa kemudian dijadikan indikator kemenangan seorang capres. Banyak faktor lain yang tak kalah penting, mulai dari kampanye tatap muka hingga mesin partai dan relawan yang senantiasa bekerja.

Presiden Amerika Serikat ke-44 Barack Obama misalnya, ia tetap mampu memenangi Pilpres meski ketika berdebat dengan Mitt Romney, Obama kalah.

post-cover
Debat capres Mitt Romney dan Barack Obama. (Foto:REUTERS/Jason Reed)

Pada debat 10 April 2012 yang ditonton oleh 50 juta orang dari seluruh dunia, Romney tampil penuh percaya diri, terlihat berpengalaman, dan memiliki visi dan program yang kuat untuk Amerika. Selama debat, kandidat dari Partai Republik itu juga selalu memegang kertas data untuk menjawab pertanyaan yang diajukan oleh moderator Jim Lehrer.

Sementara Obama seperti dikutip dari Forbes, menampakkan gestur yang tidak sempurna dan kerap gagal menjawab pertanyaan dari Romney. Namun pada akhirnya, Obama berhasil memenangi pemilu dan menjadi Presiden Amerika Serikat berkulit hitam pertama.

Debat ibarat menonton sepakbola, misalnya bagi penggemar Chelsea, terlepas dari apapun hasil diklasemen, seorang fans akan tetap mendukung. Begitu pula bagi pemilih capres menurut Direktur Citra Publik Indonesia (CPI) LSI Denny JA, Hanggoro Doso Pamungkas. 

“Debat di Indonesia belum berdampak signifikan. Kenapa? Hasil debat itu hasil pembuktian kita sebelumnya, kalau bagi pendukung Anies mayoritas bilang menang Anies. Kalau pendukung Ganjar akan bilang pendukungnya Ganjar. Bagi pendukung Prabowo yang menang adalah Prabowo,” kata Hanggoro ketika berbincang dengan inilah.com.

Sekalipun ada pergeseran suara, menurutnya hanya dibawah lima persen. Sekitar dua sampai tiga persen.

Debat capres kemarin menurutnya, hanya menegaskan posisi para calon. Anies memposisikan sebagai oposisi dengan mengkritisi kebijakan Presiden Joko Widodo dengan anti IKN, Prabowo berdiri sebaliknya dengan Anies.”Kalau Ganjar di posisi repot, oposisi juga bukan, posisi (pendukung pemerintah) juga bukan,” kata Hanggoro.

(Nebby/Rizki)

 

Back to top button