Market

Trauma dengan IMF, Menkeu Yakin Abaikan Saran tentang Larangan Ekspor Nikel?

Kebijakan larangan ekspor nikel sudah membuahkan hasil. IMF boleh saja memberikan saran. Tetapi bagi Menkeu Sri Mulyani lebih melihat manfaat kebijakan tersebut terhadap kesehatan APBN. Bisa jadi Menkeu trauma dengan resep IMF saat Indonesia terkena krisis tahun 1998 silam.

“IMF boleh punya pandangan, Indonesia memiliki kebijakan yang tujuannya memperkuat struktur industri,” kata Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati memberikan respons terhadap saran Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/ IMF) usai Rapat Paripurna DPR RI, seperti dikutip Selasa (4/7/2023).

Walaupun saran IMF kepada pemerintah untuk mencabut larangan ekspor komoditas, seperti nikel, secara bertahap. Tetapi Menkeu tak bergeming.

Dalam dokumen Article IV, IMF merekomendasikan pemerintah Indonesia untuk mempertimbangkan pencabutan kebijakan tersebut dan tidak memperluas pelarangan ekspor ke komoditas lainnya. Pasalnya, kebijakan larangan ekspor komoditas tersebut dinilai IMF memberikan dampak rambatan bagi negara lainnya.

Dalam kesempatan itu, Menkeu Sri Mulyani menyampaikan kalau program hilirisasi pemerintah ini telah berhasil dan efektif meningkatkan nilai tambah komoditas di dalam negeri. “Dengan keputusan itu, neraca pembayaran kita semakin kuat, jadi malah makin bagus,” jelasnya.

Hal yang sama juga sudah disampaikan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia. Dia menegaskan program hilirisasi pemerintah akan terus dilanjutkan meskipun IMF menyarankan lain.

Walaupun demikian, Menteri Bahlil tetap mengapresiasi langkah IMF yang memberikan pandangan dan rekomendasi mengenai pertumbuhan makro ekonomi di dalam negeri. Namun, menurutnya IMF tak perlu ikut campur soal kebijakan yang dilakukan pemerintah, khususnya terkait hilirisasi.

“IMF melakukan standar ganda. IMF mendukung tujuan hilirisasi untuk mendorong transformasi struktural dan penciptaan lapangan kerja. Namun, IMF menentang kebijakan larangan ekspor karena menurut analisa untung ruginya, menimbulkan kerugian bagi penerimaan negara. Kedua, berdampak negatif pada negara lain,” katanya.

Dia pun mengutip data bahwa pada periode 2016-2017, defisit neraca dagang Indonesia dengan China mencapai US$18 miliar. Setelah kebijakan hilirisasi diterapkan, defisit neraca dagang Indonesia dengan China hanya tinggal US$1,5 miliar pada 2022. Bahkan, Indonesia mencatatkan surplus US$1 miliar dengan China pada kuartal I/2023.

“IMF jangan ngomong ngawur. Dengan hasil hilirisasi, surplus neraca dagang kita 25 bulan sekarang. Neraca pembayaran kita juga mengalami perbaikan,” kata Bahlil.

Back to top button