Kanal

Para Pemelihara Kemiskinan Rakyat

Di sini, di setiap Pemilu, adanya orang miskin perlu agar ada khalayak yang bisa diberi bantuan semacam BLT, sembako dan sebagainya, yang membuat para pemberinya mendapatkan citra baik, dermawan, berbudi luhur, pokoknya yang baik-baik dan bling-blinglah! Maka biarkan saja pemberi, yang merasa telah bisa membeli hak memilih milik para ‘dhuafa‘ yang diberinya bantuan, shock di titik akhir. Biarkan mereka yang sekian jam-hari-mungkin bulan sebelumnya mengelus-elus mimpi dan harapan, dihancurkan dalam sekejap penghitungan!

Oleh: Darmawan  Sepriyossa

Dengan asumsi baik (husnuz dzan) kepada kaum milenials dan generasi Z, yang sejak lahir pun tumbuh dalam kemajuan dan modernitas, saya selalu sangsi mereka akan memandang positif ‘politik charity‘. ‘Makhluk’ yang saya sebutkan itu contoh langsungnya adalah politik ‘membantu’ rakyat banyak dengan cara bagi-bagi uang, Bantuan Langsung Tunai (BLT) atau pun barang kebutuhan pokok rakyat (sembako). Jadi, bila yang disasar adalah kaum milenials dan generasi Z, yang konon jumlahnya dominan sebagai pemilih pada Pemilu 2024, kita bisa menyangsikan efektivitas cara berpolitik dengan bagi-bagi duit dan sembako tersebut.

Pertama, saya sangsi seberapa banyak generasi muda itu mau menjadikan dirinya begitu rendah, dihargai hanya dengan BLT dan sembako. Kesangsian yang tetap saya pegang, bahkan pada jiwa generasi muda miskin sekali pun. Jadi, ketika mereka diperlakukan sebagai penerima bantuan seperti itu, dengan salah satu tafsir adalah merendahkan mereka, perlakuan itu kecil kemungkinan mendatangkan rasa senang, apalagi bahagia.

Perlu ditolakkah bantuan itu? Ya jangan! Ada dua kemenangan dalam menerima bantuan dari pihak yang menganggap pihak lain layak diberi ‘charity‘. Pertama kemenangan karena membiarkan pelaku charity politik kehilangan dana, daya dan waktu mereka.  Pada sisi penerima, mereka bisa memakai apa yang diberikan. Halal, kok.

Kemenangan kedua adalah kemenangan terkait waktu. Biarkan saja pemberi, yang merasa telah bisa membeli hak memilih milik para ‘dhuafa’ yang diberinya bantuan, menjadi shock di titik akhir. Biarkan di titik itu, pada saat tak ada lagi yang bisa dilakukan, di kala waktu telah lenyap ditelan putaran jarum jam, mereka tahu bahwa pilihan publik bukan pada mereka. Bayangkan, sekian jam-hari-mungkin bulan, para pelaku ‘charity politik’ itu mengelus-elus harapan, untuk kemudian dihancurkan dalam sekejap penghitungan!

Saya sendiri tidaklah sepenuhnya anti-charity, BLT, sedekah, atau apa pun namanya. Selalu ada waktu yang tepat untuk menolong dengan cara itu. Pada sisi kedaruratan dan bencana, misalnya. Namun di luar itu, apalagi pada saat Pemilu, karitas yang dilakukan sejatinya cenderung lebih kepada upaya merendahkan, menganggap pihak yang diberi berada di bawah ‘kasta’ dan maqam sosial sang pemberi. Pada sisi itu, jangankan para generasi muda, milenials dan generasi Z, penulis yang telah lewat setengah abad dan sempat mengalami era-era sulit yang pernah terjadi di bangsa ini pun, sukar menilainya sebagai kebaikan.

Lebih mendasar lagi, penulis bahkan melihat mereka yang mengumbar karitas di saat Pemilu, sejatinya kaum pemelihara kemiskinan. Sebab, mungkin saja hanya dengan adanya kemiskinan di masyarakat, mereka bisa terpilih. Baik sebagai anggota legilatif, atau bahkan pemimpin tertinggi negara.    

Dan itu bukan tanpa fakta. Setidaknya di Amerika Serikat, sosiolog pemenang Hadiah Pulitzer 2017 untuk nonfiksi umum, Matthew Desmond, meluncurkan bukunya, ‘Poverty, by America‘. Ibarat wacana kemiskinan struktural yang dengan konsisten dihidupkembangkan oleh almarhum Adi Sasono, demikian pula Desmond berkesimpulan. Kemiskinan tetap ada di AS karena banyak orang Amerika dan perusahaan besar mendapatkan keuntungan besar dari kemiskinan.

Tesis Desmond itu mengembalikan ingatan kita ke tahun-tahun 1970-an, manakala sosiolog Amerika kelahiran Jerman, Herbert J. Gans, dalam papernya yang menyentak publik pada 1971, ‘The Uses of Poverty: The Poor Pay All‘ bicara bahwa banyak sisi kehidupan modern justru membutuhkan orang-orang miskin. Untuk apa? Untuk dieksploitasi!

Mungkin karena alasan itu, selama 50 tahun terakhir, Amerika tak pernah ‘berhasil’ memberantas kemiskinan. Di tahun-tahun terakhir ini, kita lihat di berita-berita, bahkan tambah buruk. Padahal, AS telah berhasil memberantas cacar, mengurangi angka kematian bayi, mereduksi kematian akibat penyakit jantung hingga 70 persen, dan menambah angka peluang hidup rata-rata orang Amerika sebesar satu dekade!

Tetapi, dalam urusan tingkat kemiskinan nasional, AS hampir tidak membuat kemajuan. Pada 1970, sedikit lebih dari 12 persen populasi AS dianggap miskin. Pada 2019, masih sekitar 11 persen.

Itu karena –kata Matthew Desmond– banyak pihak di AS mendapat manfaat dari adanya kemiskinan. Desmond mengatakan, banyak individu dan perusahaan besar AS mendapat untung dari puluhan juta orang Amerika yang hidup dalam kemiskinan.

Benarkah? Tentu saja. Dalam ‘The Uses of Poverty: The Poor Pay All‘, Prof. Herbert J. Gans, menyatakan ada 13 fungsi orang miskin bagi komunitas. Dari 13 itu, kita coba lihat enam yang paling dekat dengan kehidupan kita di Indonesia.

Fungsi pertama, kemiskinan adalah menyediakan tenaga kerja untuk pekerjaan-pekerjaan kotor, tidak terhormat, berat, berbahaya, tetapi dibayar murah. Orang miskin diperlukan untuk membersihkan got-got yang mampet, membuang sampah, menaiki gedung yang tinggi, bekerja di pertambangan yang tanahnya mudah runtuh, jaga malam, atau memelihara binatang milik orang-orang kava. (Menurut alm Kang Jalal, seringkali mereka menjadi pelayan tuan dan binatang peliharaannya sekaligus), Bayangkan apa yang terjadi bila orang miskin tidak ada. Sampah bertumpuk, rumah dan pekarangan kotor, bangunan terbengkalai, binatang peliharaan mengamuk, mavat-mayat tidak terkuburkan, yang membuat para tuan besar tidak dapat tidur dengan tenang.

Fungsi kedua, kemiskinan adalah menambah atau memperpanjang nilai-guna barang atau jasa. Baju bekas yang sudah tidak terpakai dapat dijual (atau dengan bangga dikatakan ‘di-infaq-kan’) kepada orang-orang miskin. Begitu pula barang-barang apkiran: potongan kue biskuit, buah-buahan yang hampir membusuk, sayuran yang tidak laku, makanan dan minuman yang tidak laik dikonsumsi manusia, tempat tinggal yang ditelantarkan orang (seperti kolong jembatan, pinggiran rel kereta api, rumah ambruk, dan kuburan), Semuanya menjadi bermanfaat (atau dimanfaatkan) orang-orang miskin.

Fungsi ketiga, kemiskinan adalah mensubsidi berbagai kegiatan ekonomi yang menguntungkan orang-orang kaya. Pegawai-pegawai kecil, karena dibayar murah, mengurangi biaya produksi dan akibatnya melipatgandakan keuntungan. Petani tidak boleh menaikkan harga beras mereka untuk mensubsidi orang-orang kota. Birokrat-birokrat kecil yang gajinya kurang, menutupi kekurangan itu dengan memeras orang-orang miskin. Pernah dilaporkan pada era pra-reformasi bahwa sumbangan sektor informal untuk perekonomian Indonesia sangat menentukan. Sektor ini telah menyelamatkan pemerintah Indonesia dari ledakan pengangguran.

Fungsi keempat, kemiskinan adalah menyediakan lapangan kerja. Bagaimana mungkin orang miskin memberikan lapangan kerja? Karena ada orang miskin lahirlah pekerjaan tukang kredit (barang atau uang), perjudian (yang pernah diorganisasikan secara resmi dan menghasilkan ratusan miliar rupiah), juga melahirkan aktivis-aktivis LSM yang menyalurkan dana dari badan-badan internasional, serta tentu saja berbagai kegiatan yang dikelola Kementerian Sosial. Dengan adanya orang miskin, kursi kabinet bertambah satu: menteri sosial.  

Fungsi kelima, kemiskinan adalah memperteguh status sosial orang-orang kaya. Perhatikan jasa orang miskin pada perilaku orang-orang kaya baru (OKB). Sopir yang menemaninya memberikan label bos kepadanya. Nyonya dapat menunjukkan kekuasaannya dengan memerintah ‘inem-inem’ mengurusi rumah-tangganya. Ia sendiri sekarang mempunyai waktu untuk menghadiri kegiatan wanita modern: arisan, kursus kecantikan atau kegiatan-kegiatan ‘sosial’ lainnya.

Fungsi keenam, orang miskin juga bermanfaat untuk dijadikan tumbal pembangunan. Untuk mempertahankan martabat bangsa di hadapan bangsa-bangsa asing, pekerjaan yang tidak manusiawi harus dihapuskan. Untuk itu, dulu, ribuan tukang becak disiapkan menjadi tumbal. Ke sini, kita melihat banyak penjaga tol, pelayan toko, buruh, dll kehilangan pekerjaan karena ‘kemajuan’.

Di sini, di setiap Pemilu, adanya orang miskin perlu agar ada khalayak yang bisa diberi bantuan semacam BLT, sembako dan sebagainya, yang membuat para pemberinya mendapatkan citra baik, dermawan, berbudi luhur, pokoknya yang baik-baik dan bling-bling!  Maka, bahkan menjadi kewajiban moral kita semua untuk menghancurkan para pemelihara kemiskinan itu.

Back to top button