Kanal

Mahalnya Biaya Kuliah, Pemerintah Dituding Lakukan Privatisasi PTN


Otonomi perguruan tinggi negeri (PTN) makin hari makin menimbulkan biaya tinggi pada pendidikan tinggi. Kebijakan pemerintah yang mendorong semakin banyaknya perguruan tinggi berbadan hukum membuat biaya kuliah semakin mahal dan sulit dijangkau masyarakat kelas bawah.

Biaya kuliah di PTN yang semakin melambung tinggi disinyalir karena pemerintah berorientasi melakukan privatisasi. Hal itu terlihat dari kebijakan pemerintah yang mendorong PTN ke depannya berstatus badan hukum dan badan layanan umum yang memberi ruang untuk mendapatkan biaya kuliah yang lebih banyak dari mahasiswa dan usaha. Sementara, anggaran dari pemerintah justru cenderung menurun.

Hingga saat ini, keberadaan jalur mandiri yang dibuka perguruan tinggi negeri (PTN) terus disorot. Lewat jalur ini, PTN selain mengenakan uang kuliah tunggal (UKT) juga dapat mengenakan iuran pengembangan institusi (IPI) maksimal empat kali biaya kuliah tunggal. Kuota jalur mandiri untuk Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH) maksimal 50 persen, sedangkan yang Perguruan Tinggi Negeri Badan Layanan Umum (PTN BLU) dan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Satuan Kerja Kementerian (PTN-Satker) maksimal 30 persen.

Ketua Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia (MRPTNI) Prof Ganefri menyebut, pembiayaan di PTN memang membuka ruang partisipasi dari mahasiswa/masyarakat dengan prinsip pembayaran uang kuliah sesuai kemampuan ekonomi keluarga mahasiswa dengan asas berkeadilan dan inklusif. Namun, dapat dipastikan penerimaan mahasiswa baru selalu mengutamakan potensi akademik, bukan kemampuan membayar uang kuliah yang tinggi.

Meskipun ada jalur mandiri, kata Prof Ganefri yang juga Rektor Universitas Negeri Padang itu, penerimaan bukan berdasarkan besaran IPI dan UKT mahasiswa. Selain itu, PTN tetap punya komitmen minimal 20 persen dari total kuota mahasiswa baru dialokasikan untuk mahasiswa dari keluarga tidak mampu.

Bentuk Neoliberalisasi

Sementara itu, di dalam rapat dengar pendapat umum bersama sejumlah organisasi keagamaan yang menaungi penyelenggaraan pendidikan dari jenjang anak usia dini hingga perguruan tinggi yang digelar Panitia Kerja (Panja) Pembiayaan Pendidikan Komisi X DPR, beberapa waktu lalu, perwakilan Komisi Pendidikan Persatuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) Yafet Yosafet Wilben Rissy, mengatakan, mahalnya biaya kuliah di PTN akibat kecenderungan neoliberalisasi pendidikan yang masif lewat PTN-BH dan PTN BLU.

“Ketika dikelola seperti perusahaan atau BUMN, profit jadi sangat kental. Itu dasar masalah tingginya biaya kuliah di PTN hingga saat ini,” kata Yafet.

Dia menyebut, penerimaan mahasiswa baru di PTN lewat jalur mandiri lewat berbagai skema berdampak juga pada penerimaan mahasiswa baru di perguruan tinggi swasta (PTS) yang cenderung turun. Calon mahasiswa baru memprioritaskan untuk mengikuti seleksi di jalur mandiri PTN, selanjutnya jika tidak diterima baru mereka kemudian mendaftar ke PTS.

Padahal, selama ini PTS juga berperan aktif dalam meningkatkan angka partisipasi kasar (APK) perguruan tinggi. Pada 2022, misalnya, APK PT sebesar 39,73 persen dan yang disokong PTS sekitar 75 persen.

“Berdasarkan data ini, idealnya, APK sebaiknya menjadi fokus PTS sementara PTN biarlah berfokus pada peningkatan kualitas dan pemeringkatan dunia, serta berorientasi pada penelitian-penelitian dasar yang berorientasi pada paten dan nobel,” ujar Yafet, yang juga Wakil Rektor Universitas Satya Wacana di Salatiga, Jawa Tengah.

Sekretaris Bidang Pendidikan dan Pengembangan SDM Parisada Hindu Dharma Indonesia, Ketut Budiawan, mengatakan, negara punya tanggung jawab pada pendidikan tak hanya di sekolah negeri atau PTN, tetapi juga lembaga pendidikan swasta. Karena itu, harus dipastikan anggaran pendidikan dari APBN dapat dialokasikan secara tepat, termasuk untuk mendukung institusi pendidikan swasta.

Ketut mengatakan, Majelis Umat Hindu memiliki Universitas Hindu Indonesia di Denpasar, Bali. Saat ini, jumlah mahasiswanya terus menurun. Sebelum pandemi COVID-19, mahasiswa baru mencapai 2.000 orang. Pada tahun lalu, jumlah mahasiswa turun menjadi 600 orang dan sekarang 400 orang.

“Permintaan terhadap kampus swasta menurun. Sebab, di PTN membuka jalur mandiri yang digelar bergelombang-gelombang meski dengan biaya yang mahal,” ucap Ketut.

Adapun Wakil Ketua Komisi X DPR Abdul Fiqri menpertanyakan manfaat anggaran pendidikan di APBN yang terus naik setiap tahunnya, sementara biaya kuliah justru semakin mahal. Hal ini salah satunya dinilai akibat alokasi dana ke Kemendikbudristek yang hanya 15 persen dari total anggaran pendidikan tahun 2024 sekitar Rp665 triliun.

“Mas Menteri (Mendikbudristek Nadiem Makarim –Red) supaya ada legacy untuk pemerintahan berikutnya, harus memperjelas tentang pendidikan, apakah menganggap pendidikan sebagai public goods atau private goods. Artinya, APBN harus ada untuk memastikan pendidikan yang murah dan berkualitas. Kalau cenderung arahnya komersialisasi, jangan diurus Kemendikbudristek, tetapi jadi BUMN saja, menjadi seperti perusahaan penyedia jasa pendidikan Indonesia,” ujar Fiqri.

post-cover
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim. (Foto: Antara)

Jangan Andalkan UKT

Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek Abdul Haris, di acara Rapat Kerja Komisi X dengan Mendikbudristek, beberapa waktu lalu, menolak anggapan bahwa PTN-BH mengeruk keuntungan dari mahasiswa. Dengan pendidikan berkualitas, mahasiswa membayar UKT sesuai kemampuan ekonomi keluarganya.

“PTN juga inklusif, terbuka bagi semua, yang secara ekonomi mampu dan tidak mampu. Bahkan, untuk yang tidak mampu harus ada di UKT terendah kelompok 1 dan 2 serta mendapatkan Kartu Indonesia Pintar atau KIP Kuliah,” kata Haris.

Dia menegaskan, PTN-BH bersifat nirlaba dan tidak mencari keuntungan. Status ini justru membuat PTN-BH memiliki otonomi menjalin kerja sama tridarma, mengelola dana abadi, menjalankan usaha, dan mengelola aset agar dapat meningkatkan mutu dan layanan pendidikan dengan tidak sepenuhnya bergantung pada UKT.

“Justru fleksibilitas penggalangan dana ini sangat penting agar pendanaan PTN-BH tidak bergantung pada UKT,” ujar Haris.

Berdasarkan data, menurut Haris, pendanaan PTN-BH dari biaya pendidikan UKT dan IPI cenderung turun. Di Institut Teknologi Bandung (ITB), alokasi biaya kuliah tahun 2016 mencapai 43 persen dan pada 2023 turun menjadi 26 persen. Sedangkan alokasi APBN untuk biaya pendidikan di ITB pada 2023 turun dari 23 persen menjadi 18 persen. Sementara itu, dari sisi pendapatan meningkat menjadi 56 persen pada 2023 dari sebelumnya 33 persen tahun 2016.

Hal serupa terjadi di Universitas Gadjah Mada (UGM) yang juga mengalami penurunan pendapatan biaya kuliah mahasiswa. Tahun 2012, pendapatan dari biaya kuliah mahasiswa sekitar 49 persen, lalu pada 2023 turun menjadi 40 persen. Adapun pembiayaan dari APBN di UGM justru meningkat dari 34 persen menjadi 35 persen.

post-cover
Unjuk rasa mahasiswa Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Jawa Tengah, akan tingginya uang kuliah tunggal (UKT). (Foto: beritaunsoed.com)

Apa Itu PTN-BH, PTN-BLU, dan PTN-Satker

UKT di sejumlah Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH) mengalami kenaikan pada Tahun Akademik 2024/2025. Kampus berstatus PTN-BH diperbolehkan menaikkan UKT lantaran bisa mengurus keuangannya secara mandiri.

PTN di Indonesia memiliki tiga status yang mungkin belum banyak diketahui masyarakat umum. Status-status tersebut adalah PTN-BH (Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum), PTN-BLU (Perguruan Tinggi Negeri Badan Layanan Umum), dan PTN-Satker (Perguruan Tinggi Negeri sebagai Satuan Kerja Kementerian).

Apa perbedaan di antara ketiganya? Berikut penjelasan mengenai PTN-BH, PTN-BLU, dan PTN-Satker yang dikutip dari itjen.kemdikbud.go.id:

PTN-BH (Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum)

PTN-BH merupakan tingkatan tertinggi dalam hal otonomi. Mereka memiliki otonomi penuh dalam mengelola keuangan dan sumber daya, termasuk dosen dan tenaga kependidikan (tendik).

PTN-BH beroperasi dengan cara yang mirip dengan perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Mereka memiliki kontrol penuh atas aset dan keuangan mereka sendiri.

Penetapan status PTN-BH dilakukan dengan peraturan pemerintah.

PTN-BLU (Perguruan Tinggi Negeri Badan Layanan Umum)

PTN-BLU memiliki tingkat otonomi lebih rendah ketimbang PTN-BH. Pengelolaan institusi ini mirip dengan rumah sakit milik negara. Mereka memiliki otonomi dalam mengelola pendapatan non-pajak.

Penetapan status PTN-BLU dilakukan dengan Keputusan Menteri Keuangan atas usul Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek).

PTN-BLU merujuk pada Undang-Undang Perguruan Tinggi, Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2012, dan Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2005.

PTN-Satker (Perguruan Tinggi Negeri sebagai Satuan Kerja Kementerian)

PTN-Satker adalah PTN yang beroperasi sebagai satuan kerja di bawah naungan Kementerian. Seluruh pendapatan, termasuk Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) dari mahasiswa, harus masuk ke rekening negara (Kementerian Keuangan) sebelum digunakan.

Status PTN-Satker adalah hasil dari kebijakan Kementerian dan ditetapkan melalui mekanisme internal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikudristek).

post-cover
Universitas Indonesia (UI), salah satu perguruan tinggi yang sudah berstatus PTN-BH. (Foto: ui.ac.id)

Perbedaan PTN-BH dan PTN-BLU

1. Penetapan status

PTN-BH ditetapkan melalui peraturan pemerintah, sedangkan PTN-BLU ditetapkan melalui Keputusan Menteri Keuangan atas usul Mendikbudristek.

2. Dasar hukum

PTN-BH merujuk pada Undang-Undang Perguruan Tinggi dan peraturan pelaksanaannya, sementara PTN-BLU merujuk pada Undang-Undang Perguruan Tinggi dan peraturan Kementerian Keuangan terkait dengan status BLU.

3. Tarif layanan

Tarif biaya dan layanan PTN-BH ditetapkan oleh PTN Badan Hukum dengan berkonsultasi dengan Menteri, sedangkan PTN-BLU menetapkan tarif layanan berdasarkan kebijakan Menteri Keuangan dengan memberi ruang pada usulan pimpinan BLU.

4. Pola pelaporan keuangan

Pendapatan PTN-BLU dilaporkan sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), sedangkan pendapatan PTN-BH bukan merupakan PNBP.

5. Penyelenggaraan program studi

PTN-BH dapat mandiri dalam membuka dan menutup program studi, sedangkan PTN-BLU tidak memiliki otonomi ini.

6. Pengelolaan SDM

PTN-BH berwenang menetapkan, mengangkat, membina, dan memberhentikan tenaga tetap non PNS, sementara PTN-BLU memiliki kewenangan yang serupa sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Kamuflase Kapitalisasi

Ironisnya, selama ini kita selalu dijebak oleh cara pandang bahwa makin tinggi pendapatan, kampus dianggap makin memiliki ruang gerak untuk meningkatkan kualitas pendidikannya, padahal semua itu hanya dalih bahkan kamuflase akan adanya kapitalisasi pendidikan tinggi.

Ini karena pada saat yang sama, di balik itu semua terdapat kesempatan licik yang digunakan oleh pemerintah untuk berlepas tangan dari tanggung jawab besar dan mulia dalam menyiapkan generasi terdidik, para calon pemimpin, serta pengisi peradaban.

Asal tahu saja, pendidikan tinggi adalah investasi jangka panjang sehingga sudah selayaknya diselenggarakan dan dibiayai oleh pemerintah. Terlebih bagi negara berkembang seperti Indonesia, pendidikan tinggi wajib dibiayai oleh pemerintah sepenuhnya.

Ini karena realitasnya, tingkat kemiskinan di negeri kita juga masih cukup tinggi. Untuk itu, perlu ada kesempatan yang seluas-luasnya pada semua warga negara untuk mengembangkan potensinya.

Lebih dari itu, pendidikan tinggi sejatinya investasi peradaban karena mempunyai tingkat pengembalian (rate of returns) yang cukup besar bagi kemajuan dan masa depan bangsa.

Dengan begitu, jika Indonesia enggan melakukan investasi masa depan dalam bentuk pendidikan tinggi, tetapi sebaliknya malah mengkapitalisasi biaya pendidikan tinggi secara legal, ini jelas-jelas menghalangi akses bagi rakyat untuk memiliki sekaligus menjadi para calon pemimpin masa depan untuk dapat menikmati pendidikan yang layak.

 

Back to top button