Kanal

Ketika Pendidikan Jadi Dagangan, Mahasiswa Miskin Jadi Korban


Aktivis pendidikan peraih nobel perdamaian termuda, Malala Yousafzai pernah berkata, ‘Satu buku, satu pena, satu anak, dan satu guru dapat mengubah dunia.’ Namun, di Indonesia, buku dan pena semakin mahal harganya, membatasi kemampuan generasi muda untuk membentuk dan mengubah nasib bangsanya melalui pendidikan.

Beberapa dekade terakhir, perguruan tinggi negeri (PTN) di Indonesia bertransformasi dari institusi yang sangat terjangkau menjadi entitas yang terbebani oleh kebijakan komersialisasi pendidikan.

Kenaikan fantastis Uang Kuliah Tunggal (UKT) telah memicu perdebatan luas tentang kemandirian finansial universitas versus tanggung jawab pemerintah dalam mencerdaskan bangsa.

Era pemerintahan Joko Widodo, yang dikenal dengan fokus besar pada pembangunan infrastruktur, tampaknya memberi dampak yang ambigu pada sektor pendidikan tinggi.

Akar Masalah: Kebijakan dan Implikasi Kampus Merdeka

Mahalnya biaya pendidikan di PTN dapat ditelusuri akarnya sejak era reformasi. Waktu itu, pemerintah mencanangkan misi penyelenggaraan pendidikan tinggi berkualitas secara merata di seluruh Tanah Air. Untuk mengejar ambisi ini di tengah keterbatasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, perguruan tinggi negeri diberi otonomi, termasuk meminta dukungan masyarakat untuk ikut membiayai kampus.

Berbekal Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 1999 tentang Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT-BHMN), sejumlah PTN, seperti Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Institut Pertanian Bogor, Institut Teknologi Bandung, Universitas Sumatera Utara, Universitas Pendidikan Indonesia, dan Universitas Airlangga, mendapat status BHMN serta memiliki otonomi untuk mengatur rumah tangga sendiri, termasuk dalam hal keuangan.

post-cover
Demo kenaikan UKT. Mahasiswa UIN Jakarta berencana kembali demo karena UKT naik hingga 50 persen. Unjuk rasa sebelumnya dinilai tak direspons kampus. (Foto: Antara/Idhad Zakaria/ed/nz/14)

Transformasi PTN menjadi PTN Badan Hukum (PTN BH) di bawah kebijakan Kampus Merdeka telah memberikan otonomi yang lebih besar kepada universitas, termasuk dalam pengelolaan keuangan.

Rakhmat Hidayat, Pengamat Pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta, mengkritik kebijakan ini, “Kenaikan biaya kuliah saat ini sudah semakin tidak rasional dan dianggap sama dengan biaya kuliah di luar negeri. Ini adalah bukti dari komersialisasi pendidikan yang kian menjadi-jadi,” ungkapnya kepada reporter inilah.com.

Menurutnya, sebagai PTN BH, universitas dipaksa mencari sumber keuangan sendiri untuk membiayai operasional karena berkurangnya atau bahkan pencabutan subsidi dari Kementerian. Ini mendorong PTN BH untuk meningkatkan tarif UKT, membebani mahasiswa dan keluarganya.

Kritik terhadap Prioritas Anggaran Pemerintah

Dalam era Jokowi, alokasi anggaran lebih banyak difokuskan pada pembangunan infrastruktur seperti jalan tol dan pelabuhan.

Rakhmat menambahkan, “Harusnya pembangunan sumber daya manusia menjadi prioritas dibandingkan dengan pembangunan infrastruktur. Jika pembangunan sumber daya manusia menjadi prioritas, maka kasus polemik kenaikan UKT tidak akan muncul ke permukaan.”

Penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar anggaran pendidikan terkonsentrasi pada pengembangan fisik kampus, sementara dukungan langsung untuk mahasiswa, seperti beasiswa dan subsidi pendidikan, semakin berkurang.

Hal ini menyiratkan bahwa negara telah mengalihkan tanggung jawab pembiayaan pendidikan tinggi kepada masyarakat, berlawanan dengan amanat konstitusi yang menuntut negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Penduduk Indonesia berdasarkan pendidikan
Sumber data: BPS

Dari sisi besaran alokasi, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal,menyoroti anggaran untuk pendidikan tinggi hanya mencakup sekitar 0,6-1,6 persen dari APBN. Masih jauh dari standar ideal yang ditetapkan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) sebesar 2 persen dari APBN.

Pada tahun 2024, dari total belanja negara Rp3.325 triliun, anggaran pendidikan tinggi yang dikelola di bawah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mendapat alokasi Rp 56,1 triliun alias 1,6 persen dari total APBN.

Anggaran untuk pendidikan tinggi hanya mencakup sekitar 0,6-1,6 persen dari APBN.

Kemdikbudristek selaku garda terdepan pendidikan pun hanya mendapat total anggaran Rp 98,98 triliun atau 15 persen dari total anggaran pendidikan yang ada di APBN. Porsi terbesar dari belanja pendidikan itu (Rp 346,5 triliun atau 52 persen) dialokasikan untuk transfer ke daerah (TKD) dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK).

”Jadi, kecil sekali hitungannya. Tidak sebanding dengan 4.000 perguruan tinggi yang ada. Belum lagi untuk kebutuhan operasional kementerian, juga untuk kebutuhan lain dari penyelenggaraan pendidikan, riset, dan beasiswa,” katanya saat dihubungi di Jakarta.

Pengabaian Amanat Konstitusi

Sejak awal, konstitusi Indonesia menekankan pentingnya pendidikan sebagai salah satu intervensi terpenting negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun, dengan kenaikan UKT dan pengalihan fokus ke infrastruktur, akses pendidikan tinggi kian terbatas, terutama bagi keluarga miskin.

“Ironisnya, makin mahalnya biaya kuliah tidak selalu berkorelasi dengan peningkatan mutu penyelenggaraan pendidikan tinggi,” ujar Rakhmat.

post-cover
Sejumlah mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) berunjuk rasa di depan kampus UNY, Sleman, D.I Yogyakarta, Jumat (3/7/2020). Dalam unjuk rasa itu, mahasiswa menuntut pihak kampus memberikan pemotongan Uang Kuliah Tunggal (UKT) sebesar 50%, serta adanya transparansi aliran dana UKT selama proses perkuliahan daring. (Foto: Antara)

Kebijakan pendidikan tinggi saat ini menimbulkan dilema besar antara kemandirian finansial dan aksesibilitas.

Pemerintah perlu mengevaluasi kembali prioritas anggarannya untuk memastikan bahwa pendidikan tinggi tidak hanya menjadi hak bagi mereka yang mampu membayar.

Mendesak pemerintah untuk kembali pada amanat konstitusi untuk mencerdaskan bangsa adalah langkah penting yang harus diambil, dengan memastikan bahwa investasi di bidang pendidikan tidak tertinggal dibalik ambisi infrastruktural. [Inu/Harris]

Back to top button