Kanal

Mengenang Beasiswa Supersemar di Era UKT Super Mahal


Perlukah kembali menghidupkan beasiswa seperti Supersemar yang fenonemal di era UKT mahal sekarang ini? Tentunya dengan diberangi pengelolaan dana UKT di perguruan tinggi yang baik sehingga tidak memberatkan mahasiswa sekaligus bisa menjadikan kampus terus berkembang.

Ribut-ribut tingginya Uang Kuliah Tunggal (UKT) akhir-akhir ini mengingatkan tentang kuliah di masa-masa orde baru. Banyak pihak menilai, pendidikan di perguruan tinggi di era itu jauh lebih murah, dengan ketersediaan beasiswa yang bisa dinikmati banyak mahasiswa. 

Penulis pernah merasakan sendiri murahnya kuliah di perguruan tinggi di era 1988. Uang semesteran di Universitas Padjajaran untuk Fakultas Ilmu Komunikasi pada waktu itu hanya Rp30 ribu, sementara fakultas lain atau sesama universitas negeri kisarannya Rp45-60 ribu. Kalaupun ada biaya praktek laboratorium paling-paling ada tambahan Rp30 ribu. 

Memang tidak bisa membandingkan besaran biaya saat itu dengan sekarang, berhubung dengan nilai uang, inflasi dan sebagainya. Namun sebagai perbandingan di tahun-tahun yang sama, kuliah di perguruan tinggi swasta di Kota Bandung sudah berkisar Rp 300-400 ribu per semester. Berarti bisa 10 kali lipat lebih murah bersekolah di universitas negeri.

Tak hanya dana semesteran yang murah, ketika itu banyak tawaran beasiswa kepada mahasiswa yang tengah belajar di perguruan tinggi negeri. Salah satunya yang terbesar adalah beasiswa Yayasan Supersemar yang diinisiasi Presiden Soeharto ketika itu. Belum lagi tawaran dari banyak perusahaan swasta nasional atau BUMN dengan dana yang lebih besar seperti beasiswa Astra atau ExxonMobile dan banyak perusahaan swasta nasional lainnya.

Pemberian beasiswa juga tidak terlalu ribet. Dengan prestasi akademik yang cukup, sesuai standar pemberi beasiswa tanpa bermacam-macam syarat yang menyusahkan. Tak heran Yayasan Supersemar yang mulai memberikan beasiswa pada 1975 itu, bisa memberikan beasiswa bagi ratusan mahasiswa di setiap perguruan tingginya.

Nominal uang yang diberikan Yayasan Supersemar untuk mahasiswa pada pertengahan 1980-an berkisar antara Rp25 ribu sampai Rp45 ribu per bulan untuk masa satu tahun dan bisa diperpanjang selama masih memenuhi persyaratan yang telah ditentukan. Bagi penulis yang sempat menerima beasiswa itu, sudah cukup sebenarnya untuk membayar biaya kuliah per semester atau untuk tambahan membeli buku-buku perkuliahan.

Melahirkan Banyak Tokoh

Banyak tokoh yang merasakan manfaat beasiswa Supersemar yang kini berkiprah di kursi pemerintahan, politik hingga institusi pendidikan nasional. Misalnya saja mantan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Prof Mahfud MD. Ia mengakui apa yang diceritakan Cicit Presiden Soeharto, Haryo Putra Wibowo itu benar

 Beasiswa era presiden Soeharto
Ilustrasi Beasiswa era presiden Soeharto Supersemar. (Foto:Media Sosial)

“Cerita cucu Pak Harto ini benar. Saya adalah penerima beasiswa Supersemar saat kuliah. Kepada Mas Haryo saya bilang, Yayasan Supersemar yang didirikan Pak Harto telah banyak membantu orang tak mampu agar bisa menempuh pendidikan yang baik. Pejabat sekarang banyak yang alumni Supersemar,” tulis Mahfud MD di akun Twitter miliknya tahun 2021 lalu.

Selain Prof Mahfud, ada juga Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Mantan Menteri Pendidikan Mohammad Nuh, pakar fisika/matematika Yohanes Surya, mantan Menristek Muhammad AS Hikam, mantan Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Said Didu, hingga pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin.

“Sekitar 70 persen rektor di berbagai perguruan tinggi di Tanah Air adalah alumnus penerima Beasiswa Supersemar,” ujar Ketua Bidang Penataan Organisasi dan Keanggotaan Keluarga Mahasiswa dan Alumni Penerima Beasiswa Supersemar (KMA-PBS) Ir. Martinus Jawa, pada 2011 silam.

Setidaknya beasiswa Yayasan Supersemar sudah diberikan kepada 2,75 juta siswa dan mahasiswa pilihan. Pemberian beasiswa terhadap putra-putri bangsa adalah investasi dalam melahirkan insan-insan yang terdidik yang membawa kemajuan bangsa.

Sayangnya sejak 2015 silam beasiswa Supersemar terhenti karena harus berurusan dengan ranah hukum. Padahal, seharusnya pemerintah memisahkan antara upaya hukum dengan masalah beasiswa yang ditujukan untuk mencerdaskan bangsa. Puncaknya Mahkamah Agung telah memutuskan keluarga mantan Presiden Soeharto harus membayar Rp4,4 triliun.

Era UKT Mahal

Kenangan tentang murahnya kuliah di zaman baheula dan fenomenalnya beasiswa Supersemar ini kembali terbayang di tengah riuhnya aksi protes terhadap mahalnya biaya perkuliahan yang sekarang dikenal dengan Uang Kuliah Tunggal (UKT). Sudah mahal bahkan dinaikkan lagi menjadi lebih mahal. Bahkan melebihi kuliah di perguruan tinggi swasta.

Sudah banyak terdengar mahasiswa dan orang tua kesulitan membayar UKT di banyak perguruan tinggi, khususnya perguruan tinggi negeri. Ada kecenderungan permohonan keringanan UKT bertambah tiap tahun akademik baru. Beberapa di antaranya malah memilih berhenti kuliah atau membatalkan masuk ke perguruan tinggi karena merasa terjebak dengan biaya UKT yang sangat tinggi.

ksi demonstrasi mahasiswa soal UKT
Ilustrasi aksi demonstrasi mahasiswa soal UKT. (Foto:Antara)

Bahkan ada perguruan tinggi negeri yang tahun ini memberlakukan kenaikan UKT cukup tinggi bahkan ada yang naik berlipat. Sering kali tak sebanding dengan kenaikan gaji atau penghasilan orang tua mahasiswa. Sementara konsep subsidi silang dalam sistem UKT itu yang semula diharapkan menjadi solusi bagi kenyataannya hanya berkisar 2% hingga 5%. Tak heran banyak orang tua dan mahasiswa keberatan dan melakukan aksi protes.

Anehnya, perguruan tinggi negeri ini bukan menurunkan UKT tapi menawarkan solusi yang aneh dan mencekik dengan menyarankan pinjaman online sebagai solusi. Berdasarkan laporan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), tren kredit macet pinjaman daring didominasi oleh kalangan anak muda, yaitu yang berusia 19 tahun hingga 34 tahun.

Skema-skema yang memungkinkan mahasiswa mendapat keringanan pembayaran UKT memang menjadi dilematis ketika model pengelolaan perguruan tinggi—termasuk perguruan tinggi negeri—makin dominan dengan model pengelolaan perusahaan. Ini konsekuensi dari penerapan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum, disingkat PTN BH yakni perguruan tinggi negeri yang didirikan oleh pemerintah dan berstatus sebagai badan hukum publik yang otonom.

Sementara beasiswa yang banyak ditawarkan pemerintah saat ini baik dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), Kementerian Keuangan, BUMN, Swasta maupun Yayasan tampaknya masih belum bisa mengatasi kesulitan mahasiswa untuk membayar UKT. 

Timbul pertanyaan, perlukah kembali menghidupkan beasiswa seperti Supersemar yang fenonemal di era UKT mahal sekarang ini? Tentunya dengan dibarengi pengelolaan dana UKT di perguruan tinggi yang baik sehingga tidak memberatkan mahasiswa tetapi sekaligus bisa menjadikan kampus terus berkembang.

Persoalan UKT yang terjangkau ataupun pemberian beasiswa yang tepat butuh solusi segera. Jangan sampai negara lupa bahwa sesungguhnya persoalan pendidikan tinggi bagi warga negara adalah bagian dari kewajiban negara memenuhi hak pendidikan bagi tiap warga negara. 

Tidak bisa lagi dianggap sebagai kebutuhan tersier, sama seperti liburan ke luar negeri, ke salon, atau membeli barang-barang mewah. Hal ini mengingat belajar adalah tuntutan dan kewajiban yang harus dilaksanakan sampai akhir hayat. 

Back to top button