Hangout

Studi: Diet Intermittent Fasting Picu Risiko Penyakit Jantung


Penelitian terbaru yang diterbitkan oleh American Heart Association pada Senin, (18/3/2024) di Chicago, menyoroti risiko kesehatan yang terkait dengan tren diet populer, yaitu puasa intermittent atau intermittent fasting. Puasa intermiten, yang melibatkan mengatur waktu makan dalam sehari, kembali mendapat perhatian setelah temuan mengejutkan bahwa metode ini dapat meningkatkan risiko penyakit jantung.

Studi ini, yang dipersembahkan dalam pertemuan AHA’s Lifestyle Scientific Sessions di Chicago, menganalisis data dari lebih dari 20.000 orang dewasa di Amerika Serikat dari tahun 2003 hingga 2018. 

Hasilnya menunjukkan bahwa mereka yang mengikuti pola makan intermittent fasting, yang melibatkan makan hanya dalam jendela waktu delapan jam sehari, memiliki risiko kematian akibat penyakit jantung 91 persen lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang makan dalam jangka waktu 12 hingga 16 jam sehari.

Selain itu, risiko kesehatan ini juga ditemukan pada penderita penyakit kronis atau kanker yang mengikuti pola makan terbatas waktu. Orang dengan penyakit kardiovaskular memiliki risiko 66 persen lebih tinggi meninggal akibat penyakit jantung atau stroke jika mereka mengikuti puasa intermiten. 

Sementara itu, penderita kanker yang membatasi waktu makan mereka juga lebih mungkin meninggal akibat penyakit tersebut.

Victor Wenze Zhong, penulis utama studi ini dari Fakultas Kedokteran Universitas Shanghai Jiao Tong di China, mengingatkan bahwa orang yang melakukan puasa intermiten dalam jangka waktu lama, terutama mereka yang memiliki penyakit jantung atau kanker, harus berhati-hati. 

Zhong menekankan bahwa fokus pada nutrisi yang dikonsumsi mungkin lebih penting daripada fokus pada waktu makan.

Meskipun temuan ini menghadirkan peringatan penting, para ilmuwan mencatat bahwa studi ini hanya menunjukkan korelasi antara pembatasan waktu makan dan peningkatan angka kematian, bukan sebab dan akibat. Informasi makanan yang dilaporkan sendiri oleh peserta juga dapat memengaruhi hasil studi, dengan kemungkinan ketidakakuratan dalam pelaporan durasi makan.

Meskipun demikian, temuan ini menyoroti perlunya kajian lebih lanjut tentang dampak kesehatan dari metode diet populer seperti puasa intermiten, serta pentingnya keseimbangan dalam pola makan yang sehat dan berkelanjutan untuk menjaga kesehatan jantung dan kesejahteraan secara keseluruhan.

Masih menyisakan pertanyaan

Profesor emeritus metabolisme manusia di Universitas Oxford, Keith Frayn, dalam sebuah pernyataan kepada UK Science Media Center yang dikutip kantor berita Bloomberg menyebut makan dengan batasan waktu sangat populer sebagai cara untuk mengurangi asupan kalori.

“Pekerjaan ini sangat penting untuk menunjukkan bahwa kita memerlukan studi jangka panjang mengenai dampak praktik ini. Namun abstrak ini masih menyisakan banyak pertanyaan yang belum terjawab.”

Christopher Gardner, direktur studi nutrisi di Stanford Prevention Research Center, mengatakan dia mendorong masyarakat untuk melakukan pendekatan terhadap studi baru ini dengan “skeptisisme yang sehat.”

Dia mengatakan meskipun temuannya menarik, dia ingin melihat semua data, termasuk potensi perbedaan demografis pada subjek penelitian.

“Apakah mereka semua memiliki tingkat pendapatan yang dapat dibelanjakan dan tingkat stres yang sama,” ujarnya. “Ataukah orang yang makan kurang dari delapan jam sehari, melakukan tiga pekerjaan, mengalami stres yang sangat tinggi, dan tidak punya waktu untuk makan?”

Gardner mengatakan bahwa mempelajari puasa intermiten dapat menjadi sebuah tantangan karena terdapat begitu banyak variasi, dan menentukan dampaknya terhadap umur panjang memerlukan pengamatan yang cermat terhadap orang-orang dalam jangka waktu yang lama.

Back to top button