Kanal

Sengkarut Minyak Goreng, Kisruh Harga BBM dan Kemungkinan Kejaksaan Mencari Tersangka

Pada Sabtu (3/9/2022) lalu Presiden Jokowi mengumumkan kenaikan harga BBM. Beberapa jenis mengalami kenaikan yang signifikan. Pertalite dari Rp 7.650 per liter jadi Rp 10.000 ribu per liter, Solar subsidi dari Rp 5.150 per liter jadi Rp 6.800 per liter dan Pertamax non subsidi dari Rp 12.500 per liter jadi Rp 14.500 per liter.

Sebelum mengumumkan kenaikan harga BBM, Jokowi tak menutup rapat-rapat beleidnya itu.  Bulan lalu, dalam acara Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat di Sentul, Presiden sudah mengeluarkan sinyal. “Harga BBM kita paling murah dibandingkan dengan negara lain. Kita lihat sekarang di Amerika harga bensin sudah Rp19.400, di Singapura harga bensin sudah Rp33 ribu,” ujar Jokowi, ‘lurus bin lempeng’.

Alhasil. Selama sebulan itu wacana kenaikan harga BBM sebetulnya sudah riuh rendah mengisi jagad berita, baik di media massa maupun media sosial kita. Selama itu pula, kita juga membaca banyaknya terjadi kelangkaan BBM di beberapa daerah, diselang-selingi adanya temuan penimbunan BBM jenis Pertalite di beberapa wilayah.

Lalu begitu harga BBM secara resmi naik, terjadi ledakan demonstrasi massa di berbagai kota, baik itu massa mahasiswa, buruh dan kaum urban. Mereka terkejut, lalu takut. Baru saja pandemic menghancurkan sendi-sendi ekonomi mereka, eh, manakala lutut baru saja berupaya tegak, tiba-tiba penguasa menaikkan harga BBM. Bagi mereka, itu perbuatan semena-mena dan sok kuasa. Demo jalanan pun jadi pilihan. Pembakaran, bentrokan keras dengan aparat, hingga bakar-bakaran, saat ini menjadi nuansa di berbagai pemberitaan.

Bersamaan dengan itu, tampaknya berhujjah sebagai kepedulian dan pertolongan bagi kalangan kurang mampu, pemerintah juga mengumumkan untuk memberikan bantuan sosial alias Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang selama ini kita kenal, sebesar Rp 600 ribu bagi 20,6 juta penduduk. Total BLT yang akan disalurkan kepada para warga tak mampu itu sekitar Rp 12 triliun.

Awal tahun hingga sekitar tiga bulan lalu, Indonesia dilanda huru-hara kelangkaan minyak goreng (migor). Sebagaimana BBM selama tiga pekan kemarin, berbulan-bulan migor langka. Kalau pun ada, harganya meroket sebagaimana janji politisi tentang masa depan ekonomi Indonesia. Rakyat panik, lalu gusar. Lalu turunlah mereka bersama para mahasiswa, buruh dan kaum urban ke jalan dalam bentuk demonstrasi massa. Jelas, saat itu ada tensi amarah dan gerah yang naik di masyarakat. Lalu, lima orang pun ditangkap, tiga di antaranya orang partikelir alias swasta dari perusahaan migor.

Pekan lalu, dalam sidang pertama yang mulai digelar, mereka dituduh  dengan dakwaan melakukan korupsi minyak goreng. Disebutkan, kelima terdakwa itu—dua lainnya, seorang mantan dirjen di Kemendag dan seorang konsultan partikelir yang suka cawe-cawe di kementerian–melakukan tindak pidana korupsi dalam melakukan pengurusan Persetujuan Ekspor (PE) dengan kerugian negara sebesar Rp 18 triliun. Dalam tuduhan disebutkan, Rp 6 triliun di antaranya merupakan “kerugian keuangan negara karena pemerintah akibat kelangkaan itu harus memberikan BLT kepada 20,6 juta warga kurang mampu akibat langkanya migor dan melesat tingginya harga.

Ada pun kenaikan harga dan kelangkaan migor itu, menurut jaksa penuntut umum, disebahkan adanya proses PF, akibat tiga orang terdaksa dari grup perusahaan minyak goreng itu tidak menjalankan proses distribusi dengan benar “dan atau memanipulasi dokumen DMO (Domestic Market Obligation)”.

Saya bukan orang hukum, namun merasa tertarik dengan dua fenomena di atas. Bagi saya, ada kerekatan hubungan di antara langka dan mahalnya migor di awal tahun, dengan persoalan harga BBM yang saat ini tengah jadi giliran dipersoalkan dan bikin pening semua. Ada beberapa persamaan dalam kelangkaan dan naiknya harga kedua komoditas penting buat rakyat ini.

Pertama, pemerintah menyebut kebijakan menaikkan harga BBM disebabkan naiknya harga minyak mentah dunia. Kita tak akan berdiskusi tentang hal ini, meski sejatinya bisa didiskusikan. Paling tidak, pada saat pemerintah menaikkan harga BBM, harga minyak dunia justru tengah anjlok USD 2,69 atau 2,7 persen, menjadi USD 96,62 per barel. Perlemahan itu menyusul penurunan harga sebesar USD 5,78 per barel pada Selasa pekan sebelumnya.

Pada saat harga migor meroket ke langit, awal tahun ini, pemerintah juga mengakui bahwa naiknya harga minyak goreng itu disebabkan mengangkasanya harga minyak nabati dunia. Saat itu, dimulai dari gagalnya panen bunga matahari di Ukraina yang membuat stok minyak biji bunga matahari menyusut, naik tajamnya harga pupuk dan kekeringan yang membuat banyak perkebunan sawit kurang panen, harga migor terus melesat. Pada Januari 2022, harga CPO tercatat sebesar USD 1410 per ton.

Kedua, untuk meringankan beban ekonomi warga kurang mampu, pemerintah memutuskan untuk memberikan BLT, baik pada saat harga minyak goreng melangit, maupun di kala harga BBM tinggi seperti saat ini.

Persoalannya, akankah aparat penegak hukum, dalam hal ini Kejaksaan Republik Indonesia, yang melihat bahwa BLT minyak goreng merupakan “kerugian keuangan negara”—sebagaimana mereka yakini dalam tuntutan terhadap kelima tertuduh yang tengah menjalani proses pengadilan saat ini—juga melihat bahwa BLT akibat naiknya harga BBM ini pun sebagai “kerugian keuangan negara”?  Akankah instansi tersebut juga akan melakukan penyidikan terhadap potensi “kerugian keuangan negara” yang diakibatkan naiknya harga BBM itu? Bila tidak, mengapa?

Jika yang dijunjung adalah keadilan, maka setidaknya publik harus tahu pasti alasan mengapa Kejaksaan menganggap dua hal itu berbeda.  Secara sederhana pun, proses kenaikan harga minyak goreng di awal tahun dan naiknya BBM saat ini punya kemiripan yang besar. Keduanya diakibatkan perubahan situasi dunia; keduanya pun mengharuskan pemerintah turun tangan memberikan BLT, selain bila mengikuti logika Kejaksaan, keduanya pun jelas berpotensi merugikan perekonomian negara.

Alhasil, Kejaksaan seyogyanya mendalami persoalan naiknya BBM sebagaimana mereka memandang kasus kenaikan harga migor saat itu. Setidaknya, bila hal itu tidak dilakukan, wajar manakala publik bisa berasumsi kalau dalam penanganan kisruh migor beberapa bulan lalu, yang sejatinya hanyalah pengkambinghitaman. Karena ada pihak-pihak non-pemerintah yang (bisa) dianggap terlibat, maka persoalan yang jelas-jelas merugikan dan membuat rakyat berang itu harus punya korban. Harus ada yang menjalani proses peradilan, mungkin pula pada akhirnya proses penghukuman, agar kasus tersebut bisa dianggap telah diselesaikan.

Dalam dunia hukum dikenal ungkapan Claudianus, seorang penyair di istana Roma kuno. “Observantior aequi fit populus, nec ferre negat, cum viderit ipsum auctorem parere sibi,”kata dia. “Rakyat dapat menjadi lebih taat pada hukum dan  keadilan, bahkan tidak akan menolak untuk menjalaninya, ketika mereka melihat para pelaksana hukum juga menjalankan hukum dan keadilan tersebut.” [ Darmawan Sepriyossa]

Back to top button