News

Setan-setan di Dalam Diri

Siapapun Anda, pejabat atau orang biasa, miliarder atau pengemis, tuan ataupun karyawan, Anda harus memasrahkan diri terpejam pada sebagian malam di atas tanah Muzdalifah. ‘Mabit’ namanya. Mengikuti sunnah Nabi, muslim yang berhaji diminta mengumpulkan kerikil di sana.

Dari Muzdalifah, jemaah haji bergerak ke Jamarat untuk melempar jumrah, ‘jumratul aqabah’. Mengenakan pakaian ihram, dua helai kain putih yang menanggalkan segala identitas dan atribut dunia, selepas wukuf di Padang Arafah yang merupakan miniatur Padang Mahsyar di hari akhir kelak, para haji dan hajjah harus melempar ‘jumrah’. Ini adalah rekonstruksi peristiwa Nabi Ibrahim yang digoda setan ketika akan ‘berkorban’, setan-setan itu dilempar kerikil hingga musnah.

Hari ini, kita tak diadang setan seperti Nabi Ibrahim. Setan tak lagi tampak di depan mata sehingga harus dilempar dengan kerikil. Lagipula, bukankah semua yang hadir di Arafah segala dosanya telah diampuni? Mengapa masih perlu melempar setan yang mengadang jalan?

Melempar jumrah hakikatnya adalah upaya untuk melenyapkan sifat-sifat setan di dalam diri. Diri yang telah ‘arafa’ seharusnya mengerti bahwa setan-setan tak boleh lagi mengadang jalan kita untuk mengerjakan kebajikan (mabrur). Itulah sebabnya kita diminta melakukan lemparan ke tiga jumrah: Ula, tsani, aqabah. Dengan 49 lemparan kerikil bagi yang melakukan ‘nafar awal’ dan 70 lemparan kerikil bagi yang melakukan ‘nafar tsani’.

Episode ini boleh jadi salah satu yang paling sulit dalam rangkaian ibadah haji. Saya merasakan sendiri betapa berat menjalani bagian ini dari seluruh rangkaian ibadah haji. Berjalan dari Mina menggunakan bus, menuju Muzdalifah, rasanya badan sudah lelah dan remuk. Tapi kami harus bermalam di Muzdalifah, sunnahnya mengambil kerikil di sana untuk keesokan harinya melempar jumrah.

357038482 809015960588404 8406159376675262996 N - inilah.com

Tahun ini, jemaah haji reguler Indonesia ditempatkan di Mina Jadid. Ini adalah ‘Mina expansion’ yang sebenarnya berada di antara Muzdalifah dan Mina. Jadi, siangnya Muzdalifah dan malamnya Mina. Secara ‘ijtihad fiqhiyah’ dua ritual jadi bisa dikerjakan di tempat ini sekaligus. Memudahkan memang secara fiqh, tetapi melelahkan secara fisik, karena jarak antara Mina Jadid ke Jamarat jauh sekali! Sekitar 7km dan harus ditempuh dengan berjalan kaki. Pulang pergi 14 km.

357128249 809016017255065 4985991382456183631 N - inilah.com

Setibanya di Mina Jadid, jemaah haji Indonesia tahun ini menghadapi ujian sangat berat. Kondisi tenda di Mina Jadid ternyata tidak mencukupi, banyak jemaah jadi ‘ngemper’ di luar tenda. Padahal mereka sudah kelelahan di Arafah. Apalagi banyak lansia di antara jemaah haji. Ditambah lagi, dengan situasi di Mina yang serba seperti ‘tenda darurat’ dengan ‘dapur darurat’, membuat pihak maktab kewalahan menyiapkan keperluan jamaah.

Belum selesai ‘chaos’ pembagian tenda yang kenyataannya tak mencukupi itu, makan malam datang terlambat seperti terjadi sebelumnya pada hari terakhir di Arafah. Akibatnya jemaah kelaparan. Harus menunggu hingga dini hari. Banyak yang pingsan, yang tua mendadak demensia, situasi jadi makin menegangkan dan penuh emosi di tengah jemaah.

Bayangkan, setelah menjalani hari-hari yang berat di tenda Arafah, tubuh lelah, badan remuk, perut lapar, tenda tidak mencukupi di Mina Jadid, maktab tidak memberikan solusi yang jelas, semua ini membuat kekacauan tak terkendali. Sesama jemaah bertengkar, petugas kloter berbantah-bantahan (jidal) dengan pihak maktab, umpatan dan caci-maki kepada pemerintah (fusuq) dan panitia pelaksana haji tidak terkendali. Padahal kami semua sedang berihram, ‘jidal’ dan ‘fusuq’ dilarang saat ihram. Inilah ternyata ujian tingkat tinggi sebelum melempar setan-setan di Jamarat, ternyata sulit sekali mengendalikan setan-setan di dalam diri!

Kalau Anda mendengar berita tragedi Muzdalifah kemarin, inilah latar belakangnya. Dalam kondisi yang saya ceritakan di atas, jemaah akhirnya memaksa keluar tenda Mina Jadid untuk melaksanakan jumrah malam itu juga—dini hari. Meskipun keputusan itu di luar jadwal yang seharusnya. Masalahnya, kalau ikut jadwal melempar jumrah yang rata-rata esoknya pada sore hari, situasi di tenda tidak memungkinkan lagi.

Sebagian besar jemaah akhirnya mengambil keputusan sulit. Mereka memaksa keluar tenda meski harus menandatangani surat ‘lepas tanggung jawab maktab’. Artinya, jika ada apa-apa di jalan, semua tanggung jawab sendiri. Sudah ‘kagok edan’, jemaah pun nekad keluar. Setelah jumrah, mereka berencana ‘tanazul’ atau pulang ke hotel masing-masing. Mereka juga sudah tak sabar melepas ‘ihram’. Lalu nanti jumrah mengatur sendiri dari Mekkah.

Kondisi inilah yang secara akumulatif, dalam jumlah yang terus bertambah, membuat situasi di Jamarat dan Muzdalifah pada 10 Dzulhijjah tidak terkendali. Panitia Indonesia juga tidak siap karena semua terjadi di luar jadwal, akhirnya jemaah banyak terlantar di terminal Muzdalifah. Kelelahan secara fisik dan psikis, kelaparan, dan dihadapkan pada ‘mass hysteria’ yang penuh ketidakpastian. Jemaah banyak yang jatuh sakit, pingsan, linglung, bahkan meninggal dunia.

Lalu, siapa yang harus disalahkan? Entahlah. Tapi saya kira semua punya andil dalam peristiwa ini. Pemerintah, maktab, dan jemaah masing-masing mengambil peran kesalahannya sendiri. Semua harus introspeksi. Bahkan mungkin ‘bertaubat’.

Saya bersaksi, inilah di antara ujian haji yang sesungguhnya. Episode yang sangat menguras emosi dan menguji kesabaran. Tes langsung apakah kita bisa menjadi haji mabrur atau tidak? Kemabruran haji, saya kira, bisa karena banyak hal. Ada yang mabrur karena kesabarannya, ada yang mabrur karena kemampuannya menahan amarah, ada yang mabrur karena sikap ikhlas dan ‘nrimo’-nya, ada yang mabrur karena tidak ingin melanggar aturan dan prosedur yang berlaku, ada yang mabrur karena ketidaktahuannya tapi ia ikhlas dengan semua keadaan. Ternyata macam-macam dimensi kemabruran haji.

Hari itu, saya melempar jumrah sore hari selepas ashar, sesuai jadwal yang ditetapkan. Ya Allah, berat sekali ternyata berjalan kaki 7-8 km dari Mina Jadid ke Jamarat. Padahal saya masih muda dan kuat. Apalagi yang lansia dan sakit? Ini ternyata yang ditakutkan para jemaah yang memaksa keluar semalam.

Di jalan, saya melihat banyak orang bertumbangan. Saya harus memapah seorang ibu yang tak sanggup lagi berjalan. Sejauh mata memandang, saya melihat jemaah haji Indonesia yang jatuh atau muntah, mereka kelelahan dan kepanasan. Orang-orang tua dilarikan ke klinik emergency atau Rumah Sakit. Hampir sampai menuju Jamarat, seorang kakek 83 tahun tiba-tiba jatuh dan ditandu askar. Hilang kesadaran.

“Ayo jalan! Jalan! Di sana ada setan! Lempar setan itu!” Kata Askar menggemakan jemaah yang sudah payah berjalan kaki. Sesekali mereka menyemprot dengan air.

Barangkali inilah cara Allah melihat kesungguhan kami yang berhaji untuk berkorban. Bisakah kita mengalahkan segala ego, kesombongan, ke-aku-an, sikap ‘sok kuat’ dan ‘sok bisa’, sebelum ‘sok-sokan’ mau melempar setan kecil-menengah-besar (sughra-wustha-kubra) di Jamarat? Sudahkah kita mengidentifikasi segala setan dalam diri, segala kekurangan dan batas diri, untuk kita kalahkan sampai tumbang di Jamarat?

Akhirnya, di depan mata, itulah ‘jumratul aqabah’! Berdiri kokoh, besar bagai raksasa. Ratusan ribu orang dari berbagai suku bangsa yang menyemut mengerubutinya, melempar batu-batu kerikil ke arah simbol setan itu. Tapi sesungguhnya kita semua melempar kerikil taqwa kepada setan-setan di dalam diri. Kita lempar sifat-sifat buruk kita agar tak menjadi penghalang kebaikan. Kita musnahkan segala keburukan yang mencegah kemabruran kita.

“Bismillahi wallahu akbar, rajman lisysyayaathin wa ridhan lirrahmaan. Allhummaj’al hajjan mabruuran wa sa’yan masykuran.” Para jemaah membaca doa itu sambil melempar jumrah. Mereka melempar penuh semangat: Dengan menyebut nama Allah, Allah Yang Maha Besar. Laknat bagi setan dan keridhaan bagi Allah yang Maha Kasih. Ya Allah, anugerahkanlah kepada kami haji mabrur dan sa’iyang penuh kesyukuran.

Inilah kisah setan-setan yang berkuasa di dalam diri, kisah apakah seorang haji berhasil menanggalkan segala ego dan atribut identitasnya untuk ‘ihram’ belaka—atau masih terganggu dengan hal-hal dunia dan segala nafsu di sekelilingnya. Malam berikutnya, kami akan bermalam lagi. Mabit. Kali ini di Mina. Mengikuti sunnah Nabi berikutnya. Berjuang sampai ‘Munaa’, hingga sampai ‘cita-cita’ berhaji.

Perjuangan untuk itu tidak mudah, untuk sampai ke ‘Munaa’ kita perlu terus menumbangkan setan-setan di dalam diri… terus sampai besok 11, 12 dan 13 Dzulhijjah. 49 kali atau 70 kali, tergantung ‘nafar awal’ atau ‘nafar tsani’, setan-setan harus terus kita robohkan dan hancurkan di dalam diri kita masing-masing.

Ya Allah, sampaikanlah kami ke Mina. Ke ‘Munaa’. Ke cita-cita kami menjadi haji yang mabrur. Tumbangkanlah setan-setan itu, setan-setan di dalam diri kami.

Bismillahi Allahu Akbar!

Muzdalifah-Mina, 10-11 Dzulhijjah 1444H

FAHD PAHDEPIE

Back to top button