Kanal

Sangat Boleh Jadi, Anies Akan Rebut Jawa Barat dari Prabowo

Sebagai “urang Sunda”, saya melihat warga Jabar tergolong masyarakat yang sangat terbuka. Mereka akan menerima Anies dengan antusias, spontan, bahkan dengan gairah perubahan yang terasa. Bila Prabowo yang bukan Sunda saja mereka terima dan dukung dalam dua kali Pilpres, apalagi Anies. Bagi “urang Sunda”, Anies itu “pituin”—asli—“urang Sunda”, bersebab tempat ia dilahirkan, Kuningan. 

Oleh   : Darmawan Sepriyossa

Dering telepon yang berlanjut percakapan singkat pada Senin (24/10/2022) malam itu kontan membuat paras Tarmidzi Yusuf sebentar pucat. “Mohon maaf Pak, kunjungan ke Bandung ditunda. Mendadak besok bertemu pimpinan partai,” kata seseorang di seberang sana. Menutup kontak selularnya, ketua umum Jawa Barat Bersama Anies (Jabar Manies) itu segera mengabarkan isi percakapan kepada semua yang hadir. Lalu, suasana gembira yang sebelumnya menjadi atmosfer technical meeting, mendadak berganti hening.

Ya, Anies Baswedan pada 25 Oktober itu memang urung berada di Bandung. Figur yang secara resmi telah diusung Partai Nasdem sebagai bakal calon presiden itu harus bertemu dengan para petinggi partai-partai politik yang selama ini disebut-sebut akan mencalonkan dirinya, Nasdem, PKS, Partai Demokrat.

“Sudah takdir Allah, apa yang dikehendaki-Nya pasti akan dilaksanakan-Nya. Qadarullah wa masya’a fa’ala,”kata Tarmidzi, tak lama setelah percakapan yang berlanjut obrolan singkat di aplikasi WA itu. Baginya, penundaan itu hanya riak kecil dalam perjuangan. “Saya yakin, meski tertunda dua kali, Bandung Lautan Anies pada saat yang paling tepat akan terjadi,”kata ketua relawan Anies di Jawa Barat itu.

Jawa Barat memang tampaknya akan menjadi benteng kuat sekaligus kantong pengumpul suara buat Anies, bila ia mampu melaju sebagai calon presiden pada Pilpres 2024. Selama dua kali Pilpres, bersama 18 provinsi lainnya, Jabar memang seolah menegasi Jokowi dengan terus berada di pihak Prabowo Subianto. Semua tidak lepas dari kuatnya basis massa Islam di Tatar Pasundan. Dalam catatan para Indonesianis dan pengamat Islam pun, Tatar Sunda memang wilayah para Islamist—apapun definisi mereka untuk kata itu.

Pada Pilpres 2019 lalu, misalnya, Komisi Pemilihan Umum menyatakan secara resmi di Jawa Barat pasangan Prabowo-Sandiaga menuai 16.077.446 suara sah. Jumlah itu setara dengan 59,93 persen suara sah, dibandingkan dengan Jokowi-Makruf Amin yang memperoleh 10.750.568 suara atau 40,07 persen suara sah.

Tetapi bila Prabowo “tetep keukeuh” melaju di Pilpres, tampaknya ia sudah harus menanggalkan harapannya untuk disokong warga Jabar. Saya bahkan memprediksi, suara untuk Prabowo akan melorot signifikan. Bila semesta mendukung Anies menjadi salah satu calon yang berkontestasi, sangat mungkin ia akan merebut banyak benteng kuat Prabowo di masa lalu. Jawa Barat, terutama.

Ada beberapa sebab yang memungkinkan berpindahtangannya suara “urang Sunda” dari Prabowo ke Anies. Yang pertama, sukar dinafikan bahwa urang Sunda itu cenderung dinamis dan cair. Ia bukanlah komunitas individu-individu yang jumud tanpa reserve.  Mungkin karena watak mereka yang cenderung kosmopolit, di Bandung terutama. Di Sunda, kyai juga dihormati. Tapi berbeda dengan masyarakat Jawa, penghormatan urang Sunda terhadap para ulamanya selalu bukan tanpa reserve. Bukan berarti medioker alias setengah hati, namun jauh lebih rasional.

Sementara, bila pada masanya Prabowo adalah ikon perubahan yang dinamis, saat ini label itu sudah tidak layak lagi disandangkan kepada beliau.

Kedua, “urang Sunda” juga anti ‘pengkhianatan’—lihat tanda petik yang saya gunakan. Cermatilah bagaimana “urang Sunda” melihat peristiwa Bubat hingga hari ini, yang membuat para elit mereka belum juga dapat menerakan “Gadjah Mada” , “Majapahit” atau pun “Hayam Wuruk” bagi nama jalan-jalan di Tatar Sunda.   Lihat pula bagaimana mereka merasakan perih manakala –-menurut persepsi urang Sunda—manakala Dipati Ukur yang telah berniat membantu serangan Mataram ke Batavia, 1628, justru akhirnya dikejar-kejar menjadi buronan Kerajaan Jawa yang sebenarnya salah karena telat datang di titik pertemuan.

Jadi apa pun alasannya, tak banyak “urang Sunda” bisa memaklumi masuknya Prabowo ke dalam kekuasaan yang sempat Bersama-sama mereka lawan melalui ajang Pilpres.

Ketiga, “urang Sunda” itu berpikiran dan bersikap terbuka serta gandrung perubahan. Contohnya terlalu banyak untuk diungkap. Lihat saja, betapa banyak hal-hal  dan persona kreatif muncul dari Jawa Barat. “Urang Sunda” juga gampang memaafkan kesalahan mereka sendiri saat salah memilih, dengan keyakinan akan datang figur lain yang lebih baik untuk dipilih. Pada sisi ini, mereka memang ‘kejam’.

Umumnya mereka akan memilih sosok yang sebaik mungkin bisa berhadapan diametral dengan sosok yang mengecewakan mereka. Bila saja—ini hanya contoh—selama ini mereka merasa kecewa dengan kepresidenan Jokowi, mereka akan memilih orang yang secara sederhana bisa menjadi sosok antithesis Jokowi. Dan tentu saja, setelah memilih bergabung dalam kabinet Jokowi, Prabowo tidak memiliki hak untuk menempelkan citra itu pada dirinya.

Sebagai “urang Sunda”, saya melihat warga Jabar tergolong masyarakat yang sangat terbuka. Mereka akan menerima Anies dengan antusias, spontan, bahkan dengan gairah perubahan yang terasa. Bila Prabowo yang bukan Sunda saja mereka terima dan dukung dalam dua kali Pilpres, apalagi Anies. Bagi “urang Sunda”, Anies itu “pituin”—asli—“urang Sunda”, bersebab tempat ia dilahirkan, Kuningan.

Bila kalangan pembencinya akan mengaitkan Anies kepada Arab, kepada Yaman, sebagaimana dengan penuh hasrat mereka sebar-sebarkan, itu tak akan banyak berpengaruh bagi “urang Sunda”. Saya masih mengingat jelas pernyataan tokoh Jawa Barat yang hingga kapan pun tetap dihormati di Tatar Sunda, Ama KH Endang Saifudin Anshari. Bagi Ama—demikian almarhum selalu menyebut dirinya—Sunda itu bahkan bukan sekadar etnis, melainkan beyond semua itu. “Sunda teh Islam, Islam teh Sunda,”kata Ama. Kalimat itu masih belum memenuhi feel-nya manakala saya terjemahkan,”Sunda itu Islam, Islam itu Sunda.” Apalagi, sekali lahi, Anies lahir di Tatar Sunda. Wajar bila “urang Sunda” hanya punya satu kata baginya: “Bagea!” [  ]

Back to top button