Market

Saat IPO, Masyarakat Sampaikan Jejak Hitam Tambang Nikel Pulau Obi

Masyarakat dari Pulau Obi, Maluku Utara bersama Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Enter Nusantara dan Trend Asia menggelar komunikasi di kantor Bursa Efek Indonesia (BEI) saat penawaran saham (IPO) PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL), anak usaha Harita Group.

Muhammad Jamil, Kepala Divisi Hukum Jatam Nasional, PT Trimegah Bangun Persada bersama sejumlah perusahaan lain milik Harita Group yang beroperasi di Pulau Obi, Maluku Utara, diduga melakukan pencaplokan lahan warga secara sepihak, tanpa negosiasi dan ganti rugi yang adil.

“Lili Mangundap dan empat keluarga lain yang menjadi pemilik lahan di desa Kawasi dicaplok lahannya oleh perusahaan. Perusahaan dan pemerintah Kabupaten Halmahera Selatan pun berencana merelokasi warga Kawasi ke Perumahan Eco Village, lokasinya 5 kilometer ke arah selatan dari Kawasi. Bagi warga, relokasi ini tak hanya menyingkirkan mereka dari rumah, tetapi juga mencerabut nilai budaya dan historis warga. Tak hanya itu, warga juga tersingkir dari sumber kehidupan mereka seperti tanah, kebun, dan laut,” ujar Jamil, Jakarta, Rabu (12/4/2023).

Operasional pertambangan Harita Group, kata dia, mengakibatkan sumber air warga Kawasi, tercemar dan sedimentasi ore nikel dari operasi perusahaan. Sebelum tambang masuk dan beroperasi, warga bisa mendapatkan air secara gratis, tapi kini harus mengeluarkan uang untuk mendapatkan air bersih.

Kondisi ini semakin menyulitkan warga yang secara ekonomi kekurangan karena mereka terpaksa menggunakan sumber air yang telah tercemar. PT Trimegah Bangun Persada dan perusahaan milik Harita Group lainnya di kawasan ini membuang limbah ke sungai dan mengalir ke laut.

“Hal ini menyebabkan pesisir dan laut berubah warna menjadi keruh-kecoklatan. Ekosistem laut di Pulau Obi rusak akibat pipa limbah yang mengarah ke laut. Ikan-ikan yang selama ini dikonsumsi warga pun tercemar logam berat,” ungkapnya.

Selain pencemaran di laut, aktivitas perusahaan yang begitu dekat dengan pemukiman, sehingga warga dipaksa berhadapan dengan debu, kebisingan, dan lingkungan yang kotor. Saat musim kemarau, peralatan dapur, meja makan, kursi, lantai, hingga dalam kamar penuh dengan debu dari aktivitas perusahaan dan debu batubara.

Berdasarkan informasi dari warga dan petugas di Polindes Kawasi, infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) adalah masalah kesehatan yang paling utama di Kawasi. Kebanyakan pasien adalah balita. Tercatat ada 124 bayi berusia 0-1 tahun yang mendatangi Polindes sejak Januari hingga Desember 2021. Balita umur 1-5 tahun tercatat sebanyak 283, menyusul berikutnya adalah kelompok usia 20-44 tahun sebanyak 179 orang.

Selain membawa masalah kesehatan, operasional Harita Group juga mengabaikan aspek K3 dari pekerjanya. Sepanjang tahun 2022, sektor pertambangan dan pengolahan mineral mendominasi kecelakaan di Maluku Utara, khususnya milik Harita Group.

“Dengan segala kerusakan lingkungan dan sosial yang dibuat oleh Harita Group, perusahaan ini memiliki penjamin emisi yakni Credit Suisse Group, BNP Paribas, Citigroup, Mandiri Sekuritas, DBS, OCBS Securities, dan UOB Kay Hian. Enam penjamin emisi dari perusahaan Harita Group, kecuali Mandiri Sekuritas, merupakan anggota Net-Zero Banking Alliance. Kerjasama mereka dengan Harita Group ini tentu mencederai komitmen GFANZ itu sendiri dalam mendukung capaian target nol emisi dan transisi energi bersih yang berkeadilan,” kata Novita Indri, pengampanye dari Trend Asia.

Back to top button