Market

Punya Volatilitas Tinggi, BI Peringatkan Hati-hati dengan Uang Kripto

Bank Indonesia (BI) memperingatkan masyarakat untuk menimbang matang sebelum investasi ke uang kripto. Imbal hasilnya besar tapi resikonya super jumbo.

Pihak BI mencontohkan imbal hasil uang kripto jenis Bitcoin mencapai 1.116,73 persen jika dibeli pada akhir 2018 dan dijual pada akhir 2021. Namun, tingkat risikonya juga besar.

Peringatan ini tertuang dalam Buku Kajian Stabilitas Keuangan Nomor 38 Maret 2022 yang dirilis BI pada Jumat (13/5/2022). Menurut BI, tingkat imbal hasil bitcoin sangat tinggi karena masyarakat semakin meminati instrumen investasi ini.

“Jika investor membeli bitcoin dengan mata uang rupiah pada akhir 2018 dan dijual pada akhir 2021, maka investor mendapat capital gain sebesar 1.116,73 persen (yoy),” tulis BI dalam buku tersebut.

Tingkat imbal hasil bitcoin mengalahkan rata-rata investasi di saham sebesar 6,25 persen dan surat berharga negara (SBN) 4,63 persen secara tahunan.

“Selain potensi imbal hasil yang lebih tinggi, kemudahan bertransaksi karena kondisi pasar aset kripto yang berlangsung 24 jam serta kemudahan pendaftaran untuk menjadi investor dengan modal investasi yang relatif rendah berkontribusi terhadap pesatnya perkembangan aset kripto di Indonesia selama 2021,” jelas BI.

Kendati begitu, bank sentral nasional mewanti-wanti soal risiko dari investasi kripto. Apalagi, menurut BI, risikonya bertransmisi ke dalam risiko stabilisasi sistem keuangan, sehingga perlu koordinasi otoritas untuk menciptakan keseimbangan antara inovasi dan risiko yang mungkin timbul.

Menurut catatan BI, risiko utama kripto berasal dari asetnya sendiri maupun pasarnya. Pasalnya, aset kripto tidak diakui sebagai legal tender yang sah. Selain itu, likuiditasnya terbatas dan ada risiko penggunaan utang dalam berinvestasi. “Risiko pasar muncul akibat volatilitas harga serta risiko operasional seperti adanya keamanan siber,” terang BI.

BI melihat jika tidak dikelola dengan baik, maka risiko akan bertransmisi ke empat hal. Pertama, semakin bertambahnya jenis kripto.

Khawatirnya, hal ini membuat investor getol menambah portofolio kriptonya, tapi di sisi lain harganya bervolatilitas, sehingga berpengaruh negatif terhadap neraca keuangan atau kekayaan investor.

Kedua, saat ini perlindungan konsumen terhadap transaksi kripto masih terbatas di Indonesia. Ketiga, ada transmisi berupa eksposur sektor keuangan. Keempat, peningkatan kepemilikan investor terhadap kripto mendorong risiko penggunaan kripto sebagai alat pembayaran pada transaksi terselubung atau ilegal.

“Oleh karena itu, diperlukan koordinasi otoritas untuk menciptakan keseimbangan antara inovasi dan risiko yang mungkin timbul dengan berkembangnya perdagangan aset kripto di Indonesia,” tutup BI.

Back to top button