Kanal

Bola Salju Kecurangan Kikis Demokrasi, Fenomena Cheaters Always Win?


Seperti sudah diduga sebelumnya, kecurangan menjadi isu terpanas setelah pencoblosan suara pada 14 Februari 2024. Isu ini seperti melengkapi tudingan keras kecurangan sebelumnya dari mulai pencalonan presiden dan wakil presiden yang menerabas aturan hingga pelanggaran saat kampanye.   

Begitu selesai proses penghitungan suara dilakukan di setiap Tempat Pemungutan Suara (TPS) terlihat begitu gencarnya warga melaporkan terjadinya kecurangan. Dengan mudah publik bisa menemukan video atau gambar di media sosial tentang kecurangan-kecurangan dalam penghitungan suara.

Dari mulai surat suara yang sudah tercoblos hingga kesalahan sistem rekapitulasi suara yang direkam aplikasi Sirekap Pemilu 2024 milik Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sirekap menggunakan metode gabungan Optical Character Recognition (OCR) dan Optical Mark Recognition (OMR). Keduanya berdasarkan pada pengembangan teknologi kecerdasan buatan (AI). Namun penghitungan di TPS secara fisik angkanya berubah drastis setelah dipindai (scan) ke dalam aplikasi Sirekap ini. 

Dari berbagai temuan, muncul tudingan bahwa kecurangan dalam pemilu kali ini jauh lebih dahsyat dari sebelumnya. “Kami hampir pada kesimpulan terstruktur, sistematis dan massif (TSM) itu benar-benar terjadi dengan kualitas, kadar yang jauh lebih dahsyat ketimbang tahun-tahun sebelumnya,” kata Bambang Widjojanto, Anggota Dewan Pakar Timnas Pemenangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN) Kamis (15/2/2024).

Tim Hukum Nasional (THN) Timnas Anies-Muhaimin telah menemukan banyak kecurangan. Bentuk kecurangan pertama yaitu penggelembungan suara melalui sistem informasi milik KPU yang cukup massif. Kecurangan kedua dalam bentuk surat suara yang telah tercoblos untuk pasangan nomor urut 2, Prabowo-Gibran. 

Kecurangan ketiga yaitu pengerahan aparat melalui kepala desa. Modus tersebut dilakukan pada hari pencoblosan agar kepala desa memberi pengarahan langsung kepada petugas Kelompok Panitia Pemungutan Suara (KPPS) untuk memenangkan paslon tertentu. 

Keempat, kecurangan dalam bentuk pengerahan lansia memilih calon tertentu oleh KPPS. Kelima, jumlah surat suara yang lebih sedikit dari daftar pemilih tetap (DPT). Keenam, penghalangan pemilih oleh Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN). Ketujuh, manipulasi data DPT; delapan, upaya menghalangi saksi di TPS; dan terakhir, praktik politik uang. 

Tak hanya AMIN yang menemukan banyak kecurangan. Kubu Ganjar-Mahfud terus mengumpulkan data-data tentang kecurangan ini. PDI-Perjuangan bahkan menilai ada persoalan yang sangat fundamental terkait dengan legitimasi pemilu, baik proses maupun hasil pemilu. 

“PDI-P mencermati seluruh desain kecurangan pemilu bersifat hulu ke hilir, suara rakyat suara kebenaran. Karena itu, seluruh struktur partai terus mengumpulkan fakta di lapangan,” ucap Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto yang juga Sekretaris Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud, Rabu (14/2/2024).

post-cover
ilustrasi kecurangan pemilu. (Desain:Inilah.com/Febri)

TPN Ganjar-Mahfud tengah melakukan komunikasi dengan Timnas AMIN terkait pembentukan tim khusus yang fokus mengumpulkan berbagai bukti kecurangan dalam Pilpres 2024. 

Kemarahan di Dunia Maya

Di dunia maya, isu kecurangan pemilu juga terus menggelinding. Lembaga analis media sosial Drone Emprit menyebut percakapan tentang kecurangan dalam pemilu kali ini dibahas oleh satu klaster besar. Di dalamnya ada netizen yang pro paslon 01, pro paslon 03, media dan yang netral. Juga muncul ajakan mengumpulkan bukti kecurangan serta tudingan kecurangan sudah direncanakan sejak awal agar pemilu berlangsung satu putaran.

“Mayoritas emosi yang muncul adalah ‘anger’ atau marah. Marah melihat kecurangan yang begitu jelas di depan mata, TSM, untuk calon tertentu. Ada juga ajakan melawan dinasti politik,” terang Ismail Fahmi, pendiri Drone Emprit dalam cuitannya pada Kamis (15/2/2024).

Dalam analisisnya, Ismail mengatakan banyak akun yang melaporkan tentang kecurangan dalam pemilu 2024 dengan berbagai bukti seperti surat suara yang sudah tercoblos, manipulasi data suara, hingga kegiatan pencoblosan oleh anak-anak di bawah umur. Dalam isu ini muncul kekhawatiran bahwa kecurangan tersebut dapat merusak legitimasi pemimpin yang terpilih dan mengikis demokrasi. “Beberapa akun juga menyebut adanya keterlibatan dinasti politik dan nepotisme dalam pemilu ini,” tulis Ismail.

Penyelesaian Kecurangan Masih Bisa Diharapkan? 

Terkait tudingan kecurangan TSM dalam pemilu kali ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meresponsnya dengan enteng. “Mengenai kecurangan, caleg (calon legislatif) itu ada saksi di TPS. Partai ada saksi di TPS. Capres/cawapres ada saksi di TPS. Di TPS ada Bawaslu. Ada juga aparat di sana. Terbuka untuk diambil gambarnya,” katanya kepada wartawan usai membuka IIMS di Kemayoran, Jakarta, Kamis (15/2/2024).

Jokowi meyakini pengawasan yang berlapis-lapis seperti ini akan menghilangkan adanya kecurangan. “Janganlah teriak-teriak curang. Ada bukti, langsung bawa ke Bawaslu, ada bukti bawa ke MK (Mahkamah Konstitusi),” kata Jokowi.

Respons serupa juga keluar dari mulut Ketua Bawaslu, Rahmat Bagja. Ia mengatakan sejauh ini pihaknya belum menemukan adanya dugaan kecurangan pemilu yang TSM. Ia mengakui sedang mengusut dugaan kecurangan pemilu berupa surat suara yang tercoblos sebelum pemungutan suara.

Namun begitu, katanya, waktu pengusutan dugaan pelanggaran pidana tersebut terbatas karena meliputi penyelidikan, penyidikan hingga pencarian alat bukti seperti tercantum di UU nomor 7 tahun 2017. “UU Pemilu hanya memberikan waktu kepada kita 7+7 [hari], plus penyelidikan 14 hari. Nah disitulah waktu kami untuk mencari bukti,” katanya di Gedung Bawaslu, Jakarta.

Menilik pernyataan baik Jokowi maupun Ketua Bawaslu, sepertinya pengaduan maupun gugatan kecurangan tak akan ditanggapi sesuai harapan. Padahal tudingan kecurangan TSM ini seharusnya dijawab dengan data dan bukti-bukti lain yang menguatkan. 

Distrust Merusak Demokrasi dan Memancing Aksi

Miris memang melihat berbagai bukti kecurangan yang muncul dalam pesta demokrasi kali ini. Kita tahu bahwa Demokrasi dibangun dari kepercayaan. Namun kemudian jika distrust atau ketidakpercayaan terhadap demokrasi ini terus diciptakan aparatur negara dari tingkat paling atas sampai ke bawah tentu akan merusak demokrasi itu sendiri. Selain itu akan membuat rakyat malas berpartisipasi dalam demokrasi di masa mendatang.

Apalagi yang merusak demokrasi itu adalah para pejabat atau tokoh-tokoh yang lahir dari proses demokrasi dan reformasi yang sudah dijalankan oleh negara selama ini. Kalau mereka itu lahir dan besar bahkan menikmati berbagai fasilitas dan kenyamanan dari negara kenapa kemudian harus merusaknya demi sebuah ambisi kekuasaan dan pribadi.

post-cover
Ratusan orang massa menggelar demo terkait kecurangan Pemilu 2024 di Kantor KPU RI, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (16/2/2024). (Foto: Inilah.com/Hafiz Marsal)

Negara ini harus banyak belajar dari sejarah bagaimana kecurangan dan tindakan merusak demokrasi berbuah kerusuhan. Belum lupa dari ingatan ketika banyak warga yang kecewa terhadap hasil Pemilu 2019. Lebih dari 400 orang ditangkap setelah terjadi kerusuhan pada 21-22 Mei 2019. Kerusuhan itu bermula ketika Jokowi-Ma’ruf yang didukung sembilan partai politik dinyatakan menang di 21 provinsi dengan perolehan suara 85.607.362 atau 55,50%. Sedangkan Prabowo-Sandi yang diusung empat partai politik menang di 13 provinsi dengan 68.650.239 suara atau 44,50%.

Seperti pada 2024, saat itu tensi politik Pilpres 2019 sangat tinggi. Apalagi ditemukan sejumlah dugaan pelanggaran pemilu seperti pengerahan ASN untuk mendukung paslon tertentu, ketidaknetralan aparat, dan pengerahan kepala daerah serta aparatur pemerintah desa untuk ikut deklarasi dukungan kepada peserta Pilpres 2019. 

Ketika itu, rivalitas pendukung kedua paslon sangat tinggi. Dari level elit hingga menular ke akar rumput. Media sosial selalu ramai oleh isu politik. Ujaran kebencian pun kerap dilontarkan kedua pendukung. Para pendukung pasangan Prabowo-Sandi berunjuk rasa di depan kantor Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu), Sarinah, Jakarta Pusat kemudian berubah menjadi kerusuhan massa dan bentrokan dengan aparat di sejumlah titik sekitar Sarinah, Tanah Abang, dan Sabang. 

Memang tidak sampai terjadi penjarahan. Namun kerusuan 21-22 Mei 2019 di Jakarta mencoreng penyelenggaraan pemilu yang sejak reformasi tidak pernah berbuntut bentrokan. 

Masyarakat juga belum lupa dengan sejarah kerusuhan massa dan kemarahan publik pada era 1965/1966 maupun 1998 akibat kekecewaan rakyat terhadap situasi politik dan pemerintahan ketika itu. Ibarat bola salju, ketidakpuasan bisa terus mengelinding membesar menjadi kemarahan rakyat.

Cheaters Always Win 

Munculnya tudingan kecurangan dalam Pemilu di Indonesia mengingatkan pada sebuah buku berjudul Cheaters Always Win, The Story of America karya JM Fenster. Buku ini banyak menelusuri sejarah melemahnya etika nasional melalui praktik kecurangan di Amerika Serikat (AS).

Dari perselingkuhan hingga penipuan finansial; kecurangan kompetisi olahraga hingga korupsi dan sistem pendidikan di AS; persenjataan nuklir hingga kontes kecantikan; rumah sakit, acara permainan TV, dan badan amal, hampir semua tidak ada yang dikecualikan. Intinya bagaimana sejarah sosial Amerika telah mengalami kecurangan yang tidak adil dan makin luas. Tidak hanya melalui bisnis, olahraga, keuangan, akademisi, dan tentu saja politik.

Bukannya dikucilkan, pelaku curang ini di segala bidang terus bertahan dan bahkan berkembang, menyebarkan pengaruh mereka ke seluruh masyarakat. Parahnya lagi terjadi perubahan tektonik dalam politik di mana revolusi dalam sikap kolektif terhadap pelaku curang ini telah melahirkan jenis kepemimpinan baru.

Membaca buku ini, meskipun ditulis dalam konteks AS, tetapi seperti menampar wajah bangsa sendiri. Sebuah pandangan cerdas, sinis, dan menarik mengenai praktik yang menjadikan Amerika seperti sekarang ini. Fenomena ini pula yang terjadi di negeri ini.

Ada kisah unik soal kecurangan di dunia olahraga yang bisa merefleksikan Cheaters Always Win. Mungkin Anda pernah membaca kisah lomba maraton pada Olimpiade Musim Panas 1904 di St. Louis yang digambarkan Olympics.com sebagai “tontonan paling aneh dalam sejarah Olimpiade”. Seorang pelari dilaporkan diusir keluar lapangan oleh sekelompok anjing liar. Yang lain berhenti di kebun untuk makan apel, mengalami kram perut, tidur siang namun berhasil menempati posisi keempat. 

Sementara orang ketiga diduga berhalusinasi dan digendong oleh pelatihnya melewati garis finis. Dan pemenangnya adalah Fred Lorz dari Amerika, yang menghabiskan 11 mil berkendara dengan mobil. Para pemenang ini kemudian dipuja-puji oleh para penggemarnya sebelum akhirnya ia mengaku berbuat curang. 

Kecurangan apapun bentuknya tak boleh dibiarkan menjadi kebiasaan buruk yang kemudian diberikan permakluman. Kecurangan dijadikan sebagai hal yang lumrah termasuk dalam urusan negara dan pemerintahan. Namun sejatinya, Cheaters Always Win tak boleh terjadi dalam politik dan demokratisasi di Indonesia. 

 

 

Back to top button