Kanal

Mimpi Masa Depan Peradaban Islam dari Tana Samawa

Pesantren itu terletak di sebuah bukit di Dusun Pamangong, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Dea Malela namanya, dinisbatkan dari gelar seorang ulama-pejuang, Ismail Dea Malela, asal Gowa, Sulawesi Selatan, yang berhijrah ke Sumbawa pada tahun 1746 dan enam tahun kemudian ditangkap Belanda hingga dibuang ke Simon’s Town, Afrika Selatan.

Di sebelah barat daya kompleks pesantren, menjulang gunung batu yang unik, Olat Utuk nama gunung itu. Setiap subuh, kabut tebal menyelimutinya. Beriringan dengan suara burung-burung dari pepohonan di hutan sebelah. Kemudian ia sesekali membuka puncaknya bagaikan wanita membuka wajah, tapi kemudian menutupnya kembali. Seolah memainkan perasaan yang melihatnya.

Sekitar pukul 06.30 WITA, saat matahari mulai tinggi, Olat (gunung, bahasa Sumbawa) Utuk mulai menampakkan wajahnya. “Kadang kabut itu mirip selendang yang tergerai, dibentuk oleh goresan awan panjang dari kiri ke kanan.” Ujar Ibunda Rashda Diana, Ibu Nyai pengasuh pesantren modern internasional itu. Kami berbincang di balkon lantai dua rumah pengasuh pesantren, Prof. KH. Sirajuddin Muhammad Syamsuddin. Kita lebih mengenalnya dengan nama Din Syamsuddin, Ketua Umum PP Muhammadiyah Periode 2005-2015, Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerjasama Antaragama dan Peradaban 2014-2018.

Kami berbincang di sana sejak usai salat subuh di Masjid Saidah, tak jauh dari rumah pengasuh pondok. Santri-santri melantunkan shalawat dan puji-pujian khas pesantren dari pengeras suara masjid sejak pukul 04.30 WITA. Ditambah udara dingin, santri-santri yang mengaji usai salat, beberapa terkantuk-kantuk, membuat suasana terasa syahdu dan nostalgik.

“Pesantren ini baru berdiri 7 tahun. Santrinya baru sekitar 300an. Visi saya ingin mencetak ilmuwan-ilmuwan Muslim dunia yang berkontribusi bagi peradaban.” Ujar Prof. Din. Anak-anak santri dan para ustaz-ustazah Dea Malela lebih nyaman memanggilnya Ayahanda. “Saya percaya bahwa mimpi itu perlu diwujudkan dengan cara membangun sistem pendidikan moderen yang terintegrasi. Pesantren ini adalah ikhtiar itu. Dari desa membangun dunia.” Sambung Ayahanda Din.

Di selatan tempat kami duduk-duduk mengobrol, terlihat dua bangunan megah yang saling berhadapan. Dipisahkan sebuah lapangan yang cukup besar. “Itu asrama putera dan puteri.” Cerita Pak Din. “Di belakang asrama putera, di trap ketiga, ada auditorium Sang Surya, namanya diambil dari Mars Muhammadiyah. Di belakang asrama puteri ada gedung kelas. Masing-masing putera dan puteri punya bangunan perpustakaan. Saya sedang bermimpi membangun stadion mini untuk fasilitas olahraga para santri.” Katanya.

Pesantren Modern Internasional Dea Malela memang tidak memisahkan santri putera dan puteri. Mereka berada di kompleks yang sama, berkegiatan bersama, kecuali di asrama, masjid dan kelas. “Boleh dikatakan 60 persen terpisah kegiatannya, 40 persen berjalan normal.” Kata Ayahanda Din. Hal itu ia maksudkan agar para santrinya bisa tumbuh dengan wajar, tidak culture shock dan terbiasa dengan kesetaraan. “Tapi tentu ada sistem yang menjaga pergaulan di antara santri putera dan puteri.”

Sekitar pukul 07.00 para santri mulai keluar dari asrama masing-masing. Mereka berjalan menuju ruang kelas. Para ‘wali asuh’, sebutan untuk pendidik yang bertanggung jawab membimbing santri, terlihat ikut bercengkrama ketika menggerakkan anak-anak asuhnya. Setiap wali asuh menangani 6-7 santri dengan sistem mentoring. 100 persen pendidik di pesantren ini adalah anak muda usia 30-an tahun. Hampir 50 persennya lulusan S2 dalam dan luar negeri.

Saya berada di pesantren itu untuk memberikan materi pengayaan kepada para santri kelas 12 yang akan purna studi. Pesantren menyiapkan kegiatan terpusat bernama Pre-Departure Orientation (PDO) untuk memberikan gambaran tentang dunia luar, termasuk dunia kampus dan dunia kerja nanti. Narasumber yang diundang adalah tokoh-tokoh penting. Ada rektor IPB sekaligus Ketua Umum ICMI, Prof. Dr. Arief Satria, Sekum PP Muhammadiyah Prof. Dr. Abdul Mu’ti, Dekan Fakultas MIPA ITB Prof. Ir. Wahyu Srigutomo, Ph.D, Dosen dan Psikolog dari UMS Yayah Khisbiyah, MA, dan lainnya.

“Ini kami maksudkan agar para santri langsung mendapatkan informasi dan inspirasi dari para ahlinya.” Kata Ayahanda Din. “Saya ingin mendorong para santri untuk menjadi ‘muslim scientist’. Saya senang kalau ada santri yang mengambil kuliah jurusan sains murni. Kita jarang mendorong anak-anak kita ke sana. Padahal Islam dan peradaban masa depan membutuhkan para ilmuwan dan pemikir. Sekarang di luar banyak anak-anak kita justru didorong untuk mengambil ilmu terapan, karena orientasinya dunia kerja, bukan karya peradaban. Saya kira itu perlu kita imbangi.” Ungkapnya.

Beberapa santri kelas 12 PMI Dea Malela tampaknya sudah mengerti betul visi pengasuhnya itu. Adryan, salah satu santri, menyebut ingin mengambil jurusan fisika murni di salah satu universitas di Jepang. “Sedang proses beasiswa,” katanya, “Tapi Alhamdulillah sudah diterima juga di IPB, jurusan yang sama, melalui jalur beasiswa ketua OSIS.” Teman seangkatan Adryan yang lain ada yang sudah diterima di Universitas di Rusia, ada juga yang ingin melanjutkan studi agama ke Mesir atau negara Timur Tengah lainnya.

Prof. Din Syamsuddin memang mendorong para santrinya untuk berani mengambil studi ke luar negeri. “Sekarang memang belum banyak, kami baru meluluskan 4 angkatan untuk jenjang SMA. Banyak di antara mereka yang sudah belajar di beberapa negara. Saya dengan senang hati menulis surat rekomendasi untuk mereka.” Ceritanya antusias.

Anak-anak Dea Malela memang bisa dikatakan memiliki standard yang cukup tinggi karena sistem pendidikan yang diterapkan di sana cukup berbeda, unik, out of the box. Almarhum Prof. Bachtiar Effendy menyebut pendekatan Dea Malela sebagai uncommon experiment atau percobaan yang tidak biasa. Di sana siswa SMP sudah belajar ‘ulumul quran’ dengan pendekatan maudlu’i yang berpijak pada konteks, pengantarnya Bahasa Inggris dan Bahasa Arab. Siswa SMA sudah belajar ilmu kalam, fiqh wa ushuluh dan comparative religions, materi-materi yang barangkali baru diberikan di bangku kuliah sementer akhir.

Tak heran, saat saya berbincang dengan para santri Dea Malela, mereka sudah fasih berbicara tema-tema ‘berat’ yang jadi bahan diskusi di level perguruan tinggi. Santrinya bisa lincah bicara tafsir, hadits, sains, juga pemikiran-pemikiran sosial. “Kami juga melatih mereka dengan metodologi riset dan academic writing.” Kata Pak Din sambil memperlihatkan beberapa hasil karya ilmiah santri yang ditulis dalam bahasa Inggris dan Bahasa Arab, “Kemarin saya menguji presentasi mereka, bagu-bagus, berani, rasanya seperti ujian promosi doktor.” Kelakarnya.

Hari itu saya diminta memberikan materi tentang ‘21st Century Skills’ di hadapan para santri yang akan lulus. Sebelumnya ada banyak materi yang sudah diberikan kepada para santri oleh pembicara lain, mulai dari ‘Islam and the World’, ‘Interfaith Dialogue’, dan lainnya. Saya teringat judul-judul course yang saya ambil ketika kuliah di Australia dulu. Tema-tema canggih yang boleh jadi belum jadi bahan diskusi siswa SMA yang lain, bahkan di kota-kota besar.

Visi besar dan idealisme Prof. Din di Dea Malela memang patut diacungi jempol. Keberaniannya mewujudkan ide ini di sebuah kampung terpencil di Sumbawa, tanah kelahirannya, adalah ikhtiar nyata untuk menyumbang sesuatu untuk umat dan bangsa, bahkan untuk peradaban dunia. “Belum ideal sebenarnya, ini baru sekitar 35 persen terwujud. Masih banyak PR. Terutama soal input siswa.” Paparnya.

Beruntung ia memiliki jaringan nasional dan internasional yang kuat. Kiprahnya selama menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah, Ketua Umum dan Ketua Dewan Pertimbangan MUI, hingga presidium dan ‘chairman’ di berbagai forum ulama dunia membuat banyak hal bisa dieksplorasi di pesantren ini. Termasuk soal pembangunan fisik, untuk pesantren yang baru berusia 7 tahun, pembangunan infrastruktur PMI Dea Malela tergolong sangat masif. Perkembangan pesantren ini kedepan sangat layak ditunggu.

Menjelang Dhuhur, suara santri mengaji terdengar lagi dari masjid. Para santri bergerak menyusun shaf-shaf rapi di masjid bernuansa merah putih. Semuanya berpeci hitam, berbaju koko putih, dan bersarung. Sebelum azan berkumandang, shalawat dilantunkan, “Asshalatu wassalamu ‘alaik… ya imamal mujahidin, yaa Rasulallah…” Agak asing sebenarnya suasana ini di pesantren dengan corak Muhammadiyah. Terlihat Prof. Din berjalan dari rumahnya menuju masjid sambil menggamit sajadah.

Ini pesantren yang unik, bisik saya dalam hati. Didirikan dan diasuh tokoh Muhammadiyah, suasana pesantrennya ala NU, khazanahnya lokal, mindsetnya Internasional, visinya peradaban global. Rupanya dari sini salah satunya nanti masa depan Islam Indonesia dan dunia akan dibentuk. Pesantren ini memang berada di desa, tapi mindset-nya dunia. Saya kira ini desa yang akan mengubah dunia.

Siang itu, Olat Utuk berdiri tegak berlatar langit biru yang cerah. Prof. Din memilih nama Olat Utuk menjadi nama kampus PMI Dea Malela. Gunung yang berdiri tegak bagaikan seseorang yang sedang duduk antara dua sujud, sambil seolah berdoa memohon berkah agar kompleks pesantren di lembah di hadapannya menjadi lembah peradaban, the valley of civilization.

FAHD PAHDEPIE – CEO Inilahcom.

Back to top button