Kanal

Mungkinkah Tes Kebohongan Dibohongi?

Polri menggunakan lie detector untuk memeriksa para tersangka pembunuhan berencana Brigadir Yosua Hutabarat (Brigadir J). Penggunaan lie detector ini disebut Polri dalam rangka pro justitia atau demi keadilan. Akuratkah tes seperti ini dan apakah orang bisa mengelabui tes ini?

Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo menyebutkan, hasil poligraf menjadi wewenang penyidik dan tidak bisa diungkapkan kepada publik. Namun dia menegaskan uji poligraf yang dilaksanakan oleh Puslabfor memiliki tingkat akurasi yang tinggi mencapai 93 persen.

Mungkin anda suka

“Alat-alat poligraf yang digunakan oleh Puslabfor kita ini sudah terverifikasi dan sudah tersertifikasi baik ISO maupun dari perhimpunan poligraf dunia,” kata Dedi, di TNCC Mabes Polri, Jakarta, Rabu (7/9/2022).

Timsus Polri menerapkan uji poligraf terhadap seluruh tersangka perkara pembunuhan tersebut termasuk Irjen Ferdy Sambo dan istri, Putri Candrawathi. Mabes Polri menegaskan hasil poligraf atau pemeriksaan uji kebohongan (lie detector) yang diterapkan dalam penyidikan perkara pembunuhan Brigadir J bagian dari upaya penegakan hukum (pro yustisia).

Namun secara hukum, lie detector tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti. Hal ini mengacu pada Pasal 184 ayat 1 KUHAP. Berdasarkan pasal tersebut, alat bukti yang sah dalam sebuah perkara yaitu, keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Penggunaan lie detector biasanya hanya untuk meyakinkan hakim di pengadilan.

Bagaimana hasilnya? Dirtipidum Mabes Polri Brigjen Andi Rian mengungkapkan, hasil poligraf terhadap tersangka Bharada Richard Eliezer, Bripka Ricky Rizal dan Kuat Ma’ruf sudah keluar. Hasilnya ketiganya dinyatakan telah memberi keterangan secara jujur.

“Hasilnya no deception indicated alias jujur,” ujar Dirtipidum. Namun sampai kini polisi belum menjelaskan hasil tes kebohongan terhadap Irjen Ferdy Sambo dan istrinya Putri Candrawathi.

Andi tidak merinci apa saja yang ditanyakan kepada para tersangka yang sudah menjalani rekonstruksi terkait peristiwa pembunuhan Brigadir J di rumah dinas Kadiv Propam Polri pada 8 Juli lalu. “Hanya pertanyaan kunci, berbeda-beda pertanyaan sesuai peran masing-masing,” ujarnya.

Sering Jadi Kontroversi

Sepanjang sejarahnya tes melalui instrumen ini diiringi dengan kontroversi. Versi paling awal instrumen poligraf dikembangkan pada tahun 1921 ketika John Larson menyusun ukuran pernapasan, detak jantung, dan tekanan darah yang sebelumnya dikembangkan secara individual yang menjanjikan sebagai ukuran kebohongan.

Perkembangan teknologi terus berlanjut, dan tes pendeteksi kebohongan menggunakan poligraf modern sekarang menjadi sistem komputerisasi yang terintegrasi, canggih, yang terus memantau tekanan darah, detak jantung, pernapasan, dan keringat.

Mengutip Pschologytoday, teori di balik poligraf adalah bahwa ketika orang berbohong, mereka mengalami keadaan emosional yang berbeda dari ketika mereka mengatakan yang sebenarnya.

Secara khusus, diperkirakan bahwa ketika orang berbohong, terutama dalam skenario berisiko tinggi seperti interogasi polisi, mereka cemas atau takut ketahuan berbohong. Ketika orang yang bersalah ditanyai pertanyaan yang akan mengungkapkan rasa bersalah dan mereka berbohong, rasa takut akan terdeteksi menyebabkan peningkatan aktivasi sistem saraf simpatik mereka.

Aktivasi ini menyebabkan peningkatan denyut jantung, tekanan darah, pernapasan, dan keringat. Perubahan ini adalah bagian dari sistem fight-or-flight yang dimulai setiap kali merasa takut. Anda mungkin pernah merasakan jantung berdebar-debar atau telapak tangan berkeringat saat menghadapi bahaya, baik itu berhadapan dengan anjing ganas, bos yang marah, atau ujian yang akan datang.

Poligraf dirancang untuk mendeteksi perubahan halus dalam respons fisiologis seseorang ketika mereka berbohong. Gagasan umumnya adalah bahwa ketika seseorang jujur, respons fisiologisnya tetap stabil, sedangkan hati orang yang bersalah akan berpacu. Namun, respons poligraf yang kuat juga dapat disebabkan oleh keterkejutan atau kesal pada pertanyaan atau kegugupan tentang poligraf itu sendiri.

Biasanya, ketika seseorang berbohong, pemeriksa poligraf yang terlatih dapat mengetahuinya meskipun tidak 100 persen akurat. Pemeriksa poligraf juga tidak bisa dilakukan orang sembarangan. Ia harus berada di bawah American Polygraph Association, sebuah sosiasi terkemuka di dunia yang didedikasikan untuk penggunaan metode ilmiah berbasis bukti untuk penilaian kredibilitas.

Keakuratan poligraf menjadi 87 persen atau lebih tinggi. Artinya, dalam 87 dari 100 kasus, poligraf dapat secara akurat menentukan apakah seseorang berbohong atau mengatakan yang sebenarnya.

Bisakah Alat Tes Kebohongan Dibohongi?

Pada Februari 1994, FBI menangkap Aldrich Ames, yang telah menjadi pegawai CIA selama 31 tahun. Ames ditangkap dan didakwa melakukan spionase. Dia adalah mata-mata Rusia. Selama sembilan tahun, dia telah membocorkan rahasia ke Rusia dengan imbalan lebih dari US$1,3 juta. Kegiatan mata-matanya telah membahayakan puluhan operasi CIA dan FBI.

Lebih buruk lagi, kejahatannya yang berbahaya telah menyebabkan kematian beberapa mata-mata CIA dan pemenjaraan lebih banyak lagi. Selama Ames beroperasi sebagai mata-mata Rusia, CIA telah dua kali memberinya tes pendeteksi kebohongan. Meskipun tidak memiliki pelatihan khusus tentang cara mengalahkan tes pendeteksi kebohongan, Ames lulus kedua kali.

Dalam kasus Aldrich Ames ini, tes poligraf tidak dapat diandalkan. Ames berbohong selama pemeriksaan poligraf di CIA, dan dia lulus setiap kali mendapatkan tes. Dalam hal ini, tes pendeteksi kebohongan gagal. Ketika ditanya bagaimana bisa lulus tes poligraf, ia mengatakan bahwa ia mengikuti saran dari pawang Rusia-nya.

Para ahli Rusia itu mengatakan kepadanya, “Tenang saja, jangan khawatir, kamu tidak perlu takut.” Rusia tahu bahwa poligraf itu cacat. Mereka tahu bahwa itu hanya akurat jika peserta ujian khawatir dan cemas. Mereka tahu bahwa jika Ames bisa santai saja, dia akan lulus.

Detektor kebohongan ini sempat viral ketika tes diberikan kepada bintang porno Stormy Daniels pada 2011. Tes menunjukkan dia memberikan jawaban yang benar untuk pertanyaan: “Sekitar Juli 2006, apakah Anda melakukan hubungan seks vagina dengan Donald Trump?” “Sekitar Juli 2006, apakah Anda melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan Donald Trump?”. Sebuah laporan tentang tes tersebut, menyatakan kemungkinan Daniels berbohong adalah ‘kurang dari 1 persen’.

Validitas pembacaan poligraf telah banyak dikritik. Satu masalah, kata para kritikus, adalah kecenderungan manusia untuk berbohong. Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak mulai berbohong sebelum usia 3 tahun.

Saat kita tumbuh, beberapa dari kita menjadi pembohong, dan itu dapat mempengaruhi bagaimana kita menanggapi poligraf. Sebuah studi tahun 2016 menemukan bahwa semakin banyak orang berbohong, otak menjadi tidak peka, dan cenderung tidak memicu respons otonom.

“Kemungkinan respons otak yang tumpul terhadap tindakan ketidakjujuran yang berulang mencerminkan respons emosional yang berkurang terhadap tindakan ini,” kata penulis utama studi dan peneliti ilmu saraf Neil Garrett dalam sebuah pernyataan.

American Psychological Association percaya bahwa pendeteksi kebohongan tidak akurat. Mereka mengatakan masalah yang mendasarinya adalah teoritis. Mungkin ada banyak alasan lain bagi seseorang untuk bernapas lebih cepat atau mengalami peningkatan tekanan darah, detak jantung dan keringat. Misalnya, kata Asosiasi, “orang yang jujur mungkin gugup saat menjawab dengan jujur dan orang yang tidak jujur mungkin tidak cemas.”

“Ketakutan, kemarahan, rasa malu karena ditanyai pertanyaan pribadi, rasa sakit akibat latihan kardio, bahkan nada suara pemeriksa semuanya dapat menyebabkan reaksi yang sama persis dengan yang akan dicap sebagai kebohongan oleh pemeriksa poligraf,” tulis Doug Williams dalam bukunya ‘Cara Menyengat Poligraf’, seperti dikutip dari CNN.

Ada pula sejumlah alasan berbeda mengapa sebuah tes mungkin tidak akurat. Ini termasuk pertanyaan yang dirumuskan kurang tepat serta pewawancara salah membaca hasilnya. Jika pemeriksa terlatih dan tes dilakukan dengan benar akurasinya bisa sangat tinggi di atas 90 persen

Mendorong Pengungkapan Kebenaran

Ada kegunaan lain untuk tes poligraf dalam sebuah percobaan yakni mendorong orang untuk mengaku. Mengutip The Conversation, psikolog forensik Theresa Gannon dan rekan-rekannya mempelajari ini pada pelanggar seks Inggris pada tahun 2014. Mereka menemukan bahwa pelanggar lebih mungkin untuk mengungkapkan sesuatu yang menarik ketika menggunakan poligraf.

Pengungkapan ini sering terjadi setelah hasil poligraf terindikasi ternyata melakukan kebohongan. Bisa jadi pelaku merasa terpaksa membuat pengakuan telah gagal poligraf. Namun, penelitian tersebut tidak dapat memastikan apakah pengakuan tersebut benar.

Setelah gagal poligraf, pelanggar mungkin merasa bahwa penyangkalan lebih lanjut tidak akan dipercaya dan mengaku adalah yang terbaik, bahkan ketika mereka tidak berbohong. Penelitian ini menunjukkan bahwa poligraf dapat digunakan untuk menekan pelanggar secara psikologis agar mengungkapkan informasi yang memberatkan diri sendiri. Informasi yang bahkan mungkin tidak benar.

Jadi, apakah penggunaan poligraf masih perlu? Tentu saja. Hanya saja memang tidak mudah untuk mengungkap kejujuran dan apakah seseorang berbohong atau tidak.

Tes seperti ini memiliki beberapa kegunaan sebagai indikator potensial penipuan dan untuk mendorong pengungkapan kebenaran. Yang terpenting adalah tetap skeptis terhadap kesimpulan apa pun yang diperoleh dari hasil lie detector ini.

Back to top button