Kanal

Malam-malam Resah AHY Sebelum 23 September 2016

Meski tidak merinci, bahkan di volume ketiga dari tetraloginya, “Merayakan Demokrasi Tanpa Polarisasi” yang menyoal peristiwa itu, hari-hari menjelang 23 September 2016 tampaknya merupakan putaran waktu yang mencekam, bikin gerah dan mendatangkan gundah buat AHY. Hal yang wajar saja sebenarnya, karena orang semaqam Muhammad Iqbal yang filosof cum sufi dan memikirkan secara  serius tentang manusia sempurna, insan kamil, pun, menuliskan dalam puisinya,“Hidup adalah abadi, selalu gemetar, selalu muda…”

Oleh     :  Darmawan Sepriyossa

Barangkali, bukan sekali dua–di keseharian, apalagi pada konten-konten dunia maya–kita menemukan orang yang menyayangkan mengapa mantan Presiden SBY ‘memengaruhi’ putra sulungnya yang berkarir cemerlang di Tentara Nasional Indonesia (TNI), mengambil pensiun dini. Pada kalangan yang terlihat laiknya ‘haters’ bahkan sampai hati menuding presiden ke-6 RI itu telah menghancurkan karir sang anak demi plot politik, upaya meraih kekuasaan.  Namun sejak Kamis malam (10/8/2023), tampaknya hanya mereka yang memang dengkilah yang akan terus menghidup-hidupkan tudingan itu.

Tidak hanya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang dengan tegas menolak tudingan tersebut. Istri AHY, Annisa Larasati Pohan, menepis tudingan lama tersebut di hadapan ratusan hadirin yang memadati Ballroom Djakarta Theater, Jalan Thamrin, serta sekian banyak pemirsa yang mengikuti peluncuran buku “Tetralogi Transformasi AHY” lewat siaran langsung melalui akun resmi @AgusYudhoyono.

Annisa membantah tudingan bahwa SBY berperan besar memengaruhi suaminya. Apalagi bila disebutkan mendikte AHY untuk mengambil pensiun dini, agar bisa mengayunkan langkah pertama penerima bintang Adhi Makayasa–lulusan terbaik Akademi Militer–itu ke dunia politik. Annisa mengatakan, suaminya seorang yang senantiasa melandasi segala tindakannya dengan niat baik bagi kemaslahatan masyarakat. “AHY selalu beristikharah sebelum mengambil keputusan-keputusan penting, dan saya yakin itu yang ia lakukan (sebelum memutuskan pensiun dini).”

Jangan mengambil kesimpulan salah atas kalimat itu. Sang suami, AHY, memang tengah tidak berada di dekatnya, sekian pekan menjelang 23 September 2016, saat AHY dengan tegas mengambil keputusan untuk menerima pinangan empat partai politik, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), serta Partai Demokrat, sebagai calon keempat partai itu untuk Pilkada DKI Jakarta 2017 itu.

Istikharah-istikharah terakhir AHY seiring simpang jalan yang membuatnya resah untuk memutuskan terjun ke politik (dan otomatis meninggalkan dunia militer), atau mencapai cita-cita menjadi jenderal itu dilakukannya di Darwin, Australia. Ia tengah memimpin pasukannya, ratusan personel TNI AD, melakukan latihan perang tahunan Wirra Jaya, selama kurang lebih tiga pekan di seputaran wilayah ibukota negara bagian Australia utara itu.

Meski tidak merinci, bahkan di volume ketiga dari tetraloginya, “Merayakan Demokrasi Tanpa Polarisasi” yang menyoal peristiwa itu, hari-hari menjelang 23 September 2016 tampaknya merupakan putaran waktu yang mencekam, bikin gerah dan mendatangkan gundah buat AHY. Hal yang wajar saja sebenarnya, karena orang semaqam Muhammad Iqbal yang filosof cum sufi dan memikirkan secara serius tentang manusia sempurna–insan kamil– pun, menuliskan dalam puisinya,“Hidup adalah abadi, selalu gemetar, selalu muda…”

Hanya gundah yang bisa membuat AHY menelepon ‘kakak asuh’ alias ‘suheng-nya selama pendidikan di Akmil Magelang, M Iftitah. “Kamis Kliwon, 22 September 2016, pukul 8 pagi, saya tengah berdinas di Bandung, saat AHY dari Darwin menelepon,”kata Iftitah, yang pada Kamis malam itu menjadi salah satu pemberi kesaksian tentang perjalanan hidup AHY.

“Bang, saya mendapat aspirasi untuk maju dalam Pilkada DKI, menurut Abang bagaimana?”kata Iftitah menirukan AHY saat itu. Setelah mengaku terdiam, Iftitah hanya bilang, kalau mau jadi jenderal, AHY harus melupakan Pilkada. “Tapi kalau mau masuk politik, tak penting menang atau kalah, insya Allah, mungkin ini momentumnya,”kata Iftitah. Saat itu Iftitah mengaku menambahkan,”Kelak, jam terbang politik Mas akan lebih tinggi dibanding para jenderal.”

“Kalau begitu, Bang, bismillah, saya siap maju,”kata AHY dari Darwin.

Iftitah yakin, meski AHY menelepon dirinya, keputusannya untuk mengambil pensiun dini bukanlah keputusan sehari-dua. Itu, kata Iftitah, refleksi perjalanan hidupnya yang meyakini bahwa “Jika di TNI, jangan berpolitik. Jika berpolitik, berhentilah dari TNI.” “Keputusan AHY itu calling, panggilan tugas lebih besar untuk bangsa dan negara,”kata dia.

Setelah semua itu, pada 22 September 2016, tatkala berpidato untuk pertama kalinya di depan DPP Partai Demokrat, di hari pendaftaran dirinya menjadi salah saat kontestan Pilkada DKI Jakarta, AHY tak lagi terlihat gamang. Berbaju adat Betawi putih, dengan kopiah hitam dan sarung yang melingkar leher, Agus Harimurti Yudhoyono lebih mengesankan seorang yang siap memimpin, membawa kebaikan dan kemaslahatan bagi umat yang dipimpinnya. Tampilan yang kokoh, setegas saat ia memimpin ratusan personel TNI AD dalam satuan PBB, UNIFIL, di Lebanon, maupun ketika latihan bersama Australian Army, beberapa hari sebelumnya.

Pidatonya tenang, lebih terasa reflektif, menunjukkan hasil seseorang yang baru usai tafakur. Sementara tafakur sendiri adalah laku yang dianjurkan hampir setiap peradaban tinggi. “Hidup yang tidak ditafakuri,”kata Aristoteles,”adalah kehidupan yang tak layak dijalani.” Konon Nabi Muhammad SAW pun menyarankan kita untuk bertafakur. Dalam kitab “Rahasia Sufi”, terjemahan Indonesia dari kitab “Siral-asrar Maa Yahtaj Ma’al Abrar” karangan Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, terdapat sebuah hadits. “Tafakur sesaat itu lebih baik dari satu tahun ibadah”, kemudian beliau bersabda lagi, “Tafakur sesaat itu lebih baik dari 70 tahun ibadah”, dan beliau bersabda lagi,”Tafakur sesaat itu lebih baik dari seribu tahun ibadah.”

Terasa seolah ia tengah menasihati dirinya sendiri, waktu dalam pidato tersebut AHY berkata,”…seorang pemimpin harus bisa dan berani mengambil keputusan. Tanpa paksaan dan tekanan dari siapa pun, saya telah mengambil keputusan.”

Tentang anggapan orang bahwa sang ayah—SBY–, juga Memo, almh Ibu Ani, berperan besar dalam pengambilan keputusan tersebut, Kamis malam itu AHY menegaskan kebenarannya. Namun tidak sebagaimana yang dianggap sementara kalangan selama ini. AHY mengaku bersyukur tumbuh dalam lingkungan keluarga yang sangat demokratis. Menurut dia, Pepo SBY dan Memo-nya tak pernah memaksakan kehendak mereka dan mendikte dirinya maupun Ibas di setiap perjalanan kehidupan kakak beradik itu.  SBY, menurut AHY, lebih banyak mendorong, menasihati, dan memberikan arah kepada mereka berdua. Jadi, menurut AHY, dirinya telah memilih jalan tersebut dengan pertimbangan matang. Ia mengaku telah meminta petunjuk lewat salat istikharah, serta mendengarkan masukan dari keluarga, terutama istri dan kedua orang tuanya.

Alih-alih disesali, ‘kegagalannya’ di Pilkada, sebagaimana terma yang dipakai publik, pun tak pernah disesalinya. Ia bahkan mengaku hal itu telah memberikan banyak hikah untuknya.

“Sejak kecil saya selalu juara,”katanya kepada Iftitah yang malam itu mengungkapkannya kembali. “Ini cara Tuhan agar saya tak sombong.”

Tentang hal itu, kesaksian Dino Patti Djalal tampaknya relevan. Malam itu Dino, junior dan sahabat Pepo, mengingatkan AHY tentang ‘ilmu berlian’ yang didapatnya dari ayahnya, diplomat Hasjim Djalal. “Pakailah ilmu berlian,”kata dino. “Berlian, di mana pun ia berada, pada kesempatan apa pun, senantiasa berharga,”kata Dino.

Menimpali Dino soal berlian, sahabat lama AHY, Anies Rasyid Baswedan, dalam kesaksiannya malam itu mengingatkan fakta keberadaan berlian. Berlian, juga batu bara, berasal dari bahan yang sama, karbon. Perlakuanlah, kata Anies, yang membuat keduanya menjadi senyawa yang berbeda. “Yang tidak kena tekanan tinggi, yang tak terpanaskan tingginya suhu bumi, ia akan jadi batu bara. Tetapi yang kena tekanan tinggim kena suhu tinggi, kena gemblengan, ia jadi berlian,”kata Anies. Jadi, kata Anies, “Bagi mereka yang hari-hari ini dan kemarin mengalami tekanan tinggi, sesungguhnya merakalah yang berpotensi menjadi berlian-berlian masa depan.”

Bahagialah AHY! Lebih bahagia lagi karena ia sendiri mengaku beruntung mendapatkan tempaan itu. “Saya merasa beruntung, sudah menghadapi tempaan ujian seperti ini di usia yang relatif muda dalam politik,”kata AHY, tiga tahun lalu. Jika waktu yang diisi dengan baik mampu mematangkan jiwa, kita bisa menduga sudah sematang apa jiwa AHY pada usia 45 ini. [  ]

Back to top button