Kanal

Konsistensi Indonesia Dukung Perjuangan Palestina

“Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah Bangsa Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel.” (Pidato Presiden Pertama RI Ir Soekarno pada 1962)

Dukungan sekeras itu bukanlah tanpa alasan. Seperti diketahui, dalam upaya perjuangan kemerdekaan, Indonesia membutuhkan dukungan internasional dari bangsa-bangsa di dunia, dan dukungan kepada kemerdekaan Indonesia pertama kali muncul dari bangsa-bangsa di Timur Tengah.

Mesir tercatat sebagai negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia. Tak hanya itu, tokoh-tokoh yang berasal dari Palestina juga mendukung dan ikut mengkampanyekan kemerdekaan Indonesia. Mereka adalah Syekh Muhammad Ammin Al Husaini dan Muhammad Ali Taher.

Dilansir dari buku Mata Air Keteladanan karya Yudi Latif, Syekh Muhammad Ammin sebagai mufti Palestina dan Muhammad Ali Taher mendukung kemerdekaan Indonesia. Ali Taher bahkan menyumbangkan uangnya di Bank Arabia untuk membantu perjuangan Indonesia.

“Terimalah semua kekayaan saya ini untuk memenangkan perjuangan Indonesia,” kata Ali Taher, saudagar kaya Palestina, kepada Ketua Panitia Pusat Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia, Mohamed Zein Hassan, ketika awal terjadinya Agresi Militer II Belanda di Indonesia sekitar bulan Desember 1948.

Ali Taher sebagai raja media Palestina kelahiran Nablus, Tepi Barat, tahun 1896, itu, dikenal telah lama sangat mencintai Indonesia. Bahkan, ia sangat dekat dengan para pemuda pejuang Indonesia di Timur Tengah. Sebagai pengusaha, ia memiliki beberapa media cetak, di antaranya Ashoura, Al-Shabab, Al Minhaj dan Al Alam Al-Masri.

Ali Taher membangun Kantor Informasi Arab Palestina dan Komite Palestina di Kairo, Mesir tahun 1921 yang diberi nama Dar Ashoura. Di kantor itulah sejumlah politisi dan pencari suaka dari berbagai negara datang dan bertemu. Termasuk sejumlah tokoh Indonesia yang pernah berkunjung seperti Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim, Wakil Presiden Mohammad Hatta, Mohamed Rashidi, Kahar Muzakir dan M. Zen Hassan Lc Lt.

Saat itu sebenarnya posisi Palestina dan Indonesia sama-sama negeri terjajah dan saling mendukung upaya kemerdekaan. Walau takdir menentukan bahwa Indonesia memiliki peluang merdeka lebih awal pada 17 Agustus 1945.

https://i0.wp.com/c.inilah.com/reborn/2023/10/Indonesia_Palestina_01_a3b4dc5dbb.jpg?ssl=1
Menlu RI Haji Agus Salim (kedua dari kiri) dan Muhammad Ali Taher (tengah) dalam sebuah kesempatan di tahun 1946. [foto: dokumentasi Eltaher.org] 

Kemerdekaan Adalah Hak Segala Bangsa

Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, kemerdekaan dipandang sebagai hak setiap bangsa di muka bumi. Oleh karena itu, wajar bila simpati Indonesia tertuju pada Palestina sebagai satu-satunya bangsa yang belum merdeka sampai saat ini. Sejak era Presiden Soekarno, Indonesia menempatkan posisi sebagai pendukung Palestina sekaligus mengecam tindakan sewenang-wenang Israel.

M Muttaqien dalam artikelnya untuk jurnal Global and Strategies (2013) menjelaskan, ada dua hal yang menjadi konsen Indonesia terhadap Palestina. Pertama, Indonesia merupakan negara berpenduduk mayoritas Muslim di dunia. Karena itu, Yerusalem –yang berlokasi di Palestina– menjadi isu penting lantaran statusnya sebagai tanah suci ketiga dalam ajaran Islam.

Kedua, Indonesia mengikuti komunitas internasional pada umumnya yang menganggap konflik Palestina-Israel sebagai isu sentral untuk mengupayakan perdamaian di Timur Tengah. Atas dasar ini, Indonesia selalu menjalankan politik luar negeri yang menginginkan solusi damai sekaligus dukungan terhadap perjuangan Palestina merdeka.

Pada masa pemerintahan Soekarno, Indonesia sempat menjadi sorotan dunia karena menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika (KAA) yang pertama di Bandung pada 1955. Dalam perhelatan ini, Soekarno menegaskan keberpihakannya pada bangsa Palestina dengan cara tidak mengundang Israel.

Sang Proklamator RI itu menilai rezim zionis tersebut merupakan bagian dari kolonialisme atas bangsa-bangsa Asia dan Afrika. Menurut Muttaqien, politik luar negeri Soekarno seputar isu-isu Asia Barat berpihak pada Pan-Arabisme yang dipunggawai sahabatnya dalam Kubu Non-Blok, Gamal Abdel Nasser.

Dengan gerakan tersebut, ada harapan bahwa bangsa Arab bersatu untuk mengusir kolonialisme Eropa dari Asia Barat dan Afrika Utara. Soekarno memandang pembentukan Israel tidak lain sebagai satu hasil nyata penjajahan Eropa yang masih bercokol di Asia pasca-Perang Dunia II. Alasannya, entitas Yahudi itu eksis dengan jalan mencaplok tanah milik bangsa Palestina.

Solidaritas Indonesia terhadap Palestina dan negara-negara Arab pada umumnya juga terjadi ketika Jakarta menjadi tuan rumah Asian Games pada September 1962. Indonesia tidak memberikan visa kepada para atlet Israel. Presiden Soekarno tetap konsisten dengan kebijakan ini meskipun dengan konsekuensi bahwa Komite Olimpiade Internasional (KOI) tidak mengizinkan Indonesia mengikuti gelaran Olimpiade mendatang.

Soekarno juga menolak imbauan KOI agar Indonesia meminta maaf lantaran dituding melakukan diskriminasi politis. Alih-alih menggadaikan sikap anti-penjajahan, Soekarno justru terbilang sukses dengan menggelar ajang tandingan Olimpiade, yakni GANEFO, pada akhir 1962.

Ketegasan sikap resmi Indonesia itu tentunya tak lepas dari aspek historis hubungan internasional dengan negara-negara Arab. Seperti diketahui, Indonesia memperoleh kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Tidak lama setelahnya, negara-negara Arab seperti Mesir, Lebanon, Suriah, dan Arab Saudi, mengakui kedaulatan Indonesia pada 1947. Setahun kemudian, Yaman juga mengakui hal yang sama.

https://i2.wp.com/c.inilah.com/reborn/2023/10/Indonesia_Palestina_02_a0ead8c4ff.jpg?ssl=1
Resepsi pengakuan kemerdekaan RI oleh Mesir pada 9 Juni 1947. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Menlu Haji Agus Salim (paling kanan). [foto: arsip dari buku Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri]

Keberpihakan negara-negara Arab waktu itu dipandang penting untuk menegaskan posisi Indonesia dalam forum-forum internasional. Misalnya, terkait status Irian Barat yang masih dikuasai Belanda.

Sementara itu, Israel juga mengakui kemerdekaan Indonesia pada Januari 1950 atau setelah Belanda menyerahkan kedaulatan kepada RI. Di satu sisi, ‘tertinggalnya’ Israel cukup beralasan karena entitas Yahudi ini baru terbentuk pada 1948.

Namun, di sisi lain, tidak ada signifikansi pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Israel. Presiden dan perdana menteri Israel kala itu, Chaim Weizmann dan David Ben-Gurion, sempat mengirimkan surat telegram resmi kepada Soekarno dan Mohammad Hatta. Dua pemimpin nasional kita itu menanggapinya dengan dingin.

Sebagai wapres, Hatta hanya menjawabnya cukup dengan terima kasih tanpa sedikit pun menyinggung keinginan yang diharapkan Weizmann dan Ben-Gurion: RI mengakui Israel sebagai negara berdaulat. Lebih lanjut, menteri luar negeri Israel saat itu, Moshe Sharett meminta kepada Hatta agar Israel dibolehkan mengirimkan misi diplomatik ke Jakarta. Namun, Hatta mengimbau Sharett agar menunda keinginan ini tanpa menyebut batas waktu.

Orde Baru Terus Dukung Palestina

Ketegasan sikap RI berlanjut di zaman pemerintahan Soeharto. Dalam masa Orde Baru, Indonesia masih mendukung perjuangan bangsa Palestina sekaligus mengecam Israel sebagai entitas penjajah. Namun, sedikit berbeda dengan rezim Soekarno, penguasa Orde Baru tidak langsung berkonfrontasi dengan Israel.

Menurut Muttaqien, Presiden Soeharto lebih menyukai upaya-upaya mediasi untuk menyudahi konflik Palestina-Israel. Di samping itu, Orde Baru diketahui lebih berpihak pada Barat, utamanya dalam soal ekonomi dan politik keamanan.

Karena itu, misalnya, ketika negara-negara Arab melakukan embargo minyak kepada Amerika Serikat (AS) dan sekutunya, Indonesia tidak dalam posisi mendukung langkah ini. Sebab, pada tahun 1970-an ekonomi Indonesia masih bertumpu pada sektor migas yang bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan asing asal Barat.

Sebagai bukti pragmatisme Orde Baru, Muttaqien mengutip fakta ketika OPEC menyepakati kenaikan harga minyak ekspor hingga 10 persen pada Oktober 1975. Sebagai anggota OPEC, Indonesia saat itu hanya menaikkan harga komoditas tersebut 1,6 persen, meskipun kemudian sempat menjadi 10 persen setelah konferensi OPEC di Doha, Qatar, pada Desember 1976.

Pada zaman Orde Baru pula, Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) terbentuk pada 1967. Namun, menurut Muttaqien, Presiden Soeharto terbilang telat untuk mengizinkan pendirian kantor perwakilan PLO di Jakarta.

Menlu RI saat itu, Adam Malik, baru memberikan izin demikian pada 1974. Itu setelah pertemuan puncak Liga Arab berlangsung di Rabat, Maroko, yang salah satu hasilnya mengakui PLO sebagai satu-satunya organisasi yang merepresentasikan rakyat Palestina. Di saat yang bersamaan, PBB juga mengakui kepemimpinan Yasser Arafat atas PLO. Pemimpin besar Palestina itu pada 1984 mengunjungi Jakarta dan disambut baik Presiden Soeharto.

https://i2.wp.com/c.inilah.com/reborn/2023/10/Indonesia_Palestina_03_28a541d52c.jpg?ssl=1
Presiden Soeharto (kiri) berbincang dengan Pemimpin PLO (Palestine Liberation Organization) Yasser Arafat (kanan) saat melakukan pertemuan di Istana Merdeka Jakarta, pada 25 Juli 1984. [foto: dokumentasi Antara]

Saat Palestina mendeklarasikan kemerdekaan di Aljazair pada 15 November 1988, Indonesia termasuk negara pertama yang mengakui kemerdekaan tersebut.

Sebagai langkah nyata dukungan RI ke Palestina, pada 19 Oktober 1989 di Jakarta telah ditandatangani ‘Komunike Bersama Pembukaan Hubungan Diplomatik’ antara Menlu RI Ali Alatas dan Menlu Palestina Farouq Kaddoumi yang sekaligus menandai pembukaan Kedutaan Besar Negara Palestina di Jakarta.

Duta Besar pertama Palestina untuk Indonesia menyerahkan Surat-surat Kepercayaannya kepada Presiden Soeharto pada 23 April 1990. Sementara, Duta Besar RI di Tunis, Tunisia, juga diakreditasikan bagi Negara Palestina.

Dukungan Terhadap Palestina di Era Reformasi

Selepas lengsernya Soeharto, kepemimpinan Presiden BJ Habibie kurang begitu tampil mengenai upaya penyelesaian konflik Palestina-Israel. Sebab, dalam masa pemulihan demokrasi ini, Indonesia masih konsen pada isu-isu seputar hak asasi manusia, khususnya di Timor Timur.

Malahan, pemerintah Indonesia lebih berfokus pada persoalan dalam negeri, khususnya untuk menjaga situasi kondusif setelah Kerusuhan 1998. Bagaimanapun, dukungan terhadap Palestina tetap mengalir dari rakyat Indonesia.

Tak banyak catatan hubungan Habibie dengan Palestina karena jabatannya yang seumur jagung. Namun ketika ia meninggal pada 2019, ratusan Muslim di Palestina melakukan salat gaib untuknya.

WNI di Gaza, Abdillah Onim, mengatakan salat gaib digelar pada Kamis, 12 September 2019 di Masjid Raya Umar di Kota Jabalia, Gaza Utara. Imam salat adalah ulama senior Palestina, Syeikh Mahmud Dardona.

“Selain salat gaib, ratusan jemaah mengangkat kedua tangan untuk mendoakan almarhum Habibie semoga mendiang husnul khatimah, diampuni seluruh dosa, dan ditempatkan di tempat terbaik di sisi Allah,” ujar Onim.

Baru pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati Soekarnoputri, isu Palestina kembali hangat. Secara keseluruhan, dua rezim ini masih menegaskan posisi Indonesia sebagai pendukung kemerdekaan Palestina. Indonesia juga mendukung penerapan solusi dua-negara, yang di dalamnya Israel harus mengakui Palestina sebagai negara berdaulat.

Ketika Gus Dur berkuasa, RI sempat diwacanakan akan menjalin hubungan diplomatik dengan Israel. Pelbagai protes segera tertuju kepada wacana ini. Namun, menlu saat itu, Alwi Shihab, menegaskan komitmen Indonesia untuk tidak membuka hubungan diplomatik dengan Israel sampai entitas Yahudi itu mengakui kedaulatan Palestina.

https://i0.wp.com/c.inilah.com/reborn/2023/10/Indonesia_Palestina_04_e0f094baa3.jpg?ssl=1
Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) didampingi Menlu Alwi Shihab saat bertemu dengan pemimpin PLO Yasser Arafat di Jakarta. [foto: Gusdurian]

Selepas Gus Dur lengser, Megawati melanjutkan dukungan presiden-presiden RI sebelumnya dalam membela Palestina. Dalam pemberitaan media massa di 2003, Megawati mempertanyakan langkah PBB dalam menangani konflik Israel-Palestina.

Oleh Menlu saat itu, Hassan Wirajuda, Megawati disebut mempertanyakan kepada Sekjen PBB Kofi Annan perihal proses negosiasi antara Palestina dan Israel.

Di era Megawati, Menlu Hassan Wirajuda juga sempat mengunjungi Palestina bersama para menteri negara anggota Gerakan Non Blok. Jubir Deplu saat itu, Marty Natalegawa menyebut kunjungan menteri itu sebagai bentuk bukti konkrit dukungan Indonesia terhadap Palestina.

Masih terus konsisten, era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun menunjukkan keberpihakan RI pada Palestina. Sekalipun Indonesia pada saat itu cenderung dekat dengan AS, SBY menegaskan sikapnya terkait kedaulatan Palestina.

Pada 2006, Hamas memenangi pemilihan umum di Palestina. Negara-negara Barat merespons dengan menjatuhkan boikot kepada Palestina karena memandang Hamas sebagai organisasi teroris. Namun, menlu RI saat itu, Hassan Wirajuda, mengeluarkan pernyataan bahwa Indonesia menghormati pilihan rakyat Palestina yang tersalurkan via jalan demokratis itu.

Berbeda dengan Barat, Indonesia memandang Hamas mampu menyelenggarakan pemerintahan yang baik sembari ikut memperjuangkan Palestina merdeka.

Di masa pemerintahan SBY, Palestina berhasil menjadi non member observer state PBB pada 29 November 2012. Peran Indonesia merupakan co-sponsor dari status tersebut.

“Hal ini memiliki arti simbolis sekaligus strategis bagi Palestina, yaitu menunjukkan pengakuan dunia internasional atas statehood Palestina, dan memberikan kesempatan bagi Palestina untuk berperan aktif dalam pelbagai forum PBB, termasuk aktif dalam pemilihan tertentu,” tulis keterangan Kemlu mengenai status Palestina itu.

Dalam era Presiden Joko Widodo –yang hampir genap dua periode, Indonesia juga teguh dalam sikap membela kedaulatan Palestina.

Jokowi, misalnya, mengecam klaim Presiden AS Donald Trump yang merestui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Pernyataan-pernyataan Kepala Negara –baik langsung maupun diwakili menteri– di pelbagai forum dunia juga menegaskan posisi Indonesia yang mendukung penyelesaian damai antara Palestina-Israel.

https://i2.wp.com/c.inilah.com/reborn/2023/10/Indonesia_Palestina_05_903fd25643.jpg?ssl=1
Presiden Joko Widodo (kanan) melakukan pertemuan bilateral dengan Presiden Palestina Mahmoud Abbas (kiri) di sela rangkaian KTT Luar Biasa ke-5 OKI mengenai Palestina dan Al-Quds Al-Sharif di Jakarta, pada 6 Maret 2016. [foto: Antara]

Salah satu langkah besar dukungan RI ke Palestina pada era Jokowi yakni dengan penyelenggaraan Peringatan 60 Tahun Konferensi Asia-Afrika (KAA) pada April 2015. Dalam peringatan itu disepakati ‘Declaration on Palestine’.

Deklarasi tersebut menggarisbawahi dukungan negara-negara Asia dan Afrika terhadap perjuangan bangsa Palestina dalam rangka memperoleh kemerdekaannya dan upaya menciptakan two-state solution.

“Peringatan 60 Tahun KAA juga menghasilkan Deklarasi Penguatan New Asia Africa Strategic Partnership yang diantaranya menegaskan kembali dukungan negara-negara Asia dan Afrika bagi penguatan bantuan kapasitas kepada Palestina,” tulis Kemlu.

Dalam forum tersebut juga Presiden Jokowi menegaskan dukungannya terhadap Palestina. Menurutnya, negara-negara Asia-Afrika masih berutang kepada Palestina yang belum merdeka hingga kini.

“Kita harus terus berjuang bersama mereka. Kita harus mendukung lahirnya sebuah Negara Palestina yang merdeka,” tegas Presiden Jokowi dilansir situs Setkab.

Sebagai bentuk dukungan pada kemerdekaan Palestina, dalam pertemuan itu, Presiden Jokowi juga menyampaikan rencana Indonesia untuk membuka Konsul Kehormatan Republik Indonesia di Ramallah.

Rencana itu direalisasikan satu tahun kemudian pada 2016 dengan menunjuk Maha Abu-Shuseh. Konsul kehormatan RI yang pertama itu dilantik di KBRI Amman pada 13 Maret 2016.

“Dukungan Indonesia kepada perjuangan rakyat Palestina tidak pernah padam dan pada hari ini kita maju satu langkah lagi dengan pelantikan Konsul Kehormatan RI di Ramallah,” terang Menlu Retno Marsudi saat melantik Konsul Kehormatan RI di Ramallah itu.

Back to top button