Kanal

Koalisi Capres di Putaran Kedua, Siapa Menyelamatkan Demokrasi?


Pasangan Prabowo-Gibran masih di atas angin. Semua survei menyebutkan pasangan ini bakal menang, namun menariknya, tidak ada ada jaminan bisa meraih suara 50% lebih, sehingga ada kemungkinan Pilpres berlangsung dua putaran. Wacana koalisi Capres pun menyeruak dengan narasi menyelamatkan demokrasi.

Berdasarkan Pasal 6A ayat (3) UUD 1945, ketentuan terpilihnya seseorang menjadi Presiden dan Wakil Presiden adalah memperoleh suara lebih dari 50 persen, dengan sebaran sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi, di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia. Jika putaran pertama tidak bisa memenuhi syarat itu, terpaksa akan ada putaran kedua. 

Pemenang pertama dan kedua nantinya akan kembali berkontestasi mendapatkan suara terbanyak. Sedangkan pasangan yang mendapat suara paling sedikit, tersingkir alias tidak bisa ikut dalam putaran kedua. Namun pemenang ketiga bisa berkoalisi dengan pemenang pertama atau kedua.

Memang belum saatnya berspekulasi tentang koalisi Capres di putaran kedua. Apalagi akhir-akhir ini kubu Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, terlihat gas pol dengan berbagai cara untuk memenangkan pilpres di putaran pertama, dengan suara mayoritas untuk menghindari terjadinya putaran kedua. Ini masuk akal karena, kubu pasangan nomor 02 ini akan menghadapi lawan berat jika pemenang kedua dan ketiga berkoalisi.

Penjajagan dan prediksi tentang bergabungnya capres di putaran kedua pun mulai ramai. Banyak analis termasuk dari luar negeri mulai menerka-nerka koalisi ini. Yang paling banyak mengemuka adalah kemungkinan koalisi antara pasangan nomor urut 01 yakni Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan nomor urut 03 pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD.

“Saya rasa Prabowo tidak akan bisa menang secara langsung pada putaran pertama, jadi kita bisa berharap untuk melihat putaran kedua,” kata Ian Wilson, peneliti senior di Pusat Penelitian Indo-Pasifik di Universitas Murdoch, mengutip South China Morning Post (SCMP).

Ramai berkembang isu pasangan 01 dan 03 kemungkinan akan membentuk aliansi untuk mengganjal kemenangan Prabowo. Namun membangun koalisi kedua kubu ini bukan hal mudah. Ini mengingat menggabungkan PDI-P yang dianggap ‘sekuler’ tempat Ganjar bernaung dengan kubu Anies yang juga diusung Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang Islamis dan konservatif, tentu akan menjadi tantangan tersendiri.

post-cover
Calon Presiden Prabowo Subianto (kemeja biru) bersama dengan Ganjar Pranowo (kemeja putih) dan Anies Baswedan (jas hitam). (Foto:AFP/Yasuyoshi Chiba)

Hanya saja, politik Indonesia seringkali memunculkan anomali. Lihat saja pada 2019, hampir tidak ada seorang pun yang bisa meramalkan bahwa Jokowi akan memilih saingan terberatnya dalam pemilu untuk menjadi menteri pertahanan. Apalagi calon wakil presiden berikutnya adalah putra presiden. Jadi mungkin lebih bijaksana bagi rakyat di nusantara untuk menunggu-nunggu hal-hal yang seringkali tidak terduga terjadi di Pilpres 2024 ini.

Demokrasi Terus Melemah

Pilpres kali ini memang lebih dinamis. Manuver masing-masing calon untuk memimpin sudah tampak sejak beberapa bulan lalu. Yang banyak berbeda adalah cawe-cawe Presiden Jokowi dalam cupras capres kali ini. Bahkan pada akhirnya cawe-cawe itu berbuntut kepada hadirnya sang putra mahkota Jokowi yakni Gibran Rakabuming Raka menjadi pendamping Prabowo Subianto sebagai Cawapres.

Peristiwa ini yang kemudian menjadikan banyak pengamat dan lawan-lawan politiknya termasuk partainya sendiri yakni PDI Perjuangan menilai apa yang dilakukan Jokowi tengah membangun politik dinasti lewat pasangan Prabowo-Gibran. Tak heran muncul kekhawatiran akan terkikisnya nilai-nilai demokrasi, tidak pro-rakyat, otoritarianisme serta nepotisme jika pasangan nomor urut 2 ini memenangkan kontestasi Pilpres ini.

Bahkan kondisi ini diprediksi akan membuat demokrasi di Indonesia makin tertinggal. Saat ini saja, Economist Intelligence Unit (EIU) mengumumkan Indonesia hanya mendapatkan skor 6,71 (skala 10) pada indeks demokrasi tahun 2022. Indonesia hanya bertengger di posisi ke-54—turun dari tahun sebelumnya yang menempati posisi ke-52—dari total 167 negara. 

Merujuk pada laman resmi EIU, terdapat lima kategori yang diperhitungkan dalam penilaian ini, yakni proses pemilu dan pluralisme, kebebasan sipil, berfungsinya pemerintahan, partisipasi politik, dan budaya politik. Pada kategori budaya politik, Indonesia hanya mendapatkan skor 4,38. Namun angka tersebut dinilai masih kurang ideal jika dibandingkan dengan pemerintahan sebelumnya, ketika pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) indeks demokrasi cenderung meningkat, dari angka 6,41 pada 2006 menjadi 6,95 pada tahun 2014. 

Masih perlu bukti wajah demokrasi Indonesia malah menurun? Freedom House telah menempatkan Indonesia sejak 2014 berada dalam kategori negara yang demokrasinya bebas sebagian. Padahal, sebelumnya, Indonesia masuk kategori bebas dengan skor 2,5.

Sementara jika merujuk Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) yang diukur oleh sejumlah lembaga di dalam negeri, di antaranya Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bappenas, secara umum demokrasi Indonesia masuk kategori sedang, meskipun dengan model pengukuran terbaru sejak 2022 demokrasi Indonesia masuk kategori baik.

Indeks demokrasi di Indonesia sulit membaik mengingat sejumlah peristiwa politik dan hukum akhir-akhir ini kerap menjadi penghalang bagi jalannya proses demokrasi di Indonesia. “Menurunnya indeks demokrasi disebabkan upaya-upaya memunggungi demokrasi dengan mengatasnamakan demokrasi,” ujar Fajar Nursahid Direktur Riset Algoritma dalam diskusi publik di Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), pekan lalu.

Upaya pengabaian demokrasi melalui konstitusi masif dilakukan oleh pemerintah jelang Pilpres ini, misalnya melalui upaya perpanjangan masa jabatan presiden dan penundaan pemilu. Hal itu diperparah dengan independensi penyelenggara pemilu, Mahkamah Konstitusi (MK) dan netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam Pilpres. Upaya pelanggaran konstitusi itu sangat terasa dan dengan mudah dapat dilihat publik dengan mata telanjang. Sementara pengangkatan Penjabat (Pj) kepala daerah juga kental dengan nuansa politik.

post-cover
Para pasangan calon presiden dan wakil presiden di sela acara Penguatan Anti Korupsi untuk Penyelenggara Negara Berintegritas (Paku Integritas) di Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada, Setiabudi, Jakarta Selatan, Rabu (17/1/2024). (Foto: Inilah.com/Agus Priatna)

Kecenderungan pelemahan demokrasi juga sudah terlihat dari penempatan hukum dan demokrasi yang lebih rendah dibanding otoritas kepemimpinan. Keterlibatan ASN dalam proses pemenangan kandidat adalah bukti lebih tingginya kekuasaan dibanding demokrasi dan konstitusi. “Ancaman saat ini adalah proses-proses yang membuat hukum dan kesetaraan dengan mudah dilanggar oleh kepentingan dan kehendak kekuasaan,” ujar Airlangga Pribadi Dosen Fakultas Ilmu Politik Universitas Airlangga Surabaya. Ia mengaku sangat khawatir demokrasi akan membawa pada sistem tirani baru di Indonesia.

Koalisi Ideal untuk Demokrasi

Isu penurunan indeks demokrasi ini muncul menjelang kian dekatnya pencoblosan Pilpres. Terutama berkaitan dengan kemungkinan koalisi Capres di Pilpres putaran kedua. Prabowo-Gibran yang merepresentasikan pemerintahan saat ini dengan dukungan dari Jokowi, dinarasikan sebagai pihak yang tidak mengindahkan demokrasi dan bertanggung jawab terhadap penurunan indeks demokrasi ini. 

Alhasil, wacana pembentukan koalisi pasangan Capres/Cawapres di pilpres putaran kedua pun disebut-sebut sebagai upaya untuk menyelamatkan demokrasi. “Ada kemungkinan kubu Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud berkoalisi di putaran kedua, mengingat mereka memiliki isu bersama seperti menyelamatkan demokrasi, melawan politik dinasti, dan perasaan terzalimi,” ujar Adi Prayitno, Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia (PPI), Minggu (14/1/2024).

Hingga saat ini memang pembahasan tentang koalisi di putaran kedua masih sebatas pernyataan elite dan belum ada pembicaraan resmi. Namun intensitas komunikasi tim pemenangan pasangan capres-cawapres 01 dan 03 makin tinggi menunjukkan mereka memiliki kesadaran yang sama terkait kondisi demokrasi saat ini.

Capres Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo dalam beberapa waktu terakhir ini sempat menunjukkan kemesraan politik seperti memberikan sinyal wacana bergabungnya kubu 01 dan 03. Kemesraan tersebut salah satunya tergambar saat Anies Baswedan mengucapkan selamat ulang tahun kepada PDI Perjuangan melalui cerita di media sosial Instagram.

Sementara Ganjar Pranowo saat perayaan HUT PDI Perjuangan ke-51 di Sekolah Partai, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Rabu (10/1/2024) sempat mengungkap narasi ‘perubahan’ yang selama ini melekat pada pasangan Anies-Muhaimin. Kata ‘perubahan’ itu terucap saat mantan Gubernur Jawa Tengah itu mengungkapkan bahwa pemilu menjadi harapan untuk rakyat kecil memperbaiki hidupnya.

Yang jelas, sangat wajar bila ada dorongan kuat koalisi itu terbentuk dengan tujuan menyelamatkan demokrasi, melawan neo-orba, melawan politik dinasti, nepotisme dan lain-lain. Namun harus diingat bahwa sejatinya yang harus berkoalisi adalah seluruh rakyat tak hanya kubu-kubu dalam Pilpres. Demokrasi sudah menjadi cita-cita luhur bangsa yang mesti diselamatkan dan dipelihara demi kemajuan seluruh rakyat. Negara tak boleh mundur ke lagi ke belakang ke era sebelum reformasi.

Back to top button