Kanal

Ketika Ma’ruf Al-Kharki Menyuapi Seekor Anjing Jalanan


Sesama sufi, Muhammad Manshur Al-Thusi, bertanya, “Kemarin aku bersamamu tapi tidak terlihat olehku bekas luka. Bekas apakah ini?” Ma’ruf menjawab, “Jangan hiraukan segala sesuatu yang bukan urusanmu. Tanyakan hal-hal yang berfaedah bagimu.” Tapi Manshur terus mendesak. Ma’ruf pun menjawab. “Kemarin malam aku berdoa semoga aku dapat ke Mekkah dan bertawaf mengelilingi Kakbah. Doaku itu terkabul, ketika hendak minum air di sumur Zamzam, aku tergelincir, dan mukaku terbentur sehingga wajahku luka.”

 

Nama wali sufi Ma’ruf Al-Kharki tidak sepopuler Syekh Abdul Qadir Al-Jilani, Manshur Al-Hallaj, atau Junaid Al-Baghdadi. Padahal, Ma’ruf adalah salah seorang sufi penggagas paham cinta dalam dunia tasawuf, yang jiwanya selalu diselimuti rasa rindu yang luar biasa kepada Sang Khalik. Wajar bila ia menjadi panutan generasi sufi sesudahnya. Banyak sufi besar seperti Sarry Al-Saqaty, terpengaruh gagasan-gagasannya. Ma’ruf juga dianggap salah seorang sufi penerus Rabi’ah Al-Adawiyah, sufi pelopor Mazhab Cinta.

Nama lengkapnya Abu Mahfudz Ma’ruf bin Firus Al-Karkhi. Meski lama menetap di Baghdad, Irak, ia sesungguhnya berasal dari Persia. Beliau hidup di zaman kejayaan Khalifah Harun Al-Rasyid dari Dinasti Abbasiyah.

Perhatikan komentar Sarry As-Saqaty, salah seorang muridnya. “Aku pernah bermimpi melihat Al-Kharki bertamu di Arasy, waktu itu Allah bertanya kepada malaikat, siapakah dia?”

Malaikat menjawab, “Engkau lebih mengetahui wahai Allah,” maka Allah SWT berfirman, dia adalah Ma’ruf Al-Kharki, yang sedang mabuk cinta kepadaku.”

Menurut Fariduddin Aththar, salah seorang sufi, dalam “Tadzkiratul Auliya” yang ditulisnya, orang tua Ma’ruf adalah seorang penganut Nasrani.

Suatu hari guru sekolahnya berkata, “Tuhan adalah yang ketiga dan yang bertiga.” Ma’ruf membantah, “Tidak! Tuhan itu Allah, yang Esa.” Mendengar jawaban itu, sang guru memukulnya, tapi Ma’ruf tetap dengan pendiriannya. Ketika dipukuli habis-habisan oleh gurunya, Ma’ruf melarikan diri.

Karena tak seorang pun mengetahui kemana ia pergi, orang tua Ma’ruf berkata, “Asalkan ia mau pulang, agama apa pun yang dianutnya akan kami anut pula.” Ternyata Ma’ruf menghadap Ali bin Musa bin Reza, seorang ulama yang membim-bingnya dalam Islam.

Tak beberapa lama, Ma’ruf pun pulang. Ia mengetuk pintu. “Siapakah itu” tanya orang tuanya. “Ma’ruf,” jawabnya. “Agama apa yang engkau anut?”tanya orang tuanya. “Agama Muhammad, Rasulullah,” jawab Ma’ruf. Mendengar jawaban itu, orang tuanya pun memeluk Islam.

Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Daud At-Tsani, yang membimbing Ma’ruf dengan disiplin kesufian yang keras, sehingga mampu menjalankan ajaran agama dengan semangat luar biasa. Ia dipandang sebagai salah seorang yang berjasa dalam meletakkan dasar-dasar ilmu tasawuf dan mengembangkan paham cinta Ilahiah.

Menurut Ma’ruf, rasa cinta kepada Allah SWT tidak dapat timbul melalui belajar, melainkan semata-mata karena karunia Allah SWT. Jika sebelumnya ajaran tasawuf bertujuan membebaskan diri dari siksa akhirat, bagi Ma’ruf merupakan sarana untuk memperoleh makrifat (pengenalan) akan Allah SWT. Tak salah jika menurut Sufi Taftazani, Ma’ruf Al-Kharki adalah orang yang pertama kali memperkenalkan makrifat dalam ajaran tasawuf, bahkan dialah yang mendifinisikan pengertian tasawuf. Menurutnya, tasawuf ialah sikap zuhud, tapi tetap berdasarkan Syariat.

Menurut Ma’ruf, seorang sufi adalah tamu Allah di dunia. Ia berhak mendapatkan sesuatu yang layak didapatkan oleh seorang tamu, tapi sekali-kali tidak berhak mengemukakan kehendak yang didambakannya. Cinta itu pemberian Allah, sementara ajaran sufi berusaha mengetahui yang benar dan menolak yang salah. Maksudnya, seorang sufi berhak menerima pemberian Allah, seperti karomah, namun tidak berhak meminta. Sebab hal itu datang dari Alla–yang lazimnya sesuai dengan tingkat ketakwaan seseorang kepada Allah SWT.

Gambaran tentang Ma’ruf diungkapkan oleh seorang sahabatnya sesama sufi, Muhammad Manshur Al-Thusi, katanya, “Kulihat ada goresan bekas luka di wajahnya. Aku bertanya: kemarin aku bersamamu tapi tidak terlihat olehku bekas luka. Bekas apakah ini?” Ma’ruf pun menjawab, “Jangan hiraukan segala sesuatu yang bukan urusanmu. Tanyakan hal-hal yang berfaedah bagimu.”

Tapi Manshur terus mendesak. “Demi Allah, jelaskan kepadaku.” Maka Ma’ruf pun menjawab. “Kemarin malam aku berdoa semoga aku dapat ke Mekkah dan bertawaf mengelilingi Kakbah. Doaku itu terkabul, ketika hendak minum air di sumur Zamzam, aku tergelincir, dan mukaku terbentur sehingga wajahku luka.”

Pada suatu hari Ma’ruf berjalan bersama-sama muridnya, dan bertemu dengan serombongan anak muda yang sedang menuju ke Sungai Tigris. Di sepanjang perjalanan anak muda itu bernyanyi sambil mabuk. Para murid Ma’ruf mendesak agar gurunya berdoa kepada Allah sehingga anak-anak muda mendapat balasan setimpal. Maka Ma’ruf pun menyuruh murid-muridnya menengadahkan tangan lalu ia berdoa, “Ya Allah, sebagaimana engkau telah memberikan kepada mereka kebahagiaan di dunia, berikan pula kepada mereka kebahagiaan di akherat nanti.” Tentu saja murid-muridnya tidak mengerti. “Tunggulah sebentar, kalian akan mengetahui rahasianya,” ujar Ma’ruf.

Beberapa saat kemudian, ketika para pemuda itu melihat ke arah Syekh Ma’ruf, mereka segera memecahkan botol-botol anggur yang sedang mereka minum, dengan gemetar mereka menjatuhkan diri di depan Ma’ruf dan bertobat. Lalu kata Syekh Ma’ruf kepada muridnya, “Kalian saksikan, betapa doa kalian dikabulkan tanpa membenamkan dan mencelakakan seorang pun pun juga.”

Ma’ruf mempunyai seorang paman yang menjadi gubernur. Suatu hari sang gubernur melihat Ma’ruf sedang makan roti, bergantian dengan seekor Anjing.

Menyaksikan itu pamannya berseru, “Tidakkah engkau malu makan roti bersama seekor Anjing?”  Sahut sang kemenakan, “Justru karena punya rasa malulah aku memberikan sepotong roti kepada yang miskin.”

Kemudian ia menengadahkan kepala dan memanggil seekor burung, beberapa saat kemudian, seekor burung menukik dan hinggap di tangan Ma’ruf. Lalu katanya kepada sang paman, “Jika seseorang malu kepada Allah SWT, segala sesuatu akan malu pada dirinya.”  Mendengar itu, pamannya terdiam, tak dapat berkata apa-apa. [dari “Tadzkiratul Auliya”, karya Fariduddin Aththar]

 

Back to top button