Kanal

Kampanye Pemilu 2024: Akad Suci di Pelaminan Lancung

Bukan hanya terima kasih yang dituai TKN-TKD Prabowo-Gibran karena urusan suap-menyuap dalam arti harfiah, yakni ngasih makan orang banyak, itu. Dua tim dari kedua pasangan calon lain mempermasalahkan hal tersebut sebagai sebuah pelanggaran kampanye. Di sisi lain, benarkah para pemilih muda kita hanya generasi ‘kopong’ yang cuma peduli gimmick?

Andai saja dalam aturan kampanye Pemilu 2024 dijelaskan tegas tertulis soal tidak dibolehkannya “cara-cara kotor”, tampaknya pasangan calon (Paslon) no 2, Prabowo Subianto—Gibran Rakabuming, mungkin akan terpilih sebagai pasangan paling taat asas. Soalnya, mana bisa mereka main kotor-kotoran, bila kampanyenya saja berwujud bagi-bagi makan siang dan minum susu secara massal? Siapa mau makan makanan kotor dan minum susu tercemar, bukan?

Tentu saja pernyataan di atas semata sebuah kelakar. Tetapi bahwa kegiatan makan siang dan minum susu menjadi menu utama kampanye Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, itu telah menjadi kebenaran. Tidak hanya TKN yang melakukannya, Tim Kampanye Daerah (TKD) paslon no 2 di berbagai wilayah Tanah Air juga melakukan hal yang sama.

Di Surabaya, misalnya. Pada hari kedua kampanye, Rabu (29/11) lalu, TKD Jawa Timur mengisi kampanye dengan pemberian makan siang dan susu gratis kepada para ibu dan anak-anak mereka. Menurut Ketua DPC Gerindra Surabaya yang menjadi penanggung jawab kegiatan, Cahyo Harjo Prakoso, aktivitas sejenis dilakukan serentak TKD Prabowo-Gibran di Indonesia. “Pesan Pak Prabowo dan Mas Gibran, kegiatan ini merupakan komitmen mereka dan menjadi salah satu program strategis yang sangat penting bagi bangsa ini,” kata Cahyo. Dia mengatakan, melalui program tersebut, pasangan nomor urut 2 itu ingin pertumbuhan anak Indonesia berjalan optimal.

Cahyo bukan asal asal ngomong mencari pembenaran. Dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) bersama TKD seluruh Indonesia, Jumat (1/12) lalu, TKN menekankan pentingnya kampanye dengan cara baik dan tidak menggunakan cara-cara kotor itu. “Pesan dari Pak Prabowo dan Mas Gibran sudah disampaikan. Intinya, kita harus menjalankan pesta demokrasi ini dengan santun, baik, tidak boleh menjelek-jelekkan paslon lain,” kata Ketua TKN Prabowo-Gibran, Rosan P Roeslani. Dalam Rakornas yang dihadiri para petinggi TKN Prabowo-Gibran, termasuk delapan ketua umum partai pengusung, urusan makan siang dan minum susu itu pun dibahas serius.

Namun, tampaknya tak hanya terima kasih yang dituai TKN-TKD Prabowo-Gibran karena urusan suap-menyuap dalam arti harfiah itu. Tim Pemenangan Daerah (TPD) Ganjar-Mahfud Sumatera Utara, menilai aksi serentak TKN-TKD Prabowo-Gibran itu harus disemprit Bawaslu di semua jenjang, karena kegiatan tersebut dilakukan di seluruh tingkatan kampanye.

“Bawaslu harus segera memeriksa seluruh tim kampanye yang melakukan kegiatan tidak sesuai dengan PKPU No.15 Tahun 2023 tentang Kampanye Pemilihan Umum itu,”kata Juru Kampanye dan Juru Bicara TPD Ganjar–Mahfud Sumut, Sutrisno Pangaribuan. Dalam penilaiannya, aksi pembagian makanan dan susu gratis itu telah melanggar aturan kampanye, yang tertuang dalam PKPU No.15 Tahun 2023. Menurut Sutrisno, aksi tersebut tidak sesuai dengan metode kampanye yang dibenarkan. Pasalnya, kata dia, makanan dan susu yang dibagikan kepada umum secara gratis tidak termasuk bahan kampanye sebagaimana diatur pada Bagian III Penyebaran Bahan Kampanye Pemilu Kepada Umum.

Ia membuka Pasal 33 ayat (1) PKPU yang menyebutkan bahwa peserta Pemilu dapat menyebarkan bahan kampanye Pemilu kepada umum, yakni dalam bentuk selebaran, brosur, pamflet, poster, stiker, pakaian, penutup kepala, alat minum/makan, kalender, kartu nama, pin, alat tulis; atau atribut kampanye lainnya yang memang telah dirinci dalam pasal tersebut.“Maka kegiatan pembagian makanan dan susu gratis tidak sesuai dengan metode kampanye. Makanan dan susu gratis tidak termasuk bahan kampanye Pemilu kepada umum,” ujar Sutrisno.

Apalagi, kata dia, pembagian makanan dan susu gratis dalam kegiatan kampanye itu pun dapat dimaksudkan sebagai tindakan memengaruhi pemilih untuk memilih atau tidak memilih sesuai kepentingan pemberi. “Maka tindakan memengaruhi pemilih dengan metode kampanye dan bahan kampanye yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum dan perundang-undangan, masuk kategori pidana Pemilu,” kata dia, tegas.

Untuk itu, Sutrisno menuntut agar sumber dana bagi pengadaan dan pembagian makanan dan minuman gratis tersebut harus diusut berdasarkan UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Bila Tim Ganjar-Mahfud lebih cergas, Tim Anies-Imin (AMIN) tampaknya perlu waktu untuk menilai kegiatan “suap-menyuap” yang dilakukan TKN-TKD Prabowo-Gibran itu. Baru Sabtu (2/12/2023) lalu Dewan Pakar Timnas AMIN merilis pernyataan yang mereka sebar ke media massa, termasuk yang Inilah.com terima.

Memang, rilis yang beredar tersebut tidak menanggapi langsung urusan kampanye TKN-TKD yang menunya fokus ke seputar makan siang dan minum susu itu. Pernyataan anggota Dewan Pakar Timnas AMIN, Fahrus Zaman Fadhly, itu lebih untuk menolak statement Sekretaris Jenderal TKN Prabowo-Gibran, Nusron Wahid, yang bermaksud melakukan realokasi anggaran pendidikan 2024 sebesar Rp660 triliun ke program makan siang dan susu gratis.

Menurut Fahrus, realokasi dana pendidikan ke program makan siang gratis jelas merupakan bentuk pengkhianatan terhadap konstitusi. “Program ini juga akan menggagalkan seluruh perencanaan pendidikan yang berorientasi pada pembangunan sumber daya manusia Indonesia. Jika program ini direalisasikan, masa depan bangsa akan makin suram dan jauh dari harapan Indonesia menjadi bangsa yang maju dan bermartabat,” kata Fahrus dalam rilis tersebut.

Bagi Fahrus, bila anggaran program makan siang gratis diambil dari 20 persen anggaran pendidikan, dipastikan indeks pembangunan manusia Indonesia pun akan lebih meluncur ke bawah lagi dari selama ini. “Rata-rata lama sekolah yang menjadi komponen utama indeks pendidikan akan menurun secara dramatis. Kualitas dan kesejahteraan guru diabaikan. Pembangunan fasilitas dan ruang kelas urung dibangun. Pelatihan guru sebagai upaya peningkatan mutu pendidikan ditiadakan. Kuota berbagai jenis beasiswa seperti KIP, LPDP, BPI dan lain-lain akan minim bahkan bisa hilang. Apakah ini yang diinginkan mereka?” tanya dia, retoris.

Tetapi, selama Bawaslu tidak membunyikan peluit dan menunjuk satu tim paslon melakukan “off-side”—misalnya TKN-TKD dalam kasus makan siang dan minum susu massal—bisa dipastikan sepanjang 75 hari masa kampanye ini Tim Prabowo-Gibran tetap akan melanjutkan program tersebut. Paling tidak, kecuali kegiatan tersebut, publik pun selama ini memang tak mendapatkan clue yang cukup tentang apa yang hendak mereka jual sebagai program unggulan.

Dan tentu saja, tak bisa TKN-TKD Prabowo meminta publik mencari, meriset dan membaca sendiri program Tim melalui visi-misi paslon no 2 yang telah tersebar selama ini. “Buka saja Google, cari di YouTube, Tiktok, dan silakan pirsa sendiri!” misalnya. Tentu tak bisa demikian, meski benar semua visi-misi pasangan calon, dengan kemajuan teknologi komunikasi saat ini, bisa dicari sendiri oleh publik pemegang hak pilih.

Dalam pengamatan Inilah.com, Prabowo-Gibran, juga TKN-TKD, memang tak banyak mengupas hal yang berkaitan dengan ide “mau dikemanakan Indonesia ke depan” itu, dari pasangan tersebut. Prabowo, sebagaimana bisa dilihat di banyak video, jauh lebih sering berjoget dan mengajak publik “happy-happy”, ketimbang bicara hal-hal esensi.

Soal alasan dirinya banyak berjoget hingga kemudian muncul istilah “gemoy” alias menggemaskan, pernah diungkap Prabowo secara terbuka. Menurut Prabowo saat acara deklarasi relawan muda Pandawa Lima di Djakarta Theater, Jakarta Pusat, Jumat (1/12), joget secara langsung dan terbuka menandakan seseorang—dirinya dalam hal ini—senang. Joget juga menandakan tak ada hal apa pun yang perlu dikhawatirkan, karena dirinya tengah berjuang untuk kebenaran.

“Dan kalau berjuang untuk kebenaran, untuk keadilan, untuk kesejahteraan rakyat yang kita cintai, tidak ada yang perlu ada (yang) dikhawatirkan. Tidak ada yang perlu dirisaukan,” kata Prabowo dengan gaya bicara berepetisi. Ia yakin rakyat mengerti. “Rakyat mengerti, rakyat menangkap bagaimana jiwa kita semua. Bagaimana kesungguhan kita, bagaimana keikhlasan kita, bagaimana kita gembira karena kita benar dan kita berani. Kita berani karena kita benar. Karena tujuan kita semata-mata, seikhlas-ikhlasnya, untuk kepentingan rakyat kita,” ujar Prabowo, kembali menjawab pertanyaan wartawan dengan gaya berpidato.

Wajar jika para pendukung fanatik Prabowo terus menguar-uarkan kegembiraan menjadi layaknya sebuah landasan dasar Pemilu. Ketua Fraksi Gerindra DPRD Jawa Timur, Muhammad Fawait, misalnya. “Namanya pesta, ya harus riang gembira,” kata ketua Tunas Indonesia Raya (Tidar) Jatim, sayap milenial Partai Gerindra, itu.

Pilihan TKN untuk lebih menjual “gimmick” kampanye seperti joget dan “gemoy” tersebut bagi Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah, adalah opsi terbaik. Terutama berkaitan dengan target menggaet para pemilih muda yang dalam Pemilu 2024 nanti mendominasi proporsi pemilih dengan angka 55 persen. Persentase yang tidak bisa dianggap remeh karena jumlahnya pun akan berkisar 107 juta orang dari total warga yang berhak memilih.

Menurut Dedi, dari survei yang pernah digelar, IPO mendapatkan realitas yang memprihatinkan. Dalam catatan survei IPO per 10-17 November 2023, ada tendensi kuat anak-anak muda sama sekali tidak peduli dengan gagasan. Anak-anak muda yang memiliki hak pilih itu, kata Dedi, tidak banyak menyukai politik yang sifatnya substansial. “Mereka justru lebih menyenangi hal-hal yang sifatnya hiburan, gimmick, tren-tren (ringan) yang sedang ramai. Jadi kalau ditanya, apakah anak-anak muda ini perlu pendekatan yang dialogis segala macam, itu nonsense!” kata Dedi.

IPO menyimpulkan, anak-anak muda itu tidak memerlukan dialog.  “Mereka hanya memerlukan hal-hal yang sifatnya gimmick,” kata Dedi. Dari survei IPO, menurut Dedi, Prabowo mendapatkan 31 persen suara anak-anak muda, yang dalam catatan IPO merupakan 52 persen dari total populasi pemilih pada Pemilu mendatang.

Yang cukup membuatnya heran, kata Dedi, saat mereka ditanya apakah itu karena mereka menilai gagasan Prabowo Subianto bagus? Jawabannya mengagetkan, yakni anak-anak muda itu justru tidak tahu apa yang akan diusung Prabowo Subianto.

“Gagasannya tidak mereka kenali. Trend “gemoy” itu yang kemudian mendominasi. Artinya apa? Artinya anak-anak muda tidak mempedulikan apa yang sifatnya politik gagasan,” kata pria yang meraih gelar doktor pada usia 28 tahun itu. Dedi menilai nonsense seorang penulis yang menyatakan bahwa menyebut anak-anak muda itu tidak peduli gagasan adalah sebuah penghinaan. “Penulis ini saya kira tidak baca data. Itu realitas, meski memang kita sayangkan.”

Namun pendapat Dedi ditentang setidaknya oleh dua narasumber kami yang lain. Bagi pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, bagaimana pun gimmick tak lebih dari pernak-permik alias aksesoris demokrasi. Keberadaannya dalam sebuah pesta demokrasi adalah hal lumrah yang tidak bisa dihilangkan. Selain itu, kata Ujang, gimmick politik juga menjadi salah satu cara efektif untuk menyampaikan pesan kepada para pemilih. Sifatnya yang ringan dan cair membuat gimmick lebih mudah diterima ketimbang cara pendekatan yang lebih serius.

Hanya saja, Ujang mewanti-wanti agar para pasangan capres-cawapres untuk tidak sekadar menjual gimmick. Perang gimmick, menurut dia, harus dibarengi adu gagasan yang bisa mendewasakan warga.”Jangan sampai pendekatan gimmick ini menjadi sangat mengurangi substansi Pilpres,” kata dia.

Seorang wakil generasi Z kelahiran 1997, Sultan Rivandi, menolak anggapan bahwa generasinya terkesan apriori dan tidak melek politik. Mungkin karena saat mahasiswa pun co-founder CentenialZ–sebuah platform kolaborasi pengembangan Gen Z– itu memang seorang aktivis. Ia sempat memegang amanah sebagai presiden mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Berbeda dengan mayoritas responden IPO dari generasinya, gimmick politik yang diusung-usung para capres, menurutnya membosankan. “Bosenin,” kata Sultan, menegaskan. Pasalnya, kata Sultan, gimmick-gimmick yang ada seolah mengesankan pandangan bahwa anak-anak muda hari ini tak punya peran signifikan dalam menentukan banyak hal. Ia mengaku menyadari bahwa proses Pemilu tak mungkin meniadakan gimmick. “Tapi dosis yang ada saat ini terlalu tinggi. Tak cukup meyakinkan kami hanya dengan menggunakan gimmick-gimmick semata,” kata dia.

Sultan mengaku, sejujurnya ia sendiri mengalami kekecewaan mendalam melihat proses politik menuju Pemilu 2024 justru kondisinya seperti yang terjadi saat ini. Namun meski demikian, ia mengaku akan tetap masuk bilik suara dan memilih. “Kalau kita abai dan nggak milih, akhirnya suara kita dimanfaatkan orang-orang yang nggak bertanggung jawab,”kata dia. “Dengan biaya Pemilu yang sangat mahal, sekian triliun tapi kualitasnya begini, ya jelas kecewa…”

post-cover

Tidak hanya generasi Z yang kecewa. Dengan alasan berbeda, Teten Masduki, menteri koperasi dan usaha kecil dan menengah, juga mengurut dada.

Biasanya, kampanye Pemilu senantiasa identik dengan naiknya omset beragam bisnis warga dan kalangan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Usaha-usaha seperti bisnis percetakan, bisnis konveksi dan sablon, bisnis event organizer, jasa desain grafis, bisnis aksesoris, bisnis jasa pengelolaan konten media sosial, bisnis jasa sewa tenda dan sound system serta bisnis catering, umumnya mengalami kenaikan omset selama menjelang Pemilu.

Faktanya, tahun ini semua peluang tersebut tidak memenuhi harapan. Menurut Menteri Teten, di masa kampanye Pemilu 2024 ini usaha tekstil UMKM justru jauh dari cipratan keuntungan. Ia menduga banyak sekali alat peraga partai untuk kampanye justru dibuat di luar negeri dan diimpor ke Indonesia. Pasalnya, sejauh ini laporan para pengusaha kecil menengah di bidang konveksi menyatakan tak banyak order bendera maupun kaos partai untuk kampanye datang kepada mereka.

“Saya cek ke perusahaan konveksi, baju partai buat kampanye kayaknya juga nggak dibuat di sini. Bisa jadi mungkin (diimpor). Saya cek ke produsen, 2-3 tahun lalu produksi alat peraga kampanye, seperti bendera, spanduk, kaos, masih banyak. Katanya kini nggak ada yang bikin di dalam negeri,” ujar Teten kepada para wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Rabu (29/11/2023) lalu. Pengecekan itu, menurut Teten, dilakukan di Bandung, di sentra-sentra pembuat bendera, kaos dan sebagainya. “Nggak ada pesanan.”

Menurut Teten, meski tak ada aturan yang mewajibkan peserta Pemilu menggunakan barang dalam negeri untuk alat peraga kampanye, seharusnya alat-alat tersebut tak perlu diimpor. “Komitmen saja (untuk menggunakan barang dalam negeri),” ujar Teten. Itu akan lebih baik, agar pesta demokrasi bisa dirasakan semakin banyak warga masyarakat. “Pemilu harusnya juga mendatangkan kebaikan bagi rakyat kecil, UMKM. Pemilu justru harusnya berkah, karena banyak pesanan kaos, spanduk, bendera yang bisa menghidupkan ekonomi rakyat.”

Apakah dengan demikian prediksi Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) tentang naiknya permintaan pembuatan alat peraga hingga bahan kampanye kepada UMKM di sektor konveksi dan percetakan berlaku atau tidak, belumlah jelas. Namun sebelumnya, Sekjen Akumindo, Eddy Misero, sempat memprediksi bahwa permintaan pembuatan alat peraga kampanye kepada UMKM akan meningkat seiring kampanye Pemilu 2024. Angkanya, menurut Eddy, sekitar 40 persen. “Sekarang kan ada 18 partai nasional dan enam partai lokal di Aceh. Saya prediksi naik sekitar 40 persen dibandingkan 2019,” kata Eddy akhir bulan lalu.

post-cover

Di tengah kebisingan kampanye yang akan berlangsung hingga 10 Februari 2024 nanti, bisakah kita semua meniadakan politik uang, yang konon telah menjadi penyakit menahun bangsa ini? Banyak pihak pesimistis. Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Nurlia Dian Paramita, hanya salah satu di antara mereka.

Menurut Nurlia, bahkan sejak masa sosialisasi partai politik pun, publik sudah dipertontonkan dengan ‘politik uang’. Nurlia menunjuk fenomena parpol yang melakukan ‘flexing’ kekuatan berupa pembagian uang yang mereka anggap sedekah kepada publik, beberapa waktu lalu. “Bahkan di satu parpol, itu jadi jargon sebagai “bagi-bagi gocapan”,” kata Nurlia.

Sementara, kata dia, politik uang secara langsung menciptakan situasi Pemilu yang penuh ketidakadilan dan cenderung melahirkan pemimpin korup dan dzalim terhadap warganya. Persoalannya, kata Nurlia, Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Kampanye Pemilu, punya banyak keterbatasan menindak aktivitas politik uang. Pelakunya hanya dapat dijerat sanksi atau dianggap melanggar ketika dilakukan pada masa kampanye, masa tenang dan pungut hitung sebagaimana yang diatur dalam Pasal 523 undang-undang tersebut.

Belum lagi muncul hal ironis berkaitan dengan Pasal 55 PKPU Nomor 15 Tahun 2023 tentang kampanye, yang mengatur adanya kegiatan “bakti sosial”. Hal itu tak ada dalam rumusan PKPU sebelumnya. “Ini kan tipis sekali irisannya dengan praktik politik uang. Peserta Pemilu dan KPU justru seolah kompak memandang politik uang ini dikecualikan, dengan dalil sedekah atau bakti sosial,” kata Nurlia.

Kekhawatiran Nurlia akan nasib demokrasi Indonesia terkait maraknya politik uang itu mendapatkan ‘pembenaran’ dari data yang diperoleh Prof Burhanuddin Muhtadi dalam penelitian yang ia gelar. Dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar ilmu politik Universitas Islam Negeri Jakarta, Rabu (29/11/2023) lalu, “Votes for Sale”: Klientelisme, Defisit Demokrasi, dan Institusi”, Prof Burhanuddin, yang mendefinisikan politik uang sebagai “usaha terakhir dalam mempengaruhi keputusan pemilih dalam memberikan suara di pemilu, yang dilakukan beberapa hari atau bahkan beberapa jam sebelum pemungutan suara, dengan cara memberikan uang tunai, barang, atau imbalan material lainnya kepada pemilih”, menemukan data yang membuatnya tercengang.

Penelitiannya menemukan, ada 25 persen hingga 33 persen pemilih pada Pemilu 2014 yang terpapar praktik haram tersebut. “Perlu dicatat bahwa di Pemilu 2014 terdapat 187 juta yang terdaftar di Daftar Pemilih Tetap (DPT). Dengan demikian, 33 persen itu setara 62 juta orang Indonesia, atau dengan kata lain, satu dari tiga orang Indonesia yang memiliki hak pilih pernah terpapar politik uang,” kata Prof Burhanuddin.

Ia bahkan mengaku penelitian itu melibatkan wawancara dengan seorang mantan anggota DPR. Dalam wawancara itu “Si Mantan Senayan” mengaku siap taruhan potong jari jika ada anggota DPR/DPRD di Indonesia saat ini yang terpilih tanpa membeli suara. Itu, kata sumber tersebut, termasuk para politisi dari partai Islam. Pemilu selanjutnya, 2019, tak banyak membawa kemajuan menggembirakan. “Total mereka yang menjawab “sangat sering, sering, dan jarang” mencapai 33,1 persen. Sama persis dengan temuan 2014,” kata Prof Burhanuddin.

Wawancara kami dengan Nurlia menegaskan bahwa hasil survei LIPI—kini Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)— pun menguatkan fenomena tersebut. Pada survei seiring Pemilu 2019, tercatat 37 persen responden mengaku menerima pemberian uang dan mempertimbangkan si pemberi untuk mereka pilih.

post-cover

Yang paling mengkhawatirkan dari terjadinya kecurangan Pemilu, baik sikap tak adil penyelenggara Pemilu dan aparat negara, hingga politik uang, sejatinya adalah masa depan negara. Pasalnya, hal itu akan meningkatkan ketidakpercayaan rakyat, yang ujung-ujungnya berpengaruh pada tingkat partisipasinya dalam bernegara.

Guru besar sosiologi University of Michigan, AS, Jeffery M Paige, dalam karyanya yang kini klasik, “Agrarian Revolution: Social Movements and Export Agriculture in the Underdeveloped World”, menyatakan bahwa kesadaran politik dan kepercayaan terhadap sistem pemerintahan yang tinggi memberi pengaruh signifikan terhadap partisipasi politik masyarakat. Apabila seseorang memiliki kesadaran politik dan kepercayaan pada pemerintah tinggi maka partisipasi politiknya pun cenderung aktif. Sebaliknya, apabila kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah rendah maka partisipasinya pun cenderung pasif, bahkan apatis.

Dengan logika seperti itu, kian rendahnya tingkat partisipasi publik terhadap Pemilu Indonesia—yang tergambar dari kenaikan konsisten kelompok Golongan Putih (Golput, alias mereka yang tidak berkenan menunaikan hak pilih)—bisa kita pahami sebagai kian lunturnya kepercayaan warga terhadap pemerintahnya.

Pemilu pertama pasca-Reformasi, Pemilu 1999, memiliki tingkat partisipasi tinggi, yakni 92,6 persen, dengan jumlah Golput 7,3 persen. Angka partisipasi itu mulai memprihatinkan pada Pemilu 2004, yang mencatatkan angka partisipasi 84,1 persen, sementara proporsi Golput meningkat menjadi 15,9 persen. Putaran pertama Pilpres 2014 mencatatkan tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 78,2 persen, dan jumlah Golput 21,8 persen. Angka Golput itu melonjak pada Pilpres putaran kedua 2014, yang mencatatkan tingkat partisipasi politik 76,6 persen dan jumlah Golput 23,4 persen.

Lima tahun kemudian, alih-alih terjadi kemajuan, yang ada justru penggembungan jumlah dan proporsi Golput. Pada Pemilu Legislatif 2019, tingkat partisipasi politik pemilih hanya mencapai 70,9 persen, sementara jumlah Golput meningkat tajam mencapai 29,1 persen. Pada sisi Pilpres, angka partisipasi 2019 mencapai 71,7 persen, dengan jumlah Golput mencapai 28,3 persen.

post-cover

Barangkali, sebagaimana dikatakan salah seorang calon wakil presiden, Mahfud MD, tak ada yang istimewa meski kampanye Pemilu 2024 ini diawali dengan deklarasi damai. Komisi Pemilihan Umum (KPU) meminta banyak kalangan yang terlibat, tak hanya ketiga pasangan calon, untuk menandatangani naskah deklarasi Pemilu Damai 2024, yang kemudian dibacakan Ketua KPU RI, Hasyim Asy’ari. Naskah itu berisi tiga poin yang mesti ditaati para peserta Pemilu, mulai dari Pemilu yang diharapkan berjalan adil, damai, tanpa politik uang, hingga pelaksanaan yang diharapkan sesuai aturan undang-undang.

Namun, dari awal memang Pemilu ini sudah dianggap banyak pihak bermasalah. Ada yang menunjuk proses pencalonan salah satu pasangan calon bermasalah, karena melibatkan perkara di Mahkamah Konsitusi yang juga penuh sengkarut. Ada yang menyoal potensi ketidakadilan aparat, dari Aparatur Sipil Negara (ASN), Polisi, hingga aparat pemerintah kabupaten/kota, hingga aparat desa. Contoh-contoh yang bisa ditafsirkan sebagai ketidakadilan dari ketiga jenis dan jenjang aparatur tersebut telah lama bertebaran di medsos. Mulai dari pengumpulan aparat desa, beredarnya konten produksi situs berita Tirto yang meragukan netralitas Polisi, meski kemudian dibantah Tirto bukan buatan mereka, kasus “Pakta Integritas Bupati Sorong”, hingga beragam video soal mobilisasi ASN, termasuk “video Boyolali” yang kemudian viral.

Hal lain yang seolah turut menurunkan marwah Pemilu kali ini, adalah perilaku dan kinerja lembaga-lembaga penyelenggaran Pemilu, misalnya Bawaslu dan KPU sendiri. Direktur IPO, Dedi Kurnia Syah, misalnya menunjuk sikap Bawaslu dalam kasus pengumpulan aparat pemerintahan desa di Jakarta, yang dihadiri satu pasangan calon. Dedi menyesalkan pernyataan Bawaslu yang segera menilai mobilisasi aparat desa—lepas namanya silaturahmi atau hajatan—yang dihadiri Prabowo Subianto itu bukan pelanggaran Pemilu, dan bukan kampanye karena tidak ada instruksi memilih. “Itu spekulasi. Itu jelas opini Bawaslu,” kata Dedi. Ia berharap, Bawaslu bisa betul-betul ekstra hati-hati.“Bawaslu harus paham betul bagaimana undang-undang atau regulasi menjelaskan tentang kecurangan-kecurangan Pemilu. Sebisa mungkin mereka tidak berspekulasi karena Bawaslu semestinya bukan lembaga yang berspekulasi atau beropini,” kata dia.

Sementara KPU disesalkan karena terasa begitu tiba-tiba mengubah proses Debat Capres-Cawapres, dengan meniadakan sesi debat Cawapres. Hal tersebut tak hanya beredar sebagai kekecewaan sebagian publik di medsos, tetapi juga resmi sebagai sikap Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar—Mahfud.

“Pernyataan Ketua KPU Hasyim Asy’ari yang mengatakan bahwa debat capres akan dilakukan dengan menghadirkan capres dan cawapres dalam lima kali acara debat, menurut saya bukan saja menyimpang dari ketentuan yang diatur dalam pasal 277 UU No 7/2017 tentang Pemilu junto Pasal 50 PerKPU Nomor 15/2023, tetapi juga akan menghilangkan kesempatan publik untuk menilai secara utuh kualitas cawapres, yang akan menjadi orang nomor dua di Republik ini,” kata Deputi Hukum TPN Ganjar–Mahfud MD, Todung Mulya Lubis, Sabtu (2/12/2023).“Terus terang, saya menyayangkan kalau KPU memutuskan debat antar-Cawapres murni (tanpa didampingi Capres) ditiadakan,” ujar Todung. Bagi TPN, KPU seharusnya melihat arti penting dan strategis debat antar-Cawapres, agar rakyat tidak seolah memilih kucing dalam karung.

Kita semua tentu ingin Pemilu yang tak hanya berlangsung secara langsung, umum, bebas dan rahasia, melainkan pula jujur dan adil. KPU setidaknya telah mencoba menyatukan niat baik itu dengan menggelar deklarasi bersama untuk tercapainya Pemilu Damai dan Jurdil tersebut. Sayang memang, bila akad tersebut digelar di jalur yang sebelumnya telah penuh dengan segala syak, bukti dan indikasi kecurangan. Padahal, sebagai bangsa yang berbudaya, telah lama nenek moyang kita paham dan saling bernasihat dalam peribahasa bahwa “Sekali lancung ke ujian, seumur hidup tak dapat dipercaya”. Atau adakah yang akan berapologi, meski akan terasa begitu pragmatis, bahwa politik adalah “siyasah”, dan siyasah—yang masuk bahasa kita sebagai “siasat” dengan segala arti peyoratifnya itu, memang meniscayakan perilaku curang d dalamnya?

[dsy/rizki putra aslendra/diana risky oktaviani/reyhaanah asyaroniyyah/clara ana scholastika]

Back to top button