Kanal

Bau Busuk dan Praktik Markus di Lembaga Peradilan Terendus Lagi, Sumbernya Ada di MA

Hukum dan keadilan telah menjadi barang mahal di negeri ini. Keadilan dan kepastian hukum seolah tidak bisa diberikan secara gratis kepada seseorang, jika disaat yang sama ada pihak lain yang menawarnya. Di negeri ini, law enforcement ibarat menegakkan benang basah. Kemana lagi kita sebagai rakyat mesti mencari keadilan, jika para penegak hukum justru menjadi mafia hukum, makelar kasus dan mafia peradilan?

Garda terakhir lembaga peradilan  di Indonesia yang bernama Mahkamah Agung (MA) itu, sepertinya tak pernah lepas dari prahara. MA yang harusnya mengawal dan memastikan hukum berlaku adil, justru terlibat praktik jual beli keadilan. Berat ringannya hukuman bisa diatur. Asal ada fulus, semua akan berakhir dengan mulus, dan tentu saja harus lewat para markus alias makelar kasus.

Kamis (22/9/2022) siang KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT). Tak tanggung tanggung KPK menjerat seorang hakim agung yang diduga terlibat dalam pengaturan perkara. Sekali lagi seorang hakim agung. Ini adalah rekor bagi KPK, karena selama ini belum ada hakim agung yang terjaring OTT. Sampai Jumat (23/9/2022) pagi KPK sudah menetapkan 10 tersangka, salah satunya Hakim Agung Sudrajad Dimyati. KPK sudah menahan enam orang tersangka. KPK juga menemujkan uang tunai senilai 202 ribu dolar Singapura atau setara dengan Rp 2,2 miliar.

Sebelumnya KPK pernah menangkap mantan Sekretaris MA Nurhadi yang menerima suap Rp45,7 miliar dari Direktur Utama PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT). Selain Nurhadi, KPK juga pernah menangkap Pejabat MA lainnya Andri Tristianto yang kala itu terjerat kasus suap dagang perkara. Mereka tak lain adalah aktor aktor markus di MA.

Kasus yang dialami MA semakin meneguhkan anggapan bahwa praktik peradilan di republik ini semakin buruk dan jauh dari harapan publik. Barometernya tampak dari perilaku koruptif di MA. Ini bisa terjadi karena lemahnya kualitas sumber daya manusia baik mental maupun intelektual. “Sudah rusak negara ini,” cetus Bursah Sarnubi, Ketua Perkumpulan Gerakan Kebangsaan.

Praktik Makelar Kasus

Sepak terjang markus di Indonesia sudah pada tingkat yang amat kronis. Hal itu dibuktikan dengan sudah mendarah dagingnya budaya markus dari tingkat bawah hingga para petinggi di lembaga peradilan seperti di MA.

Dalam kasus terakhir yang menjerat Hakim Agung Sudrajad Dimyati misalnya, diduga melibatkan seorang markus berinisial AMN, yang disebut sebut dekat dengan Ketua MA Muhammad Syarifuddin. Dari informasi yang beredar, sosok AMN dikabarkan sekampung dengan Ketua MA dan memiliki relasi bisnis dengan keluarga Ketua MA.

Perihal kabar tersebut, Ketua KPK Firli Bahuri masih enggan buka-bukaan. Dia meminta publik bersabar menunggu kabar selanjutnya dari KPK. “Nanti kami akan sampaikan saat konferensi pers. Untuk itu kami minta bersabarlah seluruh masyarakat Indonesia, pencinta KPK. KPK akan terus bekerja dan akan memberikan update informasi sebagai bentuk keterbukaan informasi untuk publik,” ujar Firli, Kamis (22/9/2022).

Rekam jejak markus di lembaga peradilan ini, sekitar lima tahun silam pernah diungkap Ombudsman Republik Indonesia (ORI). Dalam pandangan ORI, praktik markus di pengadilan sudah mencapai titik sangat mengkhawatirkan.

“Praktik percaloan menjadi temuan terbanyak dari investigasi ini dan nominal uang yang diminta untuk janji pemenangan perkara pun sangat banyak,” kata pimpinan ORI Ninik Rahayu dalam siaran persnya, Rabu, 27 April 2016.

ORI menemukan sejumlah persoalan dalam praktik peradilan di Indonesia. Salah satu masalah yang sangat mengkhawatirkan adalah praktik percaloan pemenangan perkara di peradilan. Terbukti dalam investigasi yang dilakukan ORI. “Tenaga pengadilan meminta uang jasa percaloan kepada para pencari keadilan hingga mencapai puluhan juta rupiah,” ujar Ninik.

Temuan lembaga yang bernaung dalam UU No 37/2008 ini diperoleh dari investigasi atas prakarsa sendiri dalam upaya perbaikan dan peningkatan kualitas pelayanan publik dan administrasi peradilan di Indonesia. Investigasi ini fokus pada pelayanan pendaftaran perkara, jadwal sidang, pemberian salinan, dan petikan putusan.

Berbagai temuan maladministrasi ini diperoleh tim melalui metode mystery shopper (berpura-pura menjadi pengguna pelayanan) ke sejumlah pengadilan negeri. Hasilnya, diperoleh temuan penyimpangan prosedur pada pendaftaran perkara, keterlambatan pelaksanaan jadwal sidang, penyimpangan prosedur dalam penyerahan salinan putusan dan petikan putusan, praktik percaloan, dan tidak terpenuhinya standar pelayanan di pengadilan.

Obral Keputusan MA

Indikator lainnya adalah permintaan Peninjauan Kembali (PK) oleh narapidana kasus korupsi ke MA periode 2019-2020 yang meningkat tujuh kali lipat dibanding tahun sebelumnya. MA seolah mengobral pengurangan hukuman kepada pelaku korupsi.

Sepanjang 2019-2020 setidaknya ada 22 narapidana korupsi yang dipangkas hukuman penjaranya oleh MA. Pemangkasan hukuman itu mencakup pengacara OC Kaligis, dari sebelumnya 10 tahun menjadi tujuh tahun penjara. Kemudian mantan Ketua DPD, Irman Gusman yang dipangkas hukumannya menjadi tiga tahun dari sebelumnya 4,5 tahun penjara. Termasuk pengurangan hukuman hingga enam tahun terhadap terpidana korupsi kasus Hambalang, Anas Urbaningrum.

Pertanyaannya kemudian adalah kemana lagi kita mesti mencari keadilan, jika para penegak hukum justru menjadi mafia hukum, makelar kasus dan mafia peradilan?

Zihan Syahayani, Peneliti Bidang Hukum, The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research dalam tulisannya menyebut, hukum dan keadilan telah menjadi barang mahal di negeri ini. Secara implisit hukum dan keadilan telah menjelma menjadi suatu komoditas yang dapat diperdagangkan dan tidak sedikit bagian dari masyarakat kita yang berminat sebagai pembelinya.

Keadilan dan kepastian hukum seolah-olah tidak bisa diberikan secara gratis kepada seseorang jika disaat yang sama ada pihak lain yang menawarnya. Di negeri ini, meminjam argumentasi Sofyan Lubis, law enforcement atau penegakan hukum di Indonesia ibarat menegakkan benang basah.

Salah satu yang mempersulit penegakan hukum di Indonesia adalah berkembangnya budaya korupsi. Ibarat wabah yang berkembang dengan cara membelah diri, korupsi telah menyebar keseluruh lapisan birokrasi dan stratifikasi sosial termasuk di dalamnya penegak hukum dan penasehat hukum. Tampaknya menegakkan hukum di Indonesia hanyalah sebuah retorika yang berisi sloganitas dan pidato-pidato kosong.

Back to top button