Market

IUAE-CEPA, Langkah Tepat Kemendag Raih Surplus Perdagangan dengan Timur Tengah

IUAE-CEPA

Tepat di hari pertama bulan ini, Indonesia sudah menapakkan langkah tepat untuk meraih kemajuan dalam bidang perdagangan: pada 1 Juli itu Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan menandatangani Persetujuan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia–Uni Emirat Arab (Indonesia–United Arab Emirates Comprehensive Economic Partnership Agreement), atau IUAE-CEPA, dengan rekannya, Menteri Ekonomi Uni Emirat Arab, Abdullah bin Touq Al Marri.

Penandatanganan perjanjian kemitraan tersebut sangatlah tepat, karena beberapa pertimbangan berikut.

Uni Emirat Arab (UEA) adalah negara federasi hasil gabungan tujuh keemiran, yakni Abu Dhabi, Ajman, Dubai, Fujairah, Ras Al Khaimah, Sharjah dan Umm Al Quwain, yang sejak awal berdirinya di tahun 1971 sudah tergolong negara kaya. Wikipedia menulis, Produk Domestik Bruto (GNP) UEA pada 2022 ini diperkirakan menyentuh angka 779, 234 miliar dollar AS atau ke-34 terbesar di dunia, dengan pendapatan per kapita sebesar 78.255 per orang, alias ketujuh terbesar di dunia. Artinya, perjanjian itu membuka peluang Indonesia untuk lebih mengembangkan lagi perdagangannya dengan negara kaya. Berdagang hanya dengan UEA saja di Kawasan itu pun sudah akan menguntungkan Indonesia.

Namun bukan hanya itu. UEA adalah negara Timur Tengah dengan perkembangan ekonomi tercepat. Sejak awal millennium, negara ini tiba-tiba saja menyeruak sebagai negara yang menjadikan wacana kemajuan ilmu, teknologi dan ekonomi sebagai narasi di antara warganya.

Apalagi, pemimpinnya saat itu, Syekh Zayed bin Sultan An-Nahyan, adalah pemimpin yang tahu apa yang diperlukan bangsanya. Sejak awal 2000-an itu UEA sudah menggemparkan dunia dengan membangun (saat itu) gedung tertinggi di dunia, Burj Al-Khalifa (Khalifa Tower) atau Burj Dubai. Pencakar langit setinggi hampir satu kilometer (829,8 m) itu sampai hari ini masih tercatat sebagai gedung tertinggi di dunia.

Dengan komitmen tinggi para pemimpinnya—saat dipimpin Syeh Mohammad bin Zayed An-Nahyan—UEA segera menjadi pusat (hub) perekonomian di Timur Tengah. Benar bahwa negara terkaya di kawasan itu masih dipegang Arab Saudi, yang menurut catatan www.macrotrends.net membukukan GNP sebesar 775,46 miliar dollar AS, turun 2,56 persen dari GNP tahun 2019 yang tercatat 795,83 miliar dollar AS. Tetapi, keleluasaan beraktivitas, keterbukaan peluang yang diberikan, membuat UEA berkembang lebih cepat dibanding Saudi. Fakta yang dimiliki UWA inilah, antara lain, yang tampaknya membuat Saudi banyak mengubah kebijakan mereka dalam banyak hal.

Dari UEA yang menjadi pusat kegiatan ekonomi Timur Tengah, Indonesia dan para pengusahanya bisa mengembangkan bisnis lebih dalam dan lebih luas lagi. Bisa ke Arab Saudi, Kuwait, Bahrain, ke negara-negara Teluk Persia, termasuk Iran, ke Asia Selatan, bahkan hingga ke kawasan Afrika.

Wajar bila Mendag Zulhas sendiri bilang, perjanjian IUAE-CEPA bisa menjadi pembuka pintu masuk Indonesia untuk meningkatkan ekspor tidak hanya ke UEA– yang merupakan hub Kawasan itu—melainkan juga untuk meningkatkan ekspor ke negara-negara tujuan nontradisional di kawasan Teluk, Timur Tengah, Afrika, dan bahkan Asia Selatan.

Ambil contoh mudah saja, Arab Saudi dan Kuwait. Saat ini, berdasarkan data Comtrade, hubungan perdagangan Indonesia-Saudi hanya tercatat sebesar 5,55 miliar dollar AS atau setara Rp79 triliun pada 2021 lalu. Padahal nilai itu telah meningkat 40,4 persen dibanding tahun 2020 yang hanya sebesar 3,95 miliar dollar AS. Yang harus dicatat, selama ini neraca perdagangan Indonesia-Saudi selalu mencatatkan nilai minus pada sisi Indonesia.

Ekspor Indonesia ke Arab Saudi pada 2021 mencapai 1,58 miliar dollar AS. Namun, impor Indonesia dari Arab Saudi mencapai 3,97 miliar dolar. Alhasil, neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit 2,38 miliar dollar AS atau setara Rp34 triliun. Jika dirunut ke belakang, defisit neraca perdagangan dengan Arab Saudi ini selalu dialami Indonesia dalam 28 tahun terakhir.

Demikian pula hubungan perdagangan kita dengan Kuwait. Kementerian Luar Negeri mencatat, volume perdagangan RI-Kuwait mencapai dari Januari sampai September 2019 sebesar 389,68 juta dollar AS. Angka itu naik 32,65 persen dari nilai pada periode yang sama di 2018 yang besarnya tercatat 293,72 juta dollar AS. Untuk periode 2018, volume perdagangan bilateral mencapai 403,64 juta dollar AS.

Ekspor RI ke Kuwait mencapai 150,85 juta dollar AS (Januari-September 2019), atau naik 48,93 persen dari nilai pada periode yang sama di 2018. Tetapi nilai impor RI dari Kuwait berjumlah 238,82 juta dollar AS, atau naik 24,11 persen dari nilai pada periode yang sama di 2018 sebesar 192,43 juta dollar AS. Alhasil, neraca perdagangan masih defisit di pihak Indonesia sebesar 87,97 juta dollar AS di sepanjang Januari-September 2019 itu.

Dengan ditandatanganinya perjanjian IUAE-CEPA tersebut, harapan untuk menyehatkan perdagangan antara Indonesia-Timur Tengah, sekaligus mengembangkan ekspor Indonesia pun terbuka luas. Apalagi, UEA sendiri merupakan hub untuk memasuki kawasan Timur Tengah, terutama negara-negara di Afrika.

Di sisi lain, Kuwait merupakan salah satu negara dengan aktivitas impor sangat tinggi di kawasan. Dubes Kuwait, Lena Maryana, yang dihubungi Mendag segera setelah penandatanganan perjanjian, termasuk yang sangat antusias. “Hal ini tentunya menjadi kesempatan bagi produk unggulan Indonesia untuk memperluas pasar di Kuwait,”ujar Dubes Lena.

Kuwait adalah pasar yang prospektif. Lembaga penyedia data Statista menyebut, pada 2020, pendapatan rata-rata penduduk Kuwait yang ditunjukkan dalam PDB per kapita berjumlah sekitar 22.683,64 dolar AS per orang. Diestimasi, PDB per kapita Kuwait di 2027 bisa melonjak hingga 54,32 persen ke level 35.006,84 dolar AS per orang.

Bila Indonesia benar-benar bisa memanfaatkan momentu dan konsisten untuk mulai menerapkan IUAE-CEPA pada 2023 mendatang, tampaknya harapan bagi kebaikan ekonomi Indonesia pun terbentang lebih besar lagi. [dsy]

Back to top button