Kanal

Berpisah dengan Madinah

Suatu ketika saya berdiskusi dengan seorang sahabat, “Ngerasa nggak, kenapa akhir-akhir ini hari-hari terasa cepat? Tahu-tahu sudah ganti minggu, tahu-tahu sudah ganti bulan, tahu-tahu akhir tahun. Kenapa, ya?”

Sahabat saya tadi menjawab dengan nada bercanda, “Karena betah!” Jawabnya sambil tertawa.

Jawaban itu mungkin sederhana, tetapi benar belaka. Kita hidup di dunia yang fana ini sebenarnya bukan untuk selama-lamanya, hanya mampir minum sebentar—”mung mampir ngombe”, hidup yang abadi adalah di akhirat kelak. Tetapi kita terlanjur senang hidup di dunia, betah, sehingga sering lupa tujuan sebenarnya.

Percakapan itu beresonansi kuat hari ini, saat saya harus meninggalkan Madinah. Tahu-tahu sudah 8 hari saya dan rombongan berada di Madinah, tahu-tahu sudah harus berpisah dengan Baginda, jelas karena saya betah! Madinah memang luar biasa, sebuah kemegahan yang bersahaja, rumah tempat pulang yang membuat kita nyaman. Tetapi, bagaimanapun haji adalah Arafah. “Al-hajju ‘arafah”.

Hari ini, dengan berat hati saya harus berpisah dengan Madinah. Koper-koper sudah dikemas, pakaian ihram sudah dikenakan, Subuh ini adalah shalat terakhir saya di Madinah untuk haji tahun ini. Selama 8 hari terakhir di kotanya Nabi, saya melaksanakan sunnah ‘arbain. Empat puluh kali berturut-turut shalat berjamaah di masjid Nabi.

Ada jaminan istimewa untuk mereka yang melakukan sunnah Arba’in ini. Sebagaimana disampaikan Rasulullah, “Barang siapa shalat di masjidku 40 shalat tanpa ada yang tertinggal, maka dia dicatat bebas dari neraka, keselamatan dari siksaan, dan bebas dari kemunafikan.” (HR Turmudzi).

353621718 799736394849694 7746743205420572467 N - inilah.com

Rasanya masih tak percaya saya mendapatkan anugerah dan kesempatan ini. Rasanya saya masih hamba Allah yang lalai, umat Rasulullah yang bebal, tetapi hati wajib belaka meyakini kasih sayang Allah dan Rasulullah. Semoga Allah senantiasa ridha. Semoga diri ini senantiasa menjadi pribadi yang membanggakan dan menyenangkan hati Rasulullah.

Usai Shalat subuh, saya menundukkan kepala. Teringat Rasulullah, ayahnya orang-orang beriman. Betapa luas kasih sayangnya kepada kita semua, melampaui ruang dan waktu, bahkan ia menjaminkan dirinya untuk memberikan syafaat kepada kita semua di hari akhir kelak—syafaat yang tak mungkin Allah tolak karena begitu akbar cintaNya kepada Muhammad bin Abdullah.

Suatu ketika para sahabat bertanya kepada Nabi Muhammad, saat itu mereka mendapatkan kabar dari Sang Nabi bahwa di Arasy mimbar Nabi Ibrahim berada di sebelah kanan, sementara mimbar Rasulullah berada di sebelah kiri.

“Ya Rasul, mengapa mimbarmu di sebelah kiri, padahal engkau lebih mulia dari Nabi Ibrahim?” Tanya para sahabat, heran. Rasulullah menjawab. “Ketahuilah jalan ke surga ada di sebelah kanan Arsy, dan jalan ke neraka di sebelah kiri. Mimbarku berada sebelah kiri supaya aku bisa melihat umatku yang akan dimasukkan ke Neraka, dan kemudian aku berikan syafa’at kepadanya.”

Sungguh mulia engkau, wahai Rasulullah. Siapapun yang di hatinya terdapat namamu dan nama Allah, engkau berikan syafaat kepada mereka. Semoga di hatiku selalu bertahta namamu, di jantungku berdetak nama Allah. Aku bersaksi bahwa engkaulah Rasulullah, bahwa tidak ada tuhan selain Allah.

Malam tadi, saya melihat seorang lelaki tua menangis di shaf di hadapan saya. Sembari bersujud, dengan dua tangan yang lunglai di atas karpet masjid Nabawi, ia menangis menyebut-nyebut nama Muhammad Rasulullah. Saya melihatnya dengan dada bergetar. Orang semacam inilah yang dirindukan Rasulullah 14 abad yang lalu, meski tak pernah bertemu, ia beriman dengan keseluruhan dirinya. Dadanya gemuruh karena cinta dan rindu kepada Maulana.

“Berbahagialah karena diterima di Madinah, di Masjid Nabawi. Berbahagialah karena diizinkan menengok makam Nabi, melambaikan tangan seraya mengucapkan salam. Beruntunglah mereka yang sempat bermunajat di antara rumah nabi, di Raudhah, taman surga tempat duduk orang-orang terbaik yang membersamai Rasulullah dulu.” Nasihat Syaikh Haitsam semalam tiba-tiba menghancurkan hati saya. Patah sepatah-patahnya. Mengapa secepat ini saya harus berpisah dari Madinah?

Namun, tiba-tiba hati saya disentuh ketenangan yang luar biasa. Seolah pelukan dan tepukan di pundak yang dilakukan seorang ayah kepada anaknya, sambil berkata dengan lembut, “Pergilah. Tugas-mu di luar sana. Pergilah tuntaskan apa yang kau niatkan.” Entah dari mana kesadaran itu datang. Tetapi hati terasa lapang selapang-lapangnya. Tak pernah saya rasakan sebelumnya.

353761282 799736204849713 8227301446730095989 N - inilah.com

Maka saya pun bangkit, menghela nafas panjang, mengisi dada dengan sepenuh-penuhnya cinta. Sebetah apapun saya di ‘rumah’ ini, saya tak bisa menetap di sini. Sang Tuan Rumah lebih ridha melihat kaum mu’minin menyebar di muka bumi. Menunaikan tugasnya masing-masing, menggarap ladang jihadnya sendiri-sendiri. “Faidza qudliyatis-shalat, fantasyiruu fil ardhi.” Apabila shalat telah dilaksanakan, maka cepat-cepatlah kamu bertebaran di bumi.

Selepas shalat Subuh di Masjid Nabawi, ratusan ribu orang bergerak keluar masjid. Saya berada di antara mereka, bersiap meninggalkan masjid yang mulia ini, bahkan berpisah dari Madinah yang bercahaya.

Sebelum meninggalkan semuanya, saya berbelok ke arah pintu 1. Ke ‘baabussalam’, pintu favorit Rasulullah setiap kali memasuki masjidnya. Dari sana, saya bisa melihat terang makam Rasulullah. Di bawah kubah hijau yang melangutkan hati. Dari kejauhan saya mengangkat tangan. “Assalamu’alaikum, Ya Sayyidi, Ya Rasulullah. Izinkan aku berpamitan kepadamu, bukan untuk berpisah, tetapi untuk berjuang. Izinkan aku kembali lagi nanti, mengisi daftar hadir orang-orang yang mencintaiMu di sini.” Bisik saya.

Matahari mulai terbit di kejauhan. Langkah saya pun menjauhi Masjid Nabawi. Angin Madinah terasa agak dingin pagi ini, menerpa rumbai kain ihram yang saya kenakan. Tak kuasa rasanya tubuh ini menjauh memunggungi Baginda, tetapi tugas harus ditunaikan. Al-hajju ‘arafahun, haji adalah tentang memahami diri sendiri, termasuk tugas-tugasnya.

Labbaikallahumma labbaik, labbaika laa syarika laka labbaik. Aku datang kepada-Mu ya Allah, aku datang. Aku datang karena tak ada sekutu bagimu. Aku datang!

Ditulis di Bus Menuju Makkah, 23 Dzulqaidah 1444 H

FAHD PAHDEPIE

Back to top button