Hangout

Inilah 4 Cara Mendidik Anak dalam Islam, Ayah Perlu Tahu

Mendidik anak dalam prinsip agama Islam bukanlah perkara yang mudah. Ini menjadi amanah yang besar dan penuh tanggung jawab bagi setiap orang tua di akhirat kelak.

Sebagai orang tua, khususnya ayah, tugas tersebut sejatinya merupakan ujian. Jika berhasil, seorang ayah akan dinaikan derajatnya oleh Allah SWT. Namun jika gagal, derajatnya akan dijatuhkan.

Oleh sebab itu, seorang ayah perlu mendidik anak dengan baik dan benar. Menyesuaikan dengan perkembangan zaman serta senantiasa memberi contoh dan teladan, alih-alih sekadar memerintahkan sesuatu tanpa melakukannya.

Namun, sebagai ayah, bagaimana cara mendidik anak berdasarkan nilai-nilai agama Islam?

Dewan Pengawas Syariah MUI & Sekretaris Umum LPTQ DKI Jakarta, Ustadz Afifudien Rohaly kepada inilah.com memberi penjelasan secara komprehensif—khususnya bagi setiap ayah—terkait bagaimana cara mendidik anak sesuai dengan nilai-nilai Islam.

1.Memberi Contoh

Terhadap anak, Ustadz Afifudien menyebut, setiap orang tua hendaknya selalu mengajarkan bagaimana cara bersikap yang baik dan berbakti kepada orang tua sejak dini. Dengan catatan, orang tua dalam konteks ini: ayah—harus memberi contoh terlebih dahulu.

“Tentunya dalam hal ini, orang tua harus memberikan contoh terlebih dahulu dengan dia bersikap baik dan adil kepada anak-anak, sehingga anak-anak tersebut akan meneladani dan menerapkan contoh (yang telah diberikan) kepada orang tuanya,” katanya kepada Inilah.com, Sabtu (12/11/2022).

Pemberian contoh tersebut merupakan langkah (pendidikan) awal yang perlu ayah lakukan kepada anaknya. Dengan pemberian contoh itu, sang anak akan merekam apa yang telah dilakukan oleh orang tuanya untuk nantinya dipraktikan ketika usianya kian bertambah.

2.Tak Memaksakan Kehendak

Hal penting selain memberi contoh atau teladan kepada anak, ialah sebagai orang tua (ayah) tidak memaksakan kehendak di luar batas kemampuan sang anak. Sebab, kata Ustadz Afifudien, orang tua sering kali khawatir secara berlebihan kalau anaknya akan gagal di masa mendatang. Hal inilah yang kemudian menjadi “dasar” bagi setiap orang tua selalu memaksakan kehendaknya kepada anak agar sesuai dengan yang diharapkan.

Padahal, kekhawatiran berlebih dan obsesi seperti itu akan membuat sang anak merasa tertekan, merasa depresi, bahkan psikologinya terganggu. “Oleh karena itu ini sangat penting bagi orang tua untuk tidak memaksakan kehendaknya, tidak memaksa anak untuk berbuat baik melebihi batas kemampuannya,” kata Ustadz yang pernah memimpin salat id saat bersama Mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan ini.

Ia memberi contoh konkret dari tidak memaksa anak berbuat baik melebihi batas kemampuan. Misalnya, seorang anak yang masih kecil, tidak perlu diperintahkan melaksanakan shalat tahajud sebanyak 20 rakaat, puasanya diharuskan seharian penuh, atau mewajibkan untuk selalu menunaikan salat 5 waktu.

Ustadz Afifudien mengingatkan, kesadaran orang tua (ayah) akan kemampuan anaknya perlu disesuaikan dengan sudah sejauh mana sang anak telah dianggap pantas melakukan berbagai jenis kebaikan. Dengan kata lain, jika memang belum saatnya, tak perlu terburu-buru menanamkan kebaikan yang sang anak sendiri belum merasa siap.

Jika orang tua selalu memaksakan kehendaknya, menurutnya sang anak akan memiliki memori kelam tersendiri terhadap orang tuanya. “Karena kalau anak itu merasa terpaksa karena dipaksa (melakukan kebaikan), ini akan jadi memori kelam yang tidak akan pernah dilupakan oleh si anak,” imbuhnya.

Oleh sebab itu, pada kondisi tertentu, orang tua dalam hal ini ayah, perlu menyesuaikan metode pendidikan dengan usia dan tingkat kemampuan si anak dalam melakukan kebaikan. Orang tua juga perlu aktif dalam memberi dukungan moral dan motivasi atas apa yang tengah dialami oleh si anak (misalnya kejadian-kejadian yang membuat anak sedih).

3.Ucapan dan Tindakan Perlu Sesuai

Imam Besar Masjid At-Tin ini juga menyampaikan kepada orang tua agar selalu menyesuaikan antara apa yang diajarkan kepada anaknya dengan perilaku yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Ringkasnya, tidak hanya mengucapkan kebaikan sesuatu kepada anak. Akan tetapi juga melakukanya.

“Kita tidak hanya memerintah, menyuruh. Akan tetapi kita mengajak anak-anak, mengajak (mereka) untuk melakukan kebaikan. Karena ketika mengajak, maka biasanya orang itu akan lebih senang ketika dia diajak, dibanding disuruh. Apalagi kalau sampai yang menyuruhnya itu tidak mengerjakan apa yang dia perintahkan kepada orang lain,” ucapnya.

“Tentunya ini bertentangan dengan ayat-ayat Al-Qur’an. Kata Allah SWT dalam surat Ash-Shaff ayat ke-2 dan 3: Wahai orang-orang yang beriman mengapa kalian mengatakan apa yang tidak kalian kerjakan? Sungguh besar kemurkaan di sisi Allah jika kalian mengatakan apa yang tidak kalian lakukan,” sambungnya.

Ia meminta agar para orang tua menjadi teladan terlebih dahulu bagi anak-anaknya. Selalu mengingat pepatah “buah jatuh tak jauh dari pohonnya”. Dan jangan salahkan sang anak jika perilakunya tak sesuai dengan apa yang jadi harapan orang tua.

Karena boleh jadi, lanjut Ustadz Afifudien, perilaku sang anak yang negatif atau melenceng dari ajaran-ajaran agama, diakibatkan setelah melihat perilaku orang tuanya, perilaku ayahnya dalam menjalani roda kepemimpinan dalam rumah tangga.

“Sebagai seorang ayah hendaknya menjadi teladan yang baik, menjadi contoh yang baik. Karena apa? Karena buah jatuh tak jauh dari pohonnya,” kata Ustadz Afifudien.

4.Memetik Nasihat dari Para Sahabat Nabi

Terkait dengan bagaimana sang ayah perlu mendidik anak sesuai dengan perkembangan zaman, ia mengambil dua nasihat dari para sahabat nabi, Umar bin Khattab, dan Alī bin Abī Thālib—yang bisa orang tua terapkan, khususnya ayah.

Ia menyebut, bahwa pada dasarnya, apa yang pernah disampaikan Umar sewaktu masih hidup terkait pendidikan yang kontekstualisasi (menyesuaikan perkembangan zaman), ternyata masih relevan dengan situasi anak-anak hari ini.

“Kata beliau, ajarilah anak-anakmu sesuai dengan zamannya. Karena mereka hidup di zaman mereka, bukan zamanmu. Sesungguhnya mereka diciptakan untuk zamannya, sedangkan kalian (para orang tua) diciptakan untuk zaman kalian ini,” ujarnya.

Ia menegaskan bahwa antar sesama generasi tidak bisa disamaratakan. Generasi lahir saat internet begitu masif tidak bisa disamakan (secara pendidikannya) dengan generasi yang saat itu masih belum ada internet. Kedua hal tersebut tentunya berbeda.

“Jangan sampai (para orang tua—ayah) menerapkan pendidikan anak di tahun 2022 ini sebagaimana dulu orang tua tahun 80-an atau tahun 70-an mendidik anak. Tentunya berbeda. Dulu belum ada gadget, sekarang sudah ada gadget. Dan ilmu itu sendiri sifatnya dinamis, selalu berkembang. Maka sudah seharusnya metode pengajaran (pada anak) pun harus menyesuaikannya dengan kondisi yang dihadapi di masa sekarang,” tambahnya.

Selain Umar, ia juga menyebut bagaimana sahabat nabi, yakni Ali, ketika mendidik anak. Waktu pendidikan kepada anak tersebut, terang Ustadz Afifudien, ialah membaginya dalam tiga tahap. Tahap pertama berupa menganggap anak sebagai raja sampai umurnya 7 tahun. Tahap kedua menganggapnya sebagai tawanan untuk dilakukan penggemblengan dan pembentukan karakter yang dimulai sejak umur 14 tahun. Dan ketiga menganggapnya sebagai sahabat ketika usianya telah memasuki 21 tahun—usia akil baligh.

Pada usia 7 tahun pertama ini, kata Ustadz Afifudien, hendaknya para orang tua melayani anak-anaknya dengan sepenuh hati, memperlakukannya sebagai raja. Lalu 7 tahun selanjutnya perlakukan anak sebagai tawanan.

Maksudnya, penggemblengan dan pembentukan karakter pada tahap ini sudah saatnya. Anak itu perlu diajarkan berkaitan dengan hak dan kewajibannya. Mulai dari masalah akidah, hukum-hukum dalam agama (Islam), juga apa yang diperbolehkan dan dilarang.

Tahap selanjutnya, yakni ketiga, memperlakukan anak sebagai sahabat. Maksudnya, ketika anak tersebut telah melewati akil baligh, kepada anak tersebut perlu ditekankan untuk membuang jauh-jauh sifat kekanak-kanakannya.

Mulai bertanggung jawab dengan apa yang menjadi tanggung jawabnya sebagai seorang anak. “Orang tua harus bisa memposisikan diri sebagai sahabat agar anak itu mau terbuka, agar anak mau cerita cerita tentang apa yang sedang dihadapi. Kemudian juga kalau bisa orang tua menjadi rujukan anak dalam mencari solusi,” ucapnya.

Ia berharap agar setiap orang tua khususnya ayah, bisa mengambil hikmah dari kedua sahabat nabi tersebut, untuk nantinya dijadikan sebagai panduan ketika mendidik anak-anaknya. Sebab, apa yang sudah dicontohkan oleh para sahabat nabi, sudah sangat jelas. “Agar kita mendidik anak kita sesuai zamannya,” tutupnya.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button