Kanal

Rusak Demokrasi Karena Hendak Tiga Kali


Itu malapetaka yang saya kira dibuat dengan sadar oleh Presiden Jokowi: membangun koalisi jumbo bin tambun yang  mengancam demokrasi, menerbitkan mudharat buat publik, dan dampaknya telah terlihat antara 2019-2023. Dengan 104 kursi di DPR (kurang dari 16 persen), PKS dan Demokrat tidak sanggup mencegah disahkannya revisi UU KPK, lolosnya UU Cipta Kerja hingga instannya pengesahan UU Ibu Kota Negara (IKN). 

Oleh     :   Moh. Samsul Arifin

–Aktif di Koperasi IDE, pemerhati demokrasi

Setahun lalu, dalam peringatan HUT PDI Perjuangan, 10 Januari 2023, nakhoda partai itu, Megawati Soekarnoputri, menegaskan posisi dia dan partainya menyangkut masa jabatan presiden. “Lah kalau sudah dua kali, ya maaf, ya dua kali,” kata Megawati, tandas. Di mata Megawati, periode jabatan presiden itu maksimal dua kali. Itulah substansi yang tertulis dalam UUD 1945 hasil amendemen. Tujuannya menghindari penyalahgunaan kekuasaan sebagaimana terjadi di masa Soeharto dan Sukarno, ketika periode jabatan presiden tidak dibatasi.

Megawati mengatakan itu di depan Presiden Joko Widodo, kadernya yang sukses diantar PDI Perjuangan menjadi presiden dalam dua periode (2014-2024). Kalimat itu adalah pernyataan terbuka, dengan bahasa tidak resmi, kepada audiens yang luas: publik nasional, partai-partai pemilik kursi di DPR, dan tentu saja juga kepada Jokowi selaku kader—yang dalam istilah PDI Perjuangan dinamakan “petugas partai”. 

Kalimat tadi diutarakan Megawati tidak dalam ruang hampa, sebab selepas negeri kita diterjang pandemi COVID-19 (2020-2022), berkembang ide dan diskursus yang akrobatik. Ada usulan penundaan Pemilu, perpanjangan masa jabatan presiden, hingga presiden tiga periode lewat amendemen UUD 1945. Seluruhnya adalah akrobat yang dapat menjungkir-balikkan tatanan Konstitusi. Seluruhnya bias hasrat memperpanjang kekuasaan yang kuat. 

Dengan atribut pemenang Pemilu 2019, dan menjadi partai penguasa, apa yang dikemukakan Megawati itu melegakan. Pasalnya PDI Perjuangan adalah pintu besar untuk membuka “gerendel” amandemen UUD 1945. Bagaimana pun PDI Perjuangan itu pemilik kursi terbanyak di DPR, dapat mempengaruhi hitam atau putihnya suara DPR sebagai lembaga. Sikap PDI Perjuangan dapat berefek domino kepada partai-partai lain yang tergabung dalam koalisi Pemerintahan Jokowi. Terlebih lagi di periode kedua Jokowi, kekuatan oposisi di DPR mengempis sekempis-kempisnya. Bahkan Gerindra dengan tokoh sentral Prabowo Subianto, dirangkul masuk Kabinet Indonesia Maju. Partai Amanat Nasional juga masuk koalisi pemerintah setelah dikompensasi dengan kursi menteri perdagangan. 

Praktis kekuatan penyeimbang di DPR menyisakan Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Demokrat. Inilah yang menyebabkan fungsi DPR sebagai “balance of power” terhadap pemerintah (eksekutif) tidak dapat berjalan. Dengan 104 kursi di DPR (kurang dari 16 persen), PKS dan Demokrat tidak sanggup mencegah disahkannya revisi UU KPK, lolosnya UU Cipta Kerja hingga instannya pengesahan UU Ibu Kota Negara (IKN). 

Pemerintah disokong tujuh partai di DPR berkekuatan 471 kursi (84 persen). Ini betul-betul dominan, terbesar sejak Pemilu langsung 2004. Andaipun PKS tidak setuju  UU IKN yang memberi sandaran hukum kepindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Kalimantan Timur, suara partai dakwah itu tidak bermakna. 

Itu malapetaka yang saya kira dibuat dengan sadar oleh Presiden Jokowi: Merangkul lawan-lawannya setelah Pilpres 2019 untuk meloloskan agenda pemerintahannya di DPR. Koalisi jumbo, alias tambun ini, berbahaya dan mengancam demokrasi, menerbitkan mudharat buat publik, dan dampaknya telah terlihat antara 2019-2023. 

Pada 2023, obsesi terhadap “koalisi jumbo” amat gampang disaksikan karena berkelebat secara telanjang di ruang publik, juga di belakang panggung politik. Ada tendensi kuat Presiden Jokowi menginginkan terbentuknya koalisi jumbo pula menuju Pilpres 2024. Di sini Jokowi tampak tergoda meneruskan koalisi yang sukses menjaga dan mengamankan agenda pemerintahannya ke masalah Pilpres 2024 yang seharusnya tidak diurus seorang presiden yang mesti berdiri di atas kepentingan partai politik dan kelompok. 

Hasrat membentuk “koalisi jumbo” yang keterusan, atau media menyebutnya koalisi besar, itu terjadi selepas riuh-rendah penolakan PDI Perjuangan atas tampilnya Israel di Piala Dunia U-20 yang sedianya dilaksanakan di negeri kita pada bulan Mei-Juni 2023. Partai Gerindra, PKB, PAN dan Partai Golkar sempat mendeklarasikan dukungan kepada Prabowo Subianto sebagai calon presiden di Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Jakarta, 13 Agustus 2023.

Ide itu akhirnya memang terlaksana, tapi dengan komposisi patai politik yang sedikit berubah. Lagi-lagi ajaib. PKB yang awalnya lengket rapat dengan Gerindra, di ujung proses balik arah dengan bergabung ke Koalisi Perubahan yang dibangun oleh Nasdem, PKS dan Demokrat. Untuk mengamankan jatah posisi cawapres untuk sang ketua umum Muhaimin Iskandar, PKB menjauh dari orbit kekuasaan—Pemerintahan Jokowi. 

 

Sebaliknya Demokrat yang kecewa berat karena gagal mendulang posisi cawapres untuk Agus Harimurti Yudhoyono balik kanan, bergabung dengan koalisi besar. Kontras dengan PKB, Demokrat malah mendekati koalisi partai pendukung pemerintah—sesuatu yang sejak 2014 dijauhi Demokrat karena kesadaran atas perlunya “balance of power”. Tapi begitulah uniknya politik Indonesia. Seluruhnya cair, teman kongsi dapat berubah setiap saat—tak perlu ada kesamaan platform, apalagi ideologi.

“Koalisi jumbo” di dalam pemerintahannya sukses membuat tumpul—untuk tak mengatakan mematikan—kekuatan oposisi di DPR. Dan koalisi besar, yang dihuni sebagian besar partai politik pendukung pemerintah, berhasil mengawinkan Prabowo Subianto dengan putra sulung Presiden, Gibran Rakabuming Raka. 

Sebagian pihak menyebut “perkawinan” Prabowo dan Gibran adalah kecelakaan sejarah yang dibuka oleh keputusan Mahkamah Konstitusi. Benteng Konstitusi itu mengubah syarat minimal usia capres-cawapres dari 40 tahun menjadi “tidak perlu 40 tahun, asalkan yang bersangkutan sedang menjabat sebagai kepala daerah hasil Pemilu, termasuk Pilkada”.

Sang benteng konstitusi mengubah syarat itu, karena diduga berat ada cawe-cawe Anwar Usman, yang saat perkara uji materi diputuskan menjabat ketua MK. Anwar tidak lain adalah ipar presiden, paman dari Gibran. Nakhoda MK itu akhirnya diberi sanksi oleh Majelis Kehormatan MK karena telah melakukan pelanggaran etik berat. Anwar Usman juga dicopot dari jabatannya dan tidak boleh ikut menghakimi sengketa hasil Pemilu dan Pilkada 2024.

Tapi “skandal etika” oleh orang nomor satu di MK itu tidak mengubah apa pun. Gibran tetap melenggang ke panggung Pilpres yang dilaksanakan 14 Februari mendatang. Dia membawa noda yang akan tercatat dalam sejarah politik elektoral di Tanah Air. Dalam debat capres jilid pertama, capres nomor urut 1, Anies Baswedan sempat menanyakan itu kepada capres nomor urut 2, Prabowo Subianto. Bekas Pangkostrad TNI di ujung Orde Baru itu tidak sanggup memberi jawaban yang memuaskan kepada publik. 

“Kita ini bukan anak kecil Mas Anies. Anda juga paham, sudahlah. Sekarang gini, intinya rakyat yang putuskan, yang menilai, kalau rakyat tidak suka Prabowo-Gibran, tidak usah pilih kami,”kata Prabowo seperti dikutip banyak media massa Tanah Air. Saya menjadi satu di antara banyak orang yang akan mengabulkan permintaan Prabowo: tidak memilihnya. 

Rupanya masalah etika yang disoal Anies masih jadi pikiran Prabowo. “Bagaimana perasaan Mas Prabowo soal etik? Etik, etik ndasmu, etik,” kata Prabowo di acara internal Gerindra yang videonya tersebar di media sosial. 

Apakah semua ini dapat terjadi jika Prabowo tidak dirangkul Presiden Jokowi ke kabinet di periode kedua pemerintahannya?  Sulit diterka. 

Nassim Nicholas Taleb, dalam buku “The Black Swan: The Impact of the Highly Improbable” melukiskan bahwa di dunia ini, ada kemungkinan kelainan, hal-hal tidak biasa atau tidak umum atau anomali menyeruak ke permukaan. Umumnya angsa itu berwarna putih. Tapi, jangan tutup rapat peluang adanya angsa yang berwarna hitam. Koalisi jumbo di periode kedua pemerintahan Jokowi, yang memasukkan rivalnya di Pilpres 2014 dan 2019, Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan, itu tergolong fenomena “angsa hitam” dalam politik Indonesia. 

Adapun tampilnya Gibran Rakabuming Raka sebagai pendamping Prabowo—serta Kaesang Pangarep sebagai Ketua Umum PSI—adalah kejadian yang lumrah, sebuah “angsa putih”. Dinasti politik ternyata bukan merupakan bagian yang tercela di mata elite politik nasional dan politikus lokal. Sebagian di antara mereka menganggap kekuasaan itu pantas saja meski harus diperjuangkan dan diraih dengan cara-cara yang tidak etis dan berbalut nepotisme. Pemeluk formalisme cuma tahu bahwa jika hukum melegalkan, segala sesuatu boleh dikerjakan.

Sekarang, pilihannya makin terbatas dan sempit. Meminjam Eep Saefulloh Fatah, pemungutan suara pada 14 Februari nanti adalah momen sakral untuk menentukan sejarah Indonesia dalam lima tahun mendatang. 

Ratusan juta pemilih yang bakal datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS), saya kira tahu dengan pasti kepada siapa harus menitipkan harapan. Kedaulatan berada di tangan rakyat. Dan setiap lima tahun (Pemilu), rakyat sebagai pemilik kedaulatan, menitipkan kekuasaan kepada presiden terpilih. Bukan untuk dimiliki selama-lamanya, tapi agar digunakan untuk kemaslahatan orang banyak, kemajuan negara dan bangsa. Itulah demokrasi, yang celakanya di negeri kita tergolong ke dalam demokrasi cacat (flawed democracy). Menurut Economist Intelligence Unit, indeks demokrasi Indonesia cuma 6,71 di tahun 2022. Turun lumayan curam dibandingkan tahun pertama Pemerintahan Jokowi, 2015, di mana indeks demokrasi kita masih 7,03. [dsy]

Back to top button