News

Revisi UU Penyiaran Tuai Protes, Komisi I DPR RI: Akan Jadi Masukan Kami


Anggota Komisi I DPR RI dari fraksi Partai Golkar, Dave Laksono menegaskan wacana revisi Undang-Undang (UU) Penyiaran bukan untuk membatasi kebebasan berpendapat. Ia mengatakan, sejumlah keberatan oleh beberapa pihak bakal menjadi masukan bagi DPR untuk menyempurnakan revisi tersebut.

“Masukan yang disampaikan dari rekan-rekan media tentang keberatan ataupun juga pandangan mengenai revisi undang-undang penyiaran itu jadi masukan yang baik untuk kita memperkaya, memperkuat dan juga menyempurnakan undang-undang ini,” kata Dave dalam keterangannya, Jakarta, Senin (13/5/2024).

Dave mengatakan wacana revisi UU Penyiaran sudah mulai dilakukan pembahasan sejak tahun 2012. Namun nyaris 12 tahun DPR RI belum bisa merampungkan aturan tersebut.

“Apa yang menjadi kekhawatiran, ketakutan yang sebelumnya dikatakan ini akan bisa jadi masukan sehingga kita bisa menyempurnakan undang-undang ini dan bisa meyalani dan melindungi masyarkat secara umum,” ujarnya.

Ia membantah revisi RUU Penyiaran dilakukan untuk membatasi kebebasan berpendapat. Baginya, baik dari pemerintah saat ini dan pemerintah yang akan datang di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto, tidak akan menghalangi hak-hak masyarakat.

“Tiada niat sedikit pun baik dari pemerintah hari ini, dibawa Presiden Jokowi, ataupun di bawah pemerintahan nantinya di bawah kepemipinan Presiden Prabowo dan juga DPR akan memberangus hak-hak masyarakat dan kebebasan untuk menyampaikan pandangan, pendapat, apalagi informasi kepada masyarakat,” ucapnya.

Baginya, informasi harus diberikan dengan tepat dan juga pemerintahan berlangsung dengan transparan dan akuntabel.

“Dan justru media harus terus mengawal setiap kebijakan pemerintah agar tepat sasaran dan jangan sampai ada penyelewengan sedikit pun apa yang menjadi hak milik rakyat dan bangsa secara keseluruhan,” tuturnya.

Sebelumnya, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) mengungkapkan keprihatinannya terhadap draf revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, yang saat ini sedang dibahas di Badan Legislasi DPR. IJTI menilai beberapa pasal dalam draf tersebut berpotensi mengancam kemerdekaan pers, terutama terkait dengan penayangan karya jurnalistik investigasi dan penyelesaian sengketa jurnalistik.

Dalam sebuah siaran pers yang dirilis hari ini (11/5/2024), IJTI menyoroti proses penyusunan draf yang disebut “tidak cermat” dan keberatan atas pasal yang mengatur tentang larangan penayangan eksklusif karya jurnalistik investigasi di televisi.

Pasal 50B ayat 2 huruf c dinilai dapat membatasi kebebasan jurnalis dalam menyajikan investigasi yang mendalam kepada publik.

“Saat ini, karya jurnalistik yang dihasilkan dengan memegang teguh kode etik, berdasarkan fakta dan data yang benar serta dibuat secara profesional tidak seharusnya dibatasi penayangannya. Pasal ini justru bisa diartikan sebagai bentuk intervensi dan upaya pembungkaman terhadap pers,” kata Ketua Umum IJTI, Herik Kurniawan.

Selain itu, pasal 50B ayat 2 huruf k, yang berkaitan dengan isi siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, dan pencemaran nama baik, juga dikhawatirkan multi tafsir dan dapat menjadi alat untuk mengkriminalisasi jurnalis.

Pasal lain yang menjadi sorotan adalah Pasal 8A huruf q dan Pasal 42 ayat 2, yang menunjuk Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai lembaga penyelesaian sengketa jurnalistik penyiaran. IJTI menekankan bahwa penyelesaian sengketa harus tetap berada di bawah Dewan Pers, sesuai dengan UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers, untuk menjaga independensi dan profesionalitas jurnalistik.

Menyikapi ini, IJTI meminta DPR untuk mengkaji ulang draf revisi tersebut dengan melibatkan lebih banyak pihak, termasuk organisasi jurnalis dan publik, untuk memastikan bahwa revisi UU Penyiaran tidak akan menjadi alat untuk membungkam kemerdekaan pers dan kreativitas individu di berbagai platform media.

Siaran pers tersebut diakhiri dengan seruan dari Usmar Almarwan, Sekretaris Jenderal IJTI, yang mengajak semua pihak untuk mengawal proses revisi UU Penyiaran agar berlangsung transparan dan inklusif. “Meminta kepada semua pihak untuk mengawal revisi RUU Penyiaran agar tidak menjadi alat untuk membungkam kemerdekaan pers serta kreativitas individu di berbagai platform,” ujar dia.

Back to top button