Market

Putihkan 3,3 Juta Ha Lahan Sawit, Menko Luhut Benamkan Citra Indonesia

Wakil Ketua DPD, Sultan Baktiar Najamudin menilai, langkah Menko Kemaritiman dan Investasi (Marves), Luhut Binsar Pandjaitan memutihkan 3,3 juta hektare (ha) lahan sawit, justru memperburuk citra sawit Indonesia di mata asing.

“Kami melihat, upaya ekstensifikasi industri sawit Indonesia yang tidak terkontrol, menyebabkan komoditas ekspor andalan Indonesia ini, identik dengan isu deforestasi. Sehingga, beberapa negara maju seperti Uni Eropa terpaksa mengontrol ketat, setiap produk turunan dari hasil perkebunan dan kehutanan Indonesia,” terang Sultan di Jakarta, Senin (3/7/2023).

Ia mengapresiasi langkah serius dari satuan tugas (satgas) dalam mendata ulang luasan lahan sawit. “Meskipun belum terlihat adanya upaya pemerintah untuk memulihkan kembali citra industri sawit Indonesia yang lebih berkelanjutan,” sambungnya.

Oleh karena itu, Sultan menyarankan pemerintah lebih fokus dalam menata dan memetakan kembali, penguasaan lahan oleh korporasi. Sembari memulihkan kembali kawasan hutan.

“Memutihkan 3,3 juta ha lahan sawit ilegal di kawasan hutan, semakin memperburuk citra sawit Indonesia di mata internasional. Memutihkan artinya membenarkan tuduhan deforestasi oleh industri sawit yang disampaikan Uni Eropa,” papar Sultan.

“Jika ini dibiarkan, (maka) dalam jangka panjang, Indonesia akan kehilangan pasar potensial komoditas perkebunan andalan, seperti sawit. Dan, semakin melemahkan posisi Indonesia dalam agenda penyediaan dan perdagangan karbon global,” tutup Sultan.

Mengingatkan saja, Uni Eropa (UE) resmi memberlakukan Undang-undang (UU) Anti Deforestasi atau EU Deforestation Regulation (EUDR) per 16 Mei 2023. Dampaknya, produk pertanian Indonesia, tak hanya minyak sawit mentah, tapi juga sapi, kayu, kopi, kakao, hingga karet menjadi sulit menembus pasar Uni Eropa.

Artinya, beleid ini akan menutup ekspor bagi produk pertanian atau perkebunan Indonesia, karena itu tadi, dinilai EU tidak bebas deforestasi atau pengrusakan hutan.

Direktur Eksekutif Sawit Watch, Achmad Surambo menilai, upaya pemutihan yang dilakukan Menko Luhut justru menjadi preseden buruk. Kebijakan tersebut, mengabaikan proses hukum yang selama ini berlangsung dengan hanya memberikan sanksi administratif.

“Upaya (Pemutihan) tersebut justru mengabaikan proses pidana dengan hanya memberikan sanksi berupa denda administratif atas tindakan perambahan kebun sawit yang dilakukan di area hutan,” ujar Achmad Surambo saat dihubungi Inilah.com di Jakarta, Selasa (27/6/2023).

Surambo mengatakan, persoalan sawit dalam kawasan hutan merupakan persoalan yang sudah sejak lama dan mengakar. Penyelesaiannya pun sudah dimulai sejak zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hingga Presiden Joko Widodo, dengan menghasilkan sejumlah kebijakan seperti misalnya, PP 60/2012, PP 104 Tahun 2015, Inpres No. 8 Tahun 2018 hingga terakhir melalui UU Cipta Kerja.

“Menggunakan UU Cipta Kerja menjadi landasan hukum proses ini berpotensi membawa masalah. Karena UU ini masih berproses judicial review di Mahkamah Konstitusi, sehingga akan menyebabkan permasalahan baru,“ kata Surambo.

Oleh karenanya, menurut Surambo, pantas jika dikatakan kebijakan yang dilakukan saat ini, tak lebih dari jalan pintas di tengah kesemrawutan yang tidak bisa diselesaikan pemerintah. “Kami melihat pemerintah seperti tidak memiliki langkah dan upaya lain yang dapat ditempuh selain pengampunan atau pemutihan ini,” kata Surambo.

Back to top button