News

Perdagangan Ginjal: Sebuah Tanda Kelalaian Pemerintah

Terbongkarnya praktik jual beli ginjal ilegal di Bekasi yang dijalankan secara rapi oleh sindikat berskala internasional dan melibatkan aparat penegak hukum belum lama ini seolah kembali menyadarkan publik betapa organ tubuh sudah menjadi semacam “barang dagangan” untuk diperjalbelikan. Ginjal yang masih berfungsi dengan baik harganya menembus ratusan juta bahkan miliaran rupiah. Sebab, ginjal dengan kondisi ini bisa menjadi solusi bagi orang yang sudah divonis secara medis mengalami gagal ginjal agar kembali sehat.

“Organ ginjal ini paling banyak memang diminati, bukan hanya di Indonesia, tetapi di seluruh dunia. Karena apa? Orang yang gagal ginjal itu bisa hidup berkualitas sama seperti orang sehat dengan dilakukannya transplantasi (pemindahan organ tubuh) ginjal,” kata Ketua Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) Tony Richard Samosir kepada Inilah.com, Jumat (28/7/2023).

Menurut Tony, praktik jual beli organ tubuh khususnya ginjal tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga berlangsung di negara lain. Hal ini seiring berkembangnya metode transplantasi di sebuah negara.

Di Indonesia, berdasarkan catatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), transplantasi ginjal merupakan pilihan terapi pengganti ginjal yang awalnya dipelopori oleh Almarhum Prof. Sidabutar pada tahun 1977 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta. Perkembangannya hingga saat ini ada beberapa rumah sakit yang mampu melakukan transplantasi ginjal, salah satunya RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.

Transplantasi atau pencangkokan ginjal merupakan prosedur bedah untuk mengganti organ ginjal yang telah mengalami kerusakan akibat gagal ginjal kronis stadium akhir. Ginjal yang dicangkokkan dapat berasal dari donor yang masih hidup atau sudah meninggal dunia. Ginjal manusia merupakan organ yang sangat penting bagi tubuh dengan fungsi untuk menyaring dan membuang zat sisa, cairan, mineral dan racun yang ada di dalam tubuh melalui urine. Jika fungsi ginjal mengalami penurunan fungsi maka racun tubuh akan menumpuk dalam tubuh.

Kegagalan fungsi ginjal terjadi apabila sudah kehilangan 90 persen dari fungsi ginjal secara normal atau fungsi ginjal pasien gagal ginjal tinggal memiliki kurang dari 15 persen terkait kinerjanya. Untuk itu, transplantasi salah satu cara yang diperlukan untuk membantu pasien gagal ginjal memiliki kemampuan fungsi ginjal yang lebih baik.

Jika dikaitkan dengan situasi beberapa tahun belakangan ini, menurut Tony, transplantasi ginjal di Indonesia mulai merebak sekitar delapan atau sembilan tahun lalu seiring hadirnya sistem pembiayaan kesehatan melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

“Sejak di tahun 2014, 2015 itu sudah mulai ramai (transplantasi ginhal),” ujar Tony.

Seiring dengan hal itu pula, kata dia melanjutkan, praktik jual beli organ mulai mencuat ke permukaan hingga Polri turun tangan mengusut.

Sebenarnya, dalam pandangan Tony, praktik jual beli ginjal bisa dicegah bila pemerintah menghadirkan lembaga yang mengurusi transplantasi ginjal secara transparan dengan manajemen baik. Ia mencontohkan keberadaan lembaga semacam ini di Amerika Serikat bernama UNOS atau United Nation Organ Sharing.

“Ini (UNOS) adalah lembaga nonprofit yang ditunjuk oleh pemerintah setempat untuk mengurusi organ donor,” kata Tony menerangkan.

Dia menyebut, lembaga itu menerapkan sistem antrean. Oleh karena itu, seseorang yang ingin mendonasikan ginjalnya, maka bisa mendatangi lembaga tersebut. “Lembaga ini juga mengatur sistem daftar tunggu atau waiting list, dia mendata pasien gagal ginjal di seluruh negaranya lalu membuat daftar tunggu,” tutur Tony.

Kemudian, lembaga itu juga melakukan pendaftaran pada donor. Baik dari pendonor yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. “Donor mati ini diakibatkan oleh kecelakaan, salah satunya adalah mati batang otak. Orang-orang ini nanti organ tubuhnya diambil, tentunya yang bersedia, yang sudah mendaftarkan terlebih dahulu menjadi donor, dan ketika mereka kecelakaan, maka organnya diambil dan ditransplantasikan kepada mereka yang membutuhkan, yaitu orang-orang gagal ginjal,” ujar Tony menambahkan.

Screenshot 20230729 211618 Drive - inilah.com
Tiga orang pegawai Imigrasi Bali yang sudah berstatus tersangka terkait perdagangan ginjal ilegal digelandang petugas untuk menjalani pemeriksaan di Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Sabtu malam (29/7/2023). (Foto: Inilah.com/Clara Anna)

Sedangkan, situasi yang mengemuka di Indonesia saat ini, kata Tony, negara belum hadir. Padahal, jumlah pasien gagal ginjal cukup banyak. Artinya, membutuhkan pendonor dalam jumlah besar pula apabila para pasien itu ingin melakukan transplantasi ginjal. Tak ayal, kata Tony lagi, terjadi supply and demand atau penawaran dan permintaan yang cukup tinggi. Maka, praktik jual beli ginjal pun tak terelakkan.

Oleh karena itu, Tony menegaskan, pemerintah melalui Kemenkes seharusnya menyediakan fasilitas dan layanan transplantasi organ yang mumpuni. Dengan kata lain, maraknya jual beli ginjal buah dari kelalaian pemerintah untuk menyediakan fasilitas transplantasi yang memadai tersebut. Artinya, pemerintah wajib melakukan pembenahan total.

“Kita itu tidak memiliki yang namanya sistem registrasi dikelola oleh lembaga donor organ,” ujarnya.

Dia mengibaratkan, jika lembaga seperti Palang Merah Indonesia (PMI) tidak ada, maka masyarakat yang ingin mendonorkan darahnya akan kebingungan. Kondisi ini bisa menimbulkan penjualan darah secara bebas di tengah publik. Situasi itu yang terjadi jika dikaitan dengan maraknya penjualan ginjal saat ini.

Kinerja KTN

Tony mengakui, pemerintah memang sudah membuat Surat Keputusan (SK) Menteri membentuk Komite Transplantasi Nasional (KTN) sejak 2016. Namun, SK terkait KTN ini sempat tidak diperpanjang oleh Menteri Kesehatan terdahulu. SK baru diperpanjang oleh Menteri Kesehatan saat ini, Budi Gunadi Sadikin.

Tony memandang, kinerja KTN jauh dari dari optimal. Hal ini memunculkan pertanyaan besar seiring kebutuhan donor ginjal yang meningkat, tapi pemerintah belum menyediakan fasilitasnya dengan baik.

“Sistem registernya tidak tersedia dengan baik, bagaimana distribusinya kalau ada orang di Indonesia yang ingin mendonorkan organ tubuhnya, kemana? itu tidak ada. Kita tidak pernah tahu. Sedangkan jadwal antrean saja di RSCM itu bisa satu tahun menunggu untuk transplantasi organ,” tutur Tony menyesalkan.

KPCDI sendiri, ujar Tony lagi, kerap menerima tawaran dari orang yang ingin mendonorkan ginjalnya secara ikhlas atau tanpa kompensasi apa pun. Namun, KPCDI tidak bisa berbuat apa-apa lantaran tidak mengetahui kemana harus memfasilitasi orang-orang yang ingin mendonorkan ginjalnya. Oleh karena itu, ujar Tony menegaskan, pemerintah sudah waktunya menghadirkan fasilitas dan layanan kompeten untuk mengurusi transplantasi maupun orang yang ingin mendonorkan ginjal. Ia meyakini, jika pemerintah merealisasikannya hal itu bakal menekan praktik jual beli ginjal ilegal

“Ketika ada yang ingin mendonasikan organ tubuhnya baik itu dengan sistem donor mati dan donor hidup, ada lembaganya. Lembaga inilah yang melakukan register, yang melakukan advokasi, dia juga yang menentukan kelayakan donor dan recipient, apakah memenuhi syarat yang sudah ditentukan dan tidak ada praktik jual beli,” ucap Tony.

Langkah lainnya, kata Tony menambahkan, pemerintah juga harus harus menyiapkan rumah sakit (RS) dan fasilitas kesehatan untuk bisa melakukan transplantasi organ tubuh.

“Dokternya juga harus disiapkan, ini sumber daya manusia untuk transplantasi ginjal kan sedikit. Contohnya saja RS Hasan Sadikin (RSHS), Bandung milik pemerintah, tapi kan orang Bandung yang mau melakukan transplantasi ginjal larinya ke RSCM Jakarta, ini kan miris,” katanya.

Penanganan secara tuntas

Sejatinya, upaya memberantas praktik perdagangan ginjal ilegal tak hanya melakukan pembenahan pada sisi fasilitas dan layanan kesehatan. Aspek penting lainnya menyangkut penegakan hukum. Pemerintah melalui aparat penegak hukum sudah waktunya melakukan pengusutan secara tuntas.

Menurut Pakar Hukum Pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Chairul Huda, perangkat hukum berupa Undang-Undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) sudah cukup memadai untuk meredam gerak sindikat penjual organ tubuh. Terlebih, Indonesia juga punya regulasi terkait lainnya. Namun, kata Huda aparat penegak hukum sejauh ini kerap hanya bertindak terhadap kasus yang viral. Langkah ini berpotensi mengakibatkan tidak tuntas penanganan suatu kasus TPPO penjualan organ tubuh.

“Faktor utamanya adalah tidak tuntasnya penanganan. Jadi kadang yang ditindak cuma yang viral,” ujar Huda.

Oleh karena itu, Huda mendorong, aparat penegak hukum bekerja lebih optimal dalam melindungi masyarakat dari praktik jual beli organ tubuh ilegal. Selain itu, dia juga menilai perlunya Satuan Tugas yang melibatkan Polri, Imigrasi, Kemenkes, Dinas Kesehatan, dan instansi terkait lainnya.

“Harapannya (penanganan) lebih terkoordinasi dan ada fungsi kontrol horizontal di antara lembaga-lembaga itu,” ujar Huda.

Sementara, Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menekankan tentang penguatan pengawasan oleh aparat penegak hukum. Pengawasan ini menyasar media sosial maupun lingkungan masyarakat. Aspek krusial lainnya yaitu aparat penegak hukum perlu memberi kesadaran kepada masyarakat agar berani melapor apabila mengetahui praktik jual beli organ tubuh.

Back to top button