Hangout

Penyebab Anak Rentan Terjangkit Penyakit karena Perubahan Iklim

Perubahan iklim yang drastis saat ini tengah dirasakan masyarakat Indonesia, khususnya Jabodetabek. Perubahan suhu bumi yang meningkat ini tentu berdampak pada kesehatan masyarakat, terutama anak-anak.

Dokter spesialis anak konsultan ahli emergensi dan intensif anak, dr. Kurniawan Taufiq Kadafi, M.Biomed., Sp.A(K) mengatakan anak rentan terhadap perubahan iklim yang terjadi beberapa waktu belakangan.

Menurutnya, seorang anak tidak dapat dikatakan sebagai dewasa mini sebab proses tubuhnya berbeda dengan orang dewasa. Hal inilah yang membuat karakteristik anak menjadi unik.

“Anak memiliki karakteristik yang unik. Anak bukan dewasa mini, dimana proses yang ada pada anak itu sebagian besar proses tubuhnya beda atau fisiologisnya berbeda dengan dewasa,” jelasnya dalam Media Briefing tentang Dampak Perubahan Iklim pada Kesehatan Anak, Jakarta, Rabu (03/05/2023).

Lebih lanjut, dokter yang akrab disapa Kadafi itu menjelaskan beberapa karakteristik anak yang membuat mereka rentan terkena penyakit di tengah cuaca yang tidak menentu ini.

Pertama, anak banyak menghirup udara. Menurut Kadafi, frekuensi napas yang terjadi pada anak cenderung lebih banyak dibandingkan dengan orang dewasa.

“Kita bisa lihat sendiri, sebenarnya laju napas anak semakin kecil semakin cepat,” tuturnya.

Oleh karena itu, anak akan lebih mudah menghirup bahan-bahan berbahaya yang ada di udara.

Kedua, anak banyak bermain di luar rumah. Anak-anak akan melakukan eksplorasi dan banyak bermain dengan bahan kotor serta mudah memasukan sesuatu ke dalam mulut. Tak terkecuali anak yang lebih besar juga akan melakukan hal serupa.

Menurut Kadafi, hal inilah yang akan berdampak pada kesehatan anak di tengah perubahan iklim.

“Ini juga kelihatannya simpel, tetapi kita juga akan melihat bahwa itu salah satu sifat daripada anak yang dampak dari perubahan iklim akan masuk lewat situasi-situasi seperti ini,” jelasnya.

Ketiga, anak tidak mampu mengekspresikan keluhannya. Kadafi mengatakan situasi ini yang membuat orang tua telat mengetahui anak sudah dalam keadaan sakit.

“Kadangkala kita (orang tua) taunya sudah fase lanjut oleh karena keluhan awal biasanya tidak diungkapkan secara jelas. Tapi dia eksplisit dan hanya menangis saja,” tuturnya.

Keempat, anak butuh perawatan khusus. Seperti yang diketahui, anak berbeda dengan orang dewasa. Karena itu, anak membutuhkan perawatan khusus seperti vaksinasi dan penghitungan dan pemilihan dosis obat yang sangat dibatasi.

“Misalnya paracetamol dengan dosis 10 mg kali berat badan sampai dengan 20 mg kali berat badan. Sehingga rentan usia ini memungkinkan dosis yang berbeda pula pada anak. Jadi tidak bisa disamaratakan,” papar Kadafi.

Kelima, perbedaan anatomi dan fisiologis anak. Dari sisi anatomi, anak memiliki proporsi kepala dan permukaan yang lebih besar dibanding dengan orang dewasa.

“Ini kalau kita lihat sebenarnya dengan dewasa bukan kepala anak bukan lebih besar, tetapi secara proporsi kepala lebih besar daripada dewasa,” terangnya.

Selain itu dari sisi fisiologis,  saat demam anak cenderung lebih mudah terkena dehidrasi dan terpapar oleh bahan-bahan yang ia hirup. Akibatnya orang tua harus lebih memperhatikan kondisi anak mereka.

Terakhir, perbedaan tumbuh kembang dan psikologis anak. Jika dilihat dari segi tumbuh kembang, anak di usia balita belum memiliki keawasan untuk menghindar dari situasi bahaya.

“Kemampuan untuk menghindari situasi bahaya tidak secekatan anak yang lebih besar. Ini juga menjadi faktor psiko anak untuk lebih mudah terpapar kegawatan,” tuturnya.

Dari sisi psikologis, anak-anak memiliki keingintahuan yang besar. Akibatnya, mereka akan mengeksplorasi meskipun sudah dikatakan hal tersebut berbahaya.

Back to top button