Kanal

Panen Raya Padi atau Panen Beras Impor?

Pemerintah Joko Widodo (Jokowi) kembali berencana mengimpor beras, kali ini sebesar 2 juta ton sampai akhir Desember 2023. Keputusan ini kembali mendapat respons negatif dari beberapa kalangan apalagi keputusan ini diumumkan ketika para petani tengah menghadapi panen raya.

Keputusan mengimpor beras dari pemerintahan Presiden Joko Widodo tak berselang lama dari impor sebelumnya. Akhir tahun lalu, pemerintah telah mengimpor 500.000 ton beras untuk cadangan beras pemerintah (CBP) yang dikelola Badan Urusan Logistik (Bulog).

Padahal dalam waktu tiga tahun berturut-turut mulai 2019, Presiden Jokowi sempat bangga lantaran berhasil tidak mengimpor beras. Tapi kini, kebanggaan Jokowi itu tenggelam. Pemerintah pada 2023 ini berencana mengimpor beras yang angkanya terbilang cukup besar yakni 2 juta ton.

Rencana impor beras ini terungkap dari surat penugasan yang ditandatangani Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) kepada Bulog. “Menindaklanjuti hasil rapat bersama Bapak Presiden tanggal 24 Maret 2023 dengan topik Ketersediaan Bahan Pokok dan Persiapan Arus Mudik Idul Fitri 1444 H, kami menugaskan Perum Bulog untuk melaksanakan pengadaan cadangan beras pemerintah dari luar negeri sebesar 2 juta ton sampai akhir Desember 2023,” demikian surat bernomor B2/TU.03.03/K/3/2023 tertanggal 24 Maret.

Dalam surat tersebut juga disebutkan tambahan pasokan beras impor tersebut dapat digunakan untuk program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan Beras (SPHP), bantuan beras kepada sekitar 21.353 juta keluarga penerima manfaat (KPM), dan kebutuhan lainnya.

“Pengadaan beras dari luar negeri tersebut untuk tetap menjaga kepentingan produsen dalam negeri serta memperhatikan aspek akuntabilitas dan tata kelola pemerintahan yang baik [good governance] sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” lanjut isi salinan surat tersebut.

Rencana impor beras ini dinilai miris mengingat saat ini di beberapa daerah tengah mengalami panen raya. Bahkan Presiden Jokowi ikut menyaksikan panen raya padi di Kelurahan Baji Pamai, Kecamatan Maros Kota, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, Kamis (30/3/2023).

“Saya datang ke Kabupaten Maros untuk memastikan bahwa sebagai lumbung beras Sulawesi Selatan, sekarang ini kita lihat Maros sudah mulai panen raya dan kita harapkan nanti hasilnya yang surplus itu bisa dibawa ke provinsi yang lain yang membutuhkan,” ujar Presiden.

Presiden mengaku puas karena panen raya di Maros terbilang tinggi meskipun beberapa waktu lalu sempat terkena banjir yang menyebabkan produktivitas turun. Diketahui, panen raya Sulawesi Selatan mengalami surplus hingga 2 juta ton dengan rata-rata produktivitas 6 ton per hektare. Dengan demikian, kebutuhan beras di sana dalam kondisi cukup hingga lebaran nanti.

Dianggap keputusan keliru

Keputusan impor beras ini menjadi pertanyaan banyak pihak. “Para petani tengah menghadapi puncak panen raya kok impor. Ini keputusan keliru, tidak masuk akal dan syarat kepentingan. Saya minta segera dievaluasi karena impor memiliki dampak terhadap kesejahteraan petani,” ujar Irma Suryani Chaniago, Pemerhati Pangan Nusantara di Jakarta, Rabu, (29/03/2023).

Ia pun meminta Badan Urusan Logistik (Bulog) segera melakukan evaluasi keputusan impor beras 2 juta ton untuk kebutuhan CBP. Menurutnya, keputusan tersebut merupakan keputusan keliru yang dapat menghambat laju kesejahteraan petani.

Irma membeberkan produksi beras tahun 2022 mencapai 31,54 juta ton atau naik 0,29 persen apabila dibandingkan tahun 2021. Sedangkan konsumsi beras tahun tersebut hanya 30,20 juta ton sehingga terdapat surplus beras 1,3 juta ton. Sementara luas potensi panen pada Januari-April 2023, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) mencapai 4,51 juta hektar dengan prediksi gabah kering giling mencapai 23,94 juta ton atau beras 13,79 juta ton.

“Dan kalau kita baca dari data satelit Siscrop Kementan diperkirakan mencapai 5,03 juta hektar atau setara 15,65 juta ton beras. Jadi sebenarnya dari angka itu saja sudah jelas beras kita cukup. Pertanyaannya kenapa harus impor?” katanya.

Selalu menjadi kontroversi

Sejak awal berdirinya republik ini, masalah impor beras selalu menimbulkan kontroversi. Menurut Ekonom Faisal Basri, tercatat pada 1952, Indonesia kala itu di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno, telah melakukan importasi beras dalam jumlah cukup besar, yaitu 600.000 ton, seperti yang dilaporkan dalam buku Almanak Pertanian 1954. Jumlah tersebut turun menjadi 300.000 ton pada 1953, begitu juga pada 1953, 1954, dan 1955.

Faisal dalam tulisannya tentang ‘Impor Beras Sejak Orde Baru Soeharto Hingga Kini’ mengungkapkan, mengutip data BPS, Indonesia sempat tidak mengimpor beras sama sekali pada 1985-1986. Pada tahun itu, Indonesia justru mengekspor beras masing-masing 106.000 ton pada 1985 dan 231.000 ton pada 1986. Setahun kemudian ekspor beras mencapai jumlah tertinggi, yakni 231.000 ton.

“Setelah ini ekspor meredup, tidak pernah lagi di atas 100.000 ton. Keberhasilan menekan impor beras pada Era Soeharto berlangsung tidak sampai 10 tahun,” kata Faisal.

Namun, pada 1995 dan 1996 impor beras kembali melonjak tajam menjadi masing-masing 1,3 juta ton dan 2 juta ton. Setahun kemudian Indonesia nyaris tak mengimpor beras. Namun, ketika Presiden Soeharto lengser pada 1998, impor beras mencapai rekor tertinggi, yaitu 2,8 juta ton.

Di masa, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono alias SBY, impor beras tertinggi sebesar 2,75 juta ton dilakukan pada 2011. Kemudian, turun pada 2012 sebesar 1,8 juta ton. Di sisa rezim SBY, Indonesia mengimpor beras ratusan ribu ton saja.

Sementara itu, di masa rezim Jokowi, Indonesia tercatat beberapa kali melakukan impor beras di atas 1 juta ton, yakni pada 2016 sebesar 1,28 juta ton dan 2018 sebesar 2,016 juta ton. Di 2022 akhir mengimpor 200.00 ton, kemudian, pada 2023, pemerintah rencananya kembali akan mengimpor beras sebanyak 2 juta ton.

Guru Besar IPB University Dwi Andreas Santosa mengatakan, rencana impor beras ini telah menyakiti petani Indonesia. Sebab, petani tengah menikmati harga gabah atau beras yang lumayan menguntungkan setelah sekian lama banyak merugi. Tak heran impor beras dinilai lebih menggiurkan dibanding menyejahterakan petani nasional. “Impor beras secara tidak langsung telah merusak psikologis petani, apalagi saat ini sedang masa panen raya,” katanya.

Andreas mempertanyakan alasan di balik impor beras tersebut untuk bantuan sosial (bansos) pada Maret-Mei tahun ini. Pasalnya, realisasi impor beras memakan waktu sekitar 2-3 bulan. “Sekarang katanya untuk bansos, gimana kalau bansos bulan ini, tapi barang impornya baru masuk 2,5 bulan lagi. Gimana logikanya? Ini tidak ada perencanaan sama sekali,” tutur pengajar yang juga Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) itu.

Impor beras ini menjadi ironi mengingat Presiden Jokowi sering menggembor-gemborkan tentang ketahanan pangan terutama tentang kemandirian pangan. Sudah menjadi kewajiban pemerintah berusaha sekuat tenaga untuk menjaga komoditas strategis ini tersedia di Tanah Air secara mandiri. Sehingga tak heran ada yang menilai keputusan itu menciderai kedaulatan pangan nasional.

Tak hanya itu, kebijakan impor beras apalagi di tengah masa panen raya tentu akan melukai hati petani sekaligus juga mempermalukan Presiden Jokowi yang selama ini dikenal sebagai pemimpin yang pro petani dan produk-produk dalam negeri. Apa ada yang salah dengan strategi budidaya dan ketahanan pangan? Apakah karena kurang sinkronya data atau ulah para spekulan menimbun beras? Atau mungkin juga ada turut campur tangan-tangan kuat importir beras?

Back to top button