Kanal

Paceklik Ekonomi di Senjakala Jokowi


Jelang lengsernya Presiden Jokowi, perekonomian terus memburuk. Nilai tukar rupiah terjun bebas, harga barang naik tak bisa dicegah. Makin sulit hidup rakyat.

Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Prof Didin S Damanhuri punya istilah yang cukup sopan untuk menggambarkan betapa terpuruknya perekonomiaan saat ini.

Prof Didin memilih narasi ‘tidak sedang baik-baik saja’. Dia bilang, babak belurnya perekonomian di senjakala Jokowi ini, juga dipicu perkembangan global. Perang yang memicu ketidakpastian di segala hal, khususnya ekonomi.

Sejak lahir, ekonomi punya sifat istimewa. Sensitifnya luar biasa. Banyak isu bisa memengaruhinya. Bisa baik dan buruk.

“Jokowi pernah campur tangan ke KPK, kemudian isu dinasti politik lewat Gibran, Kaesang dan Bobby. Tentu semuanya memberikan sentimen kepada investor sebagai pelaku ekonomi,” kata Prof Dindin.

Yang palimg ditakutkan Guru Besar Ekonomi Politik IPB University ini, ketika nilai tukar atau kurs rupiah, jeblok hingga di atas Rp16.000/US$. “Nah itu berbahaya sekali. Bisa terulang krisis moneter 1998. Apalagi utang kita terus menggunung,” kata Prof Dindin.

Prof Dindin betul. Utang pemerintah khususnya luar negeri yang berbentuk dolar AS, memang bikin ketar-ketir. Ketika dolar AS mahal, maka mahal pula ‘maharnya’. Saat ini, utang pemerintah nyaris Rp8 ribu triliun.

Era Jokowi termasuk yang boros utang. Namun, era Jokowi jumlah utang luar negerinya memang kecil. Yang terbesar justru dari surat berharga negara (SBN).

Berdasarkan data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), utang pemerintah mencapai Rp7.885,55 triliun. Yang didominasi SBN sebesar Rp6.985,20 triliun.

Dan pinjaman senilai Rp870,33 triliun. Nah, khusus pinjaman ini ada yang dari luar negeri senilai Rp845,05 triliun dan dalam negeri Rp25,27 triliun.

Masalahnya, kupon atau imbal hasil dari SBN yang diluncurkan Kemenkeu cukup gede, berkisar 6-7 persen. Alhasil, pembayaran utang dan bunganya cukup gede. Berkisar Rp900 triliun hingga Rp1.000 triliun.

Atau 30 persen dari APBN, kita yang di kisaran Rp3.000-an triliun. Di sisi lain, setoran pajak tahun ini diprediksi Rp1.800-an triliun.

Anggaplah pajak bisa Rp2.000 triliun, sementara pembayaran utang dan bunga anggaplah Rp1.000 ribu. Tersisa Rp1.000 triliun.

Tentu tak cukup untuk membiayai subsidi energi, anggaran pendidikan, perlindungan sosial (perlinsos), kesehatan, dan sejumlah anggaran bagi-bagi menjelang Pemilu 2024. Mulai bantuan beras, BLT El Nino dan banyak lagi. Untuk menutup APBN tentu dengan utang. Ya, terbitkan lagi SBN.

Masalahnya, SBN ini ternyata punya sifat kanibal terhadap sektor bisnis. Karena, perbankan lebih suka mengeluarkan duitnya untuk memborong SBN. Ketimbang menggelontorkan kredit. Apalagi memodali sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Takut jadi kredit macet.

Fenomena ini, pernah dikeluhkan Presiden Jokowi. Bahwa perbankan mengalami kekeringan likuiditas, lantaran dananya tersedot untuk beli SBN.

Kata Jokowi, perbankan memang diperbolehkan untuk membeli sejumlah instrumen keuangan, seperti surat berharga negara (SBN) atau sertifikat Bank Indonesia (SBI). Namun, bank lebih baik mendorong sektor riil dengan memacu penyaluran kreditnya.

“Saya ajak perbankan. Memang harus prudent, hati-hati. Tapi tolong lebih didorong lagi kreditnya, terutama bagi UMKM. Jangan semuanya ramai-ramai membeli ke BI atau SBN,” ujarnya dalam acara Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI) 2023, Rabu (29/11/2023).

Kegalauan Jokowi ini, sejatinya, justru aneh. Pepatah bilang, kamu yang menabur maka kamu pula yang panen. “Saya enggak paham kenapa presiden baru memahami crowding out effect saat ini. Padahal dampak masifnya penerbitan surat utang dengan imbal hasil yang mencapai 6,7 persen sudah jelas akan menciptakan perebutan likuiditas di pasar,” kata Bhima Yudhistira, ekonom muda Center of Economics and Law Studies (Celios).

Sebagai entitas bisnis yang kiblatnya adalah cuan, wajar jika perbankan memproritaskan SBN. Selain aman karena dijamin pemerintah, cuan SBN sangat menjanjikan.

Jangan salahkan jika perbankan malas salurkan kredit dan memilih main aman. Begitu juga para deposan, melirik SBN sebagai instrumen keuangan yang rendah risiko dengan bunga yang lebih tinggi dari deposito perbankan. “Ini kekacauan likuiditas yang diciptakan pemerintah sendiri,” kata Bhima.

Saat ini, porsi SBN berada di level 88 persen dari total utang pemerintah. Dan, beban pembayaran utang jatuh tempo yang terus meningkat, berakibat tarik menarik likuiditas diperkirakan makin masif di tahun depan.

“Kalau begini terus saluran kredit kan jadi terganggu, dan bahaya sekali bagi pemulihan sektor riil domestik,” kata Bhima.

Ketimpangan Si Kaya dan Miskin

Ingat kata-kata ‘Yang Miskin Makin Miskin-Yang Kaya Makin Kaya, jadi ingat lagu Haji Rhoma Irama, Raja Dangdut asal Tasikmalaya yang berjudul Indonesia.

Lagu yang begitu legend itu, cocok menggambarkan kondisi ekonomi Indonesia saat ini. Dalam lagu itu, Rhoma Irama menyatakan bahwa Indonesia bukan milik kelompok atau golongan. Jangan pula memperkaya diri dengan membabi-buta.

Selain itu, disindir pula maraknya korupsi. Padahal, Rhoma Irama ingin mnyindir pemerintah Orba yang dikenal korup. Tapi, kritikan itu masih relevan untuk kondisi saat ini. Tak percaya?

Data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) periode Januari-September 2023, menunjukkan penurunan drastis tabungan masyarakat kelas bawah.

Masyarakat yang tabungannya di kisaran Rp100 juta-Rp200 juta, jumlahnya turun (minus) 0,42 persen. Sedangkan yang tabungannya di bawah Rp100 juta, jumlahnya anjlok (minus) 1,43 persen. Semuanya Januari-September 2023

Sementara potret penabung kelas crazy rich naiknya cukup meyakinkan (positif). Karena naiknya tinggi layak disebut melompat.

Dimulai dari pemilik tabungan kurang atau senilai Rp1 miliar, tumbuh 4,12 persen. Sedangkan pemilik tabungan Rp1 miliar-Rp2 miliar tumbuh 6,42 persen.

Pemilik tabuangan Rp2 miliar hingga Rp5 miliar, jumlahnya naik 7,51 persen. Sedangkan pemilik tabungan di atas Rp5 miliar tumbuhnya tertinggi yakni 7,82 persen.

Ini yang masih hangat. Majalah Forbes, baru saja merilis daftar orang terkaya Indonesia 2023. Setahun terakhir, kekayaan para taipan Indonesia, meningkat 40 persen. Dari US$180 miliar atau setara Rp2.790 triliun (kurs Rp15.500/US$), melejit menjadi Rp3.906 triliun.

Artinya kekayaan kelompok tajir melintir di republik yang saat ini dipimpin Jokowi, mengalami lompatan Rp1.116 triliun dalam kurun waktu satu tahun. Alahasil, setengah taipan RI mendapati dirinya lebih kaya dari pada catatan tahun sebelumnya.

Intinya, pertumbuhan ekonomi rata-rata 5 persen yang selalu dibanggakan Presiden Jokowi, hanya dinikmati segelintir orang. Termasuk 5 orang terkaya di Indonesia, yakni Hartono Bersaudara yang berkibar dengan industri rokok Djarum-Kudus; Prajogo Pangestu dengan mesin uangnya Barito Pacific; Low Tuck Kwong yang dikenal sebagai raja batu bara; Keluarga Widjaja (Sinar Mas) dan Keluarga Salim (Salim Group) yang mendapat berkah dari IPO perusahaan tambang tembaga kakap yakni PT Amman Mineral Internasional (AMMN).

Di sisi lain, kelompok menengah ke bawah harus berjuang untuk bertahan hidup di tengah mahalnya harga barang. Apalagi menjelang tutup tahun, harga bahan pangan semakin menggila. Cabai saja di sejumlah daerah, harganya sudah di atas Rp100 ribu per kilogram (kg). Mendekati harga daging sapi yang di kisaran Rp160 ribuan per kg.

Sehingga jangan heran, banyak sekali kelompok miskin yang terjerat pinjaman online (pinjol). Percuma saja, petinggi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berbusa-busa mengingatkan masyarakat agar tidak terjerat pinjol.

Namun apa daya, rakyat miskin harus berurusan dengan pinjol demi untuk selesaikan urusan perut. Atau ada yang berotak sumbu pendek, pilih bunuh diri karena mumet mikirin utang. Marak sekali bunuh diri atau bapak bunuh anak, karena salah satu alasannya adalah ruwetnya ekonomi.

Artinya, ketimpangan ekonomi di era Jokowi, begitu menjulangnya. Data LSM asal Inggris, Oxfam mengilustrasikan, harta empat orang terkaya di Indonesia itu, setara dengan akumulasi kekayaan milik 100 juta penduduk. Luar biasa timpangnya.

Back to top button