Kanal

Mereka yang Berbisik di Bumi

Inilah ajaran itu. Islam namanya. Agamaku. Agamamu. Agama kita semua. Semoga Allah tetapkan kita dalam iman dan Islam. Sampai ajal menjemput kelak. Tak akan kita tukar dengan apapun saja, meski nyawa taruhannya!

Malam ini, saya menjadi saksi betapa indah dan luar biasanya ajaran yang dibawa Nabi Muhammad SAW ini. Di Padang Arafah, malam menjelang puncak haji, orang-orang terbangun dari tidurnya. Hampir semuanya mengaku tak bisa lelap tertidur, hanya memejamkan mata. Lalu mereka keluar dari tenda, menyemut mencari air wudhu.

Entah apa yang membangunkan mereka. Memaksa mereka membuka mata dari pejam yang sejenak itu. Yang jelas, malam ini mereka berdiri dengan sungguh-sungguh. Kening mereka mencari tanah untuk bersujud, untaian doa sudah disiapkan, nama-nama akan disebut. Di tempat yang terberkati, di waktu yang terberkati.

Adakah yang seperti ini? Mereka yang berbisik di bumi, dalam sujud pasrah masing-masing, di malam gelap yang syahdu, tetapi suaranya terdengar di seluruh penjuru langit. Malaikat mengarak doa-doa mereka dan memohonkannya di depan Rabb pemelihara Alam Semesta. Dan Dia Yang Maha Tinggi, Yang Maha Mendengar, Yang Maha Berkehendak, Yang Maha Berkuasa atas Segala Sesuatu, menyaksikan setiap dahi yang menyentuh tanah itu, berkata dalam firmanNya:

“Innani anallah lā ilāha illa ana, fa’budnī wa aqimisshalāta lidzikrī. Sesungguhnya Akulah Allah, tiada tuhan selain Aku. Sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk mengingatKu.” (QS Thaha: 14)

Selepas subuh, sebagian besar di antara mereka memilih tetap terjaga. Mereka membuka mushaf dan mulai mendaras kata demi kata yang teruntai indah di sana. Suara mereka lirih. Serak. Kadang diseliling tangis dan sujud tilawah.

Sementara yang lagi memegang tasbih, menengadahkan tangan, membuka buku catatan berisi titipan doa-doa. Mereka adalah orangtua yang mendoakan anak-anaknya, anak-anak yang mendokan orangtuanya, istri yang mendoakan suaminya, suami yang mendoakan istrinya, kakak yang mendokan adik-adiknya, adik yang mendoakan kakak-kakanya, yang masih hidup maupun yang telah tiada, mereka yang tidak berpikir selamat dan sejahtera untuk dirinya sendiri. Yang tak berharap dijauhkan dari bahla dan penyakit hanya untuk kepentingannya sendiri.

Adakah ajaran yang seindah ini? Di malam cerah di Padang Arafah, para tamu-tamu Allah ini menangis, terdiam, merenung, menyesali keterbatasan dan kekurangan diri, berharap ampunan dan hidup yang lebih baik di kemudian hari. Mereka sudah tahu kepada siapa menyandarkan harap, kepada siapa bergantung, kepada siapa mengajukan permohonan. Mereka adalah orang-orang yang tahu, ‘arafa, betapa hina diri masing-masing dan betapa mulia Allah Azza Wa Jalla.

“Tidak ada hari di mana Allah membebaskan hamba dari neraka lebih banyak daripada hari Arafah, dan sungguh dia mendekat lalu membanggakan mereka (yang berdiam di Padang Arafah) di depan para malaikat dan berkata: Apa yang mereka inginkan.” (HR Muslim No. 1348)

Membaca hadits ini, mata saya basah. Apa yang lebih istimewa dari diberi ampunan dari segala dosa oleh Dia Yang Maha Pengampun? Dan tentang semua doa yang dipanjatkan hari itu, seolah-olah Allah bertanya dengan segala kemahaanNya, “Apa yang mereka inginkan?” Dan apabila malaikat bertanya tentang doa-doa itu, yang mana yang mesti dikabulkan, seolah-olah Allah menjawab, “Apa yang mereka inginkan!”

Inilah hari Arafah. Waktu dan tempat di mana para jemaah haji melakukan wukuf selepas tergelincir matahari di tanggal 9 Dzulhijjah hingga terbenam matahari dan memasuki 10 Dzulhijjah. Dalam 5-7 jam itulah, di tempat paling mustajab, pada waktu yang paling mustajab, tamu-tamu Allah yang mulia berbisik di hati mereka masing-masing, di sujud mereka masing-masing, di pejam mata mereka masing-masing, di kilasan hati mereka yang paling rahasia. Dengan satu janji: Semua makhluk langit mendengarnya untuk menjalankan perintah Allah untuk mengabulkan doa-doa itu.

Namun, memang, hanya mereka yang telah mengenal dirinya sendirilah yang mengenal Tuhannya. ‘Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu’. Allah dengan segala sifat dan asmaNya, adalah Allah yang Maha Tahu apa Yang Terbaik Bagi Hambanya, Yang Maha Adil, Yang Maha Berkuasa atas Segala Tempat dan Waktu. Boleh jadi, jika ada doa-doa yang tidak terwujud, adalah caraNya mengabulkan doa-doa kita yang lain. Di dalam PengetahuanNya, pengetahuan kita sungguh penuh keterbatasan.

Dan disinalah saya siang ini, di Padang Arafah, berlindung di balik tenda-tenda dari terik matahari yang membakar. Panas dan keringat yang diterima tubuh ini, semoga menjadi penanda terbakar dan terampuninya dosa-dosa. Segala doa telah saya bisikkan di lantai sujud, di dalam dada yang paling rahasia. Allah telah mengetahuiNya.

Sore ini, di samping saya, seorang laki-laki menangis pilu. Saya tak tahu isi doanya. Saya tak tahu isi hatinya. Tapi saya yakin Allah telah mendengarkan semuanya. “Ya Allah… Ya Allah… Ya Allah…” Hanya itu yang bisa saya dengar. Jika hati saya ikut bergetar, dan air mata ikut tumpah dari mata saya, Allah pun telah tahu apa yang saya panjatkan dalam doa yang rahasia itu.

Ada banyak doa yang dititipkan kepada saya. Mungkin saya tak bisa memanjatkan semuanya. Tapi ketahuilah, Allah tahu doa-doa kalian. Allah dengar doa-doa kalian. Allah mengerti jerit hati kalian. Tinggal kita terus mendekat dan mengenal Allah, memenuhi hak-hak Allah, maka terkabulnya doa-doa itu hanya soal waktu.

Menjelang maghrib ini, menjelang habis waktu wukuf, doa pamungkas saya hanya satu. Termasuk doa saya atas nama Anda semua yang membaca tulisan saya ini: Semoga Allah menetapkan kita dalam iman dan Islam. Semoga kita hanya diwafatkan dalam keadaan beriman dan bertakwa kepada Allah SWT. Semoga Rasulullah ridha dengan hidup kita, sehingga syafaatnya sesuatu yang niscaya, karena hatinya senang dan bangga kepada apa yang kita kerjakan di dunia.

Berbisiklah sekarang. Angkat tanganmu sekarang. Gerakkan hatimu sekarang. Tak perlu berhaji dulu untuk mulai mengenal dan mendekat kepada Allah dan Rasulullah.

Arafah, 9-10 Dzulhijjah 1444H

FAHD PAHDEPIE

Back to top button