Kanal

Mengenal BRICS, Cikal Bakal Mata Uang Baru Perangi Dominasi Dolar AS

Dolar AS telah menjadi mata uang resmi untuk perdagangan internasional selama bertahun-tahun. Kini ada pembicaraan tentang menciptakan mata uang baru dalam upaya untuk membuang dolar dan melawan hegemoni Amerika. Mata uang yang tengah disusun itu adalah BRICS.

De-dolarisasi ini mendapat dorongan belakangan ini, terutama setelah perang Rusia-Ukraina dimulai Februari 2022 lalu. Pekan lalu gerakan untuk mengganti peran dollar AS ini menguat berasal dari negara-negara BRICS yakni Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan.

Apakah negara-negara BRICS benar-benar menciptakan mata uang baru untuk perdagangan? Siapa yang berada di garis depan gerakan ini? Akankah rencana itu benar-benar membuahkan hasil? Lalu apakah mata uang BRICS ini bakal mampu menggantikan peran dolar AS dalam perdagangan dunia bahkan mengalahkannya?

Hegemoni dolar AS

Mengutip Firstpost, dolar AS disebut sebagai raja mata uang dan resmi menjadi mata uang cadangan resmi dunia pada 1944. Keputusan dibuat oleh delegasi dari 44 negara Sekutu yang disebut Perjanjian Bretton Woods. Sejak itu, dolar menikmati status yang terkuat di dunia. Akibatnya telah memberi AS pengaruh yang tidak proporsional terhadap ekonomi negara lain.

Namun, tidak semua orang suka bermain dengan aturan AS. Negara-negara seperti Rusia dan China ingin menghentikan hegemoni dolar. Proses ini disebut de-dolarisasi mengacu pada pengurangan dominasi dolar di pasar global. Ini adalah proses penggantian dolar AS sebagai mata uang yang digunakan untuk perdagangan minyak dan atau komoditas lainnya.

Para pendukung de-dolarisasi mengatakan bahwa proses ini akan mengurangi ketergantungan negara lain pada dolar dan ekonomi AS. Sehingga pada akhirnya dapat membantu mengurangi dampak perubahan ekonomi dan politik di AS terhadap ekonomi mereka sendiri. Selain itu, negara-negara dapat mengurangi keterpaparan terhadap fluktuasi mata uang dan perubahan suku bunga, yang dapat membantu meningkatkan stabilitas ekonomi dan mengurangi risiko krisis keuangan.

Wacana de-dolarisasi ini telah mengalami percepatan dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2022, Dana Moneter Internasional mencatat bahwa bank sentral saat ini tidak memegang greenback sebagai cadangan dalam jumlah yang sama seperti sebelumnya.

Menurut data Komposisi Mata Uang dari Cadangan Devisa Resmi IMF, bagian dolar dari cadangan devisa global turun di bawah 59 persen pada kuartal terakhir tahun lalu dan memperpanjang penurunan yang telah terjadi selama dua decade. Yang mengejutkan, penurunan pangsa dolar tidak disertai dengan peningkatan saham pound sterling, yen dan euro, mata uang cadangan lama lainnya.

Sebaliknya, pergeseran dolar terjadi dalam dua arah: seperempat ke dalam renminbi China, dan tiga perempat ke dalam mata uang negara-negara kecil yang telah memainkan peran yang lebih terbatas sebagai mata uang cadangan.

Invasi Rusia ke Ukraina juga ikut mendukung Langkah menuju de-dolarisasi. Seperti diketahui untuk menghukum Rusia, pemerintah barat membekukan US$300 miliar cadangan mata uang asing Rusia tahun lalu, kira-kira setengah dari total, dan mengeluarkan bank-bank Rusia dari sistem pembayaran internasional cepat.

Akibatnya, negara-negara yang ingin terus berdagang dengan Rusia, seperti India dan China, telah mulai melakukan transaksinya dalam mata uang rupee dan yuan. Brasil dan China sekarang saling berdagang dalam yuan, membantu menetapkan renminbi China sebagai mata uang internasional dan penantang dolar.

India juga telah mencoba menjauh dari dolar. Baru-baru ini, 18 negara, termasuk Inggris, Jerman, Rusia, dan bahkan Uni Emirat Arab, telah diberikan izin untuk berdagang dalam mata uang rupee India. Pada Februari, ekonom dunia Nouriel Roubini telah mengatakan bahwa rupee India dari waktu ke waktu dapat menjadi salah satu mata uang cadangan global di dunia.

Potensi mata uang BRICS

Ekonom Goldman Sachs Jim O’Neill adalah orang pertama yang menciptakan istilah BRIC (tanpa Afrika Selatan) pada 2001. Afrika Selatan baru masuk pada tahun 2010. Jim O’Neill percaya jika BRIC akan mendominasi ekonomi global pada tahun 2050 mendatang.

O’Neill mencatat pada 2001 bahwa negara-negara BRIC diharapkan tumbuh lebih cepat daripada Kelompok Tujuh (G7) yang terdiri dari tujuh ekonomi global termaju. Bisa dikatakan BRIC ini adalah tandingan dari kelompok G7 yang dibentuk oleh negara-negara maju termasuk Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Inggris, AS, dan Jepang.

Kemudian pada 2003, Roopa Purushothaman dan Dominic Wilson (rekan O’Neill di Goldman Sachs) mempresentasikan sebuah laporan berjudul “Dreaming with BRICs: The Path to 2050.”  Mereka berdua mengklaim bahwa pada tahun 2050, BRIC akan menjadi lebih menonjol daripada G7 dan mengubah tampilan ekonomi dunia dalam empat dekade.

Sepekan terakhir dorongan untuk melahirkan mata uang BRICS untuk memfasilitasi perdagangan makin menguat. Sumber telah mengungkapkan bahwa Rusia berada di balik gagasan tersebut, karena telah menghadapi sanksi ekonomi dari Barat atas invasi ke Ukraina.

Dilaporkan bahwa perjanjian keuangan baru dapat dilihat paling cepat pada bulan Agustus ketika negara-negara tersebut bertemu dalam pertemuan puncak tahunan mereka di Afrika Selatan.

Anggota parlemen Rusia Alexander Babakov saat berkunjung ke India Kamis (6/3/2023), mengungkapkan, soal mata uang baru ini bakal ada pembahasan lagi di KTT BRICS Agustus 2023. Dalam sebuah laporan mengindikasikan bahwa mata uang baru akan diamankan dengan emas dan komoditas lain termasuk elemen tanah jarang. Tapi detil yang dipakai belum diungkap jelas.

Alexander Babakov menyoroti fakta bahwa Rusia dan India sama-sama akan mendapat manfaat dari penciptaan mata uang bersama yang dapat digunakan untuk pembayaran. “New Delhi, Moskow harus melembagakan asosiasi ekonomi baru dengan mata uang bersama yang baru, yang bisa berupa rubel digital atau rupee India,” kata Babakov.

China juga akan memainkan peran penting dalam pengembangan mata uang bersama karena akan menambah 1,4 miliar populasi tambahan ke dalam sistem. “New Delhi, Beijing, dan Moskow adalah negara-negara yang sekarang melembagakan dunia multipolar yang didukung oleh mayoritas pemerintah,” katanya.

“Komposisinya harus didasarkan pada induksi ikatan moneter baru yang ditetapkan pada strategi yang tidak membela dolar AS atau euro, melainkan membentuk mata uang baru yang kompeten untuk menguntungkan tujuan bersama kita,” tambahnya.

Menariknya, Brasil sudah mulai menerima penyelesaian perdagangan dan investasi dalam yuan. India dan Rusia memiliki mekanisme Rupee-Rouble untuk perdagangan di mana mereka menyelesaikan iuran dalam rupee, bukan dolar atau euro. Ini menunjukkan bahwa negara-negara BRICS berniat mengubah sistem yang didominasi dolar, yang pada akhirnya akan mengarah pada de-dolarisasi di seluruh dunia.

Lalu bisakah mata uang BRICS menggempur dolar AS? Beberapa pengamat menilai hal tersebut memang bisa saja terjadi. Dilansir dari Economic Times, BRIC sendiri merupakan sebuah perkumpulan yang terdiri dari negara-negara besar. Dengan demikian, jika anggota BRICS ini mempunyai mata uang tunggal, sangat bisa mengalahkan dolar AS.

Back to top button