Kanal

KUHP Memang Humanis tapi Terasa Kolonial

Minggu, 11 Des 2022 – 11:00 WIB

Paripurna Kuhp 5 Utama - inilah.com

Menkumham Yasonna Laoly dan Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad dalam Rapat Paripurna pengesahan RKUHP di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (6/12/2022). (Foto: Inilah.com/ Didik S)

Pengesahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) bertujuan untuk menghadirkan hukum yang humanis, tapi malah dibanjiri kritik dan penolakan. Sebab, beberapa pasal yang termuat di dalamnya, dinilai masih bernuansa kolonial alias condong kepada penguasa.

Pemidanaan dalam KUHP yang baru diklaim humanis, tidak sama dengan KUHP lama warisan kolonial Belanda, yang memanfaatkan pemidanaan sebagai alat balas dendam. Secara umum, pemidanaan KUHP memiliki empat tujuan, yaitu:

a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi perlindungan dan pengayoman masyarakat; b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan dan pembimbingan agar menjadi orang yang baik dan berguna; c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan akibat tindak pidana, memulihkan keseimbangan, serta mendatangkan rasa aman dan damai dalam masyarakat; dan d. Menumbuhkan rasa penyesalan dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

Pergeseran tujuan pemidanaan ini memang terlihat lebih humanis dari KUHP versi sebelumnya. Dengan demikian, pidana mati tidaklah efektif untuk mewujudkan tujuan pemidanaan sebagaimana yang diatur dalam huruf b dan d.

Maka dalam KUHP baru, pidana mati diancamkan secara alternatif sebagai upaya terakhir untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dan mengayomi masyarakat. Sebagaimana juga yang termaktub dalam pasal 67 KUHP.

Meski humanis, namun nuansa kolonial masih kentara, dengan dimuatnya aturan mengenai penghinaan terhadap presiden, wakil presiden dan lembaga negara.

Dikhawatirkan aturan ini dapat dimanfaatkan penguasa untuk mengkriminalisasikan pihak-pihak yang dianggap berseberangan. Selain itu, minimnya petunjuk soal teknis penerapannya juga bisa menimbulkan kebingungan di antara penegak hukum.

Keberadaan aturan ini, secara tak langsung telah mengkondisikan sistem penegakan hukum menjadi tidak mandiri, bergantung kepada penguasa.

Kekhawatiran senada juga sempat diutarakan Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti. “Karakter ini menurut saya masih ada jadi belum layak untuk dikatakan bahwa KUHP sudah bersifat dekolonialisasi. Maksud saya adalah, kok penegakan hukum jadi bergantung pada presiden dan penguasa? Harusnya sistem yang dibangun,” tuturnya, Sabtu (10/12/2022).

Ramah ke Koruptor

Kontroversi tidak hanya sebatas nuansa kolonialnya saja, KUHP yang baru juga dianggap terlalu ramah pada koruptor. Sebab hadirnya KUHP turut menganulir empat pasal dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).

Keempat pasal yang teranulir itu antara lain pasal 2 ayat 1, pasal 3, pasal 5 dan pasal 13. Sebagai gantinya, aturan-aturan terkait sanksi pidana korupsi dan suap diatur dalam pasal 603, 604, 605 dan 606 KUHP.

Pada pasal 603 dan 604 menyebut bahwa pelaku tindak pidana korupsi yang memperkaya diri dan merugikan negara, mendapat hukuman minimal dua tahun dan maksimal 20 tahun.

Pidana penjara bagi koruptor tersebut, lebih rendah dari yang sebelumnya diatur dalam Pasal 2 ayat 1 dan 2 UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang mengatur sanksi pidana kepada koruptor paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun.

Sementara, ancaman pidana dalam KUHP bagi pelaku tindak pidana suap, tak banyak perubahan. Penerapan masa hukuman pidananya masih sama seperti yang diatur dalam UU Tipikor, paling singkat satu tahun dan paling lama lima tahun.

Namun, pidana denda mengalami kenaikan. Pada pasal 605 pelaku suap paling sedikit dikenakan denda kategori III atau Rp50 juta dan maksimal kategori V atau Rp500 juta. Sedangkan pada Pasal 5 UU Tipikor dikatakan bahwa pemberi suap dapat didenda paling banyak Rp250 juta.

Perubahan-perubahan ini menyiratkan bahwa sifat lex specialis yang dimiliki UU Tipikor belum cukup kuat menutup peluang bagi eks narapidana (napi) kasus korupsi untuk kembali duduk di tampuk kekuasaan.

Tanpa mengurangi rasa hormat dan keyakinan terhadap konsistensi kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), perubahan aturan dalam KUHP tidak bisa dinafikan, harus disorot serius. Sebab, bukan tidak mungkin pasal-pasal tersebut dimanfaatkan dan dipergunakan dalam surat dakwaan.

Alangkah baiknya bila pasal-pasal yang menganulir aturan dalam UU Tipikor atau UU lainnya, direvisi atau dihapuskan saja. Jika tak memungkinkan, sebaiknya disimulasikan terlebih dulu agar tidak menimbulkan kebingungan dalam mengimplementasikannya.

Back to top button