Hangout

Krisis Literasi di Indonesia, Implikasi Tutupnya Toko Buku Gunung Agung

Dalam masyarakat modern, literasi bukanlah hanya kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga keterampilan untuk menginterpretasikan, menganalisis, dan menciptakan ide dari berbagai sumber informasi. Krisis literasi di Indonesia, terbukti dengan penutupan Toko Buku Gunung Agung, merupakan peringatan keras untuk semua pihak tentang betapa pentingnya memprioritaskan budaya membaca dalam pembangunan nasional.

PT Gunung Agung (GA) Tiga Belas atau Toko Buku Gunung Agung., yang berdiri selama tujuh dekade dan menjadi saksi bisu transformasi kebudayaan literasi di Indonesia, bakal tutup pintunya selamanya pada akhir tahun ini. Melalui keterangan resminya, Sabtu (20/5/2023), PT GA Tiga Belas memutuskan untuk menutup semua gerai bukunya pada akhir 2023. Keputusan itu diambil oleh perusahaan yang telah berdiri sejak tahun 1953 lantaran beban biaya operasional tidak sebanding dengan pencapaian penjualan usaha setiap tahun.

Mungkin anda suka

Kejadian ini nyatanya bukan hanya menimbulkan kerinduan bagi para pembaca setia, tetapi juga membawa pertanyaan mendalam tentang bagaimana negara ini memandang peran literasi.

“Perhatian yang terbesar atas tutupnya Toko Buku Gunung Agung seharusnya datang dari pemerintah. Ketika sebuah toko berusia 70 tahun yang di dalamnya juga menyertakan buku-buku berkualitas dan menyertakan keterlibatan para tokoh bangsa, seharusnya kita merasa terpukul,” ungkap Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Arys Hilman Nugraha dalam wawancara dengan inilah.com, Kamis (25/5/2023).

Menurutnya, penutupan toko buku ini bukan hanya menjadi alarm bagi industri perbukuan, tetapi juga bagi semua sektor yang terkait dengan literasi. Dengan perhatian yang lebih serius dari pemerintah, upaya peningkatan literasi diharapkan bisa lebih maksimal. Undang-undang sistem perbukuan perlu lebih banyak fokus pada aspek hilir, yakni masyarakat, bukan hanya pada buku pendidikan dan industri perbukuan.

Toko Gunung Agung, Buku, Toko Buku, Tutup, Toko Buku Gunung Agung, Jakarta, Kwitang - inilah.com
Pengunjung di Toko Buku Gunung Agung di kawasan Kwitang, Jakarta Pusat, Rabu (25/5/2023). (Foto: inilah.com)

Sementara itu, menumbuhkan minat baca dan kebiasaan membaca pada masyarakat juga sangat penting. “Harus ada upaya menghilangkan gap antara buku yang sedang populer dan menarik, dengan buku-buku yang ada di sekolah-sekolah dan di perpustakaan,” tambahnya. Dengan memperkenalkan buku-buku yang menarik kepada masyarakat, diharapkan akan tercipta suasana literasi yang lebih baik.

Transformasi digital juga berperan penting dalam menangani krisis literasi ini. Penerbit buku dituntut untuk lebih memanfaatkan akses digital, mulai dari mencari naskah, mendesain cover buku, melakukan pemasaran, hingga distribusi buku. Meski tantangan di era digital ini cukup besar, banyak peluang yang bisa dimanfaatkan.

Laporan Perpustakaan Nasional RI mencatat bahwa 63,90% masyarakat memiliki kegemaran membaca pada 2022 dengan durasi rata-rata 1,6 jam per hari. Sebaliknya, laporan We Are Social menunjukkan bahwa rata-rata waktu yang dihabiskan masyarakat Indonesia di media sosial adalah 3,3 jam per hari. Data dari Meta, perusahaan induk media sosial seperti Facebook dan Instagram, juga menunjukkan bahwa lebih dari 50% waktu pengguna dihabiskan untuk menonton video.

Terlepas dari krisis yang dialami, Indonesia bukan kekurangan buku berkualitas atau menarik. Yang kurang adalah orang yang mau membaca. “Artinya, mari sama-sama dan tentu saja dengan dukungan besar dari pemerintah, agar buku sampai ke tangan masyarakat, pemerintah harus lebih serius dalam menangani perpustakaan,” tegas Arys.

Penutupan Toko Buku Gunung Agung menjadi peringatan bagi kita semua bahwa literasi bukanlah hal yang dapat dianggap remeh. Keterbukaan akses informasi dan literasi adalah hak asasi manusia yang seharusnya bisa diakses oleh semua kalangan. Pemerintah, masyarakat, dan sektor terkait perlu bekerja sama untuk meningkatkan minat baca dan mewujudkan masyarakat yang berliterasi.

Back to top button