Kanal

Dongeng Bocah Sunda di Masa Lalu [3] : Mengapa Saat Ini Susah Menemukan Kuntilanak, Ririwa, Jurig Jarian, Kokod Monong dan Para Sahabatnya?


Di masa-masa itu warga Kadipaten percaya, setiap musim giling meniscayakan adanya tumbal manusia (wadal). Jadi manakala ada orang tertabrak lokomotif tebu hingga kepalanya terpisah dari badan, atau badannya hancur terlindas roda besi loko, orang dengan gampang menghubungkannya dengan keharusan adanya tumbal tadi. Konon, korban yang dipilih itu akan dikelabui, bahkan dibekap telinganya oleh Jurig Torek, hingga ia tak sadar, tak mendengar datangnya loko.  Sampai roda besi melindasnya.

 

Waktu saya masih bersekolah di Sekolah Dasar Negeri Inpres Lapangsari, sekitar 1977-82, nyaris tiga perempat wilayah Kecamatan Kadipaten, Kabupaten Majalengka, belum berlistrik. Yang seperempat wilayah—mungkin kurang sebenarnya, mendapat-kan penerangan listrik dari dua sumber: Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan kelebihan pasokan internal Pabrik Gula Kadipaten. Kedua sumber energi listrik ini dayanya sama, hanya 110 volt.

Yang menarik, warga yang berlangganan listrik Pabrik Gula Kadipaten itu biasanya dalam setahun tak pernah penuh. Saat musim giling alias musim produksi gula, generator milik pabrik gula hanya cukup untuk keperluan pabrik berproduksi dan penerangan komplek sekitar pabrik. Musim giling ini bisa sampai enam bulan. Alhasil para pelanggan listrik PG Kadipaten pun hanya setengah tahun menikmati listrik—yang tak jarang pula “byar-pet”– itu. 

Jika rumah saja tak berpenerangan permanen, jangan terpikir saat itu ada lampu jalan. Alhasil bila bepergian di malam hari, nyaris berarti kita akan berjalan dalam gelap. Wajar bila saat itu orang-orang selalu membawa lampu senter. Tetapi saat itu lampu senter pun masih terbilang jarang, hingga orang pinggiran Kadipaten umumnya membawa colen (obor bambu berisi minyak tanah) sebagai penerang jalan. 

Dalam budaya kegelapan, wajar bila cerita hantu, ririwa, gergasi, mambang, kuntilanak, genderuwo, dan semacamnya berkembang.

Sama seperti kota-kota kecamatan lainnya di Tanah Sunda, warga Kadipaten juga mengenal Kuntilanak. Hanya kami lebih akrab dengan sebutan Kunti saja. Gambaran yang bertolak belakang dengan Dewi Kunti, perempuan suci penjaga para Pandawa yang juga akrab dengan masa kecil kami yang dipenuhi cerita dan pertunjukan wayang golek.  

Umumnya kami saat itu percaya, bila di malam hari kita mencium bau kentang, pandan atau bunga rampai (bunga tujuh rupa untuk ditabur di atas makam), atau mendengar bunyi ciap anak ayam, atau bunyi dekur entog (itik Manila), saat itu sebenarnya tengah ada Kunti mengintil kita.

Jenis hantu yang paling ditakuti anak-anak kecil saat itu tentu saja Kelong Wewe. Cerita orang tua menggambarkan hantu tersebut sebagai nenek-nenek peot dengan –maaf–, buah dada laiknya terong ungu yang panjang, terayun tanpa penutup. Konon, hantu ini suka sekali menculik anak-anak yang masih berkeliaran selepas magrib. Anak-anak itu kabarnya dibawa ke alamnya, untuk dipelihara sebagai ternak mereka.

Boleh percaya atau tidak, ketika menjelang akil balig saya punya pengalaman mengepung Kelong Wewe ini bersama warga lain. Saat itu seorang anak balita hilang selepas maghrib. Orang-orang, dengan berbagai alat yang bisa menimbulkan bunyi kemudian mendatangi tempat paling angker di kampung kami, sebatang pohon beringin besar berusia ratusan tahun, yang pada siang pun belum tentu ada yang berani mendatangi. Selain gelap, rimbunan daun, akar dan sulurnya menjadi tempat berkembang biak segala jenis ular.

Pohon itu kemudian kami kepung—saya ikut dengan penuh miris dan rasa takut. Segala peralatan kami tabuh, semua mulut mengucapkan–-kalau tidak tahlil dan takbir– berbagai mantera lama. Ajaib, sekitar 10 menit pengepungan dan pemukulan aneka tetabuhan itu, muncul suara tangis dari satu sisi pohon besar itu. Anak balita itu ditemukan! Apa alasan rasionalnya? Cari saja sendiri, saya sampai sekarang masih bingung.

‘Species’ hantu lainnya yang dikenal saat itu adalah Pocong (hantu sopan yang tak mau menanggalkan kain kafannya), Jurig Kuris (hantu penyakit kuris), Jurig Jarian (hantu selokan pembuangan), Jurig Jungkung yang tinggi langsing sampai kepalanya mencapai ujung pohon kelapa, Genderuwo, juga Wewe Gombel.

Namun yang paling ditakuti warga Kadipaten yang dekat dengan aktivitas keseharian pabrik gula, tak pelak adalah hantu Gulutuk Cengir.   Sebenarnya bila disikapi dengan ringan penuh baik sangka alias husnuz dzan, hantu ini tergolong hantu periang yang gemar mengajak manusia tertawa. Setidaknya niatnya.

 

Hantu ini biasa mendatangi orang-orang yang berjalan malam di area pabrik gula. Maklum, jalan ke beberapa kampung dari jalan raya, memang melewati pabrik gula. Kalau tengah musim giling, area ini hidup 24 jam. Bila bukan musim giling, kawasan pabrik adalah area mati, apalagi selepas waktu Isya.   

Saat orang itu tengah takut dicekam keheningan pabrik gula di luar musim giling, tiba-tiba kakinya terantuk sebongkah benda. Kelapa? Bukan, kepala tanpa leher! Yang bikin keki, kepala itu kemudian menghadap dirinya, dan dengan sok akrabnya langsung nyengir.  Alih-alih senang, biasanya yang diajak nyengir langsung pontang-panting.

Di masa-masa itu warga Kadipaten percaya, setiap musim giling meniscayakan adanya tumbal manusia (wadal). Jadi manakala ada orang tertabrak lokomotif tebu hingga kepalanya terpisah dari badan, atau badannya hancur terlindas roda besi loko, orang dengan gampang menghubungkannya dengan keharusan adanya tumbal tadi. Konon, korban yang dipilih itu akan dikelabui, bahkan dibekap telinganya oleh Jurig Torek, hingga ia tak sadar, tak mendengar datangnya loko.  Sampai roda besi melindasnya.

Di tahun 1980, saya ingat ada seseorang terlindas kereta di wilayah Karangsambung yang tanah sekitarnya ditanami tebu. Sepekan kemudian tersebar kabar, pada malam hari selalu ada tangis orang merintih di lokasi kejadian.  Belakangan, saat isu itu perlahan hilang, orang-orang percaya, seorang ‘pintar’ telah mengambil beberapa ceceran darah yang bergolak di sekitar rel. Di sanalah sumber suara rintih dan tangis itu. Tangisan itu tak lagi terdengar setelah—lagi-lagi konon–ceceran darah itu ditanam di dekat makam korban.

Tapi setelah 1983, perlahan cerita-cerita yang membangkitkan bulu kuduk itu tak lagi terdengar. Belakangan, setelah kuliah, saya sadar. Tahun itu adalah tahun awal pelaksanaan Listrik Masuk Desa (LMD) yang dicanangkan Presiden Soeharto. Mungkin setelah Kadipaten terang benderang dengan cahaya listrik, kehidupan para jurig, hantu dan demit pun kian sulit. Mereka tergusur dan berevakuasi besar-besaran. Mungkin ke lokasi baru yang lebih ayem tengtrem, yakni gunung, jurang dan hutan. Itu barangkali, yang membuat gangguan hantu, jurig dan demit kepada warga Kadipaten pun semakin menghilang. [ ]   

 

Back to top button