News

Korea Selatan Menggoda Pembantu Rumah Tangga

Putus asa melihat fenomena angka kelahiran terendah di negara itu, Korea Selatan sedang menggoda para pembantu rumah tangga dari Asia Tenggara untuk membantu keluarga dengan pengasuhan anak dan pekerjaan rumah tangga. Tawarannya pun menggiurkan.

Sebanyak 100 pembantu rumah tangga pertama diharapkan mulai bekerja akhir tahun ini sebagai bagian dari percontohan yang dapat diperluas menjadi program skala penuh meniru model yang dioperasikan di Hong Kong dan Singapura.

Di bawah proyek percontohan, yang diselenggarakan pemerintah Seoul dan kementerian tenaga kerja, pekerja rumah tangga asing akan mendapatkan upah minimum 9.620 won (sekitar Rp111.000) per jam, ditambah lembur dan tunjangan. Bayaran bulanan mereka yang diharapkan sekitar 2 juta won (sekitar Rp23 juta) akan mencapai tiga kali lipat dari jumlah yang ditawarkan di Hong Kong dan Singapura.

Program Korea Selatan juga akan menyediakan akomodasi asrama terpisah, tidak seperti di Hong Kong dan Singapura, di mana pembantu rumah tangga diwajibkan secara hukum untuk tinggal bersama majikan mereka. Meski masih dalam tahap awal, program pekerja rumah tangga Korea Selatan berpotensi mengguncang pasar tenaga kerja migran berupah rendah, kata pakar tenaga kerja.

“Korea Selatan memiliki praktik pasar tenaga kerja yang lebih baik untuk pekerja berupah rendah, termasuk tunjangan upah minimum dan cuti melahirkan serta akomodasi terpisah yang tidak dimiliki Singapura,” kata Laavanya Kathiravelu, seorang profesor di School of Social Sciences di Nanyang Technological University (NTU ).

“Faktor-faktor ini dapat membuat Korea Selatan menjadi tujuan yang lebih menarik bagi pekerja rumah tangga asing,” kata Kathiravelu kepada Al Jazeera.

Bujukan drama Korea dan K-Pop

Meskipun tidak jelas berapa banyak pekerja rumah tangga yang pada akhirnya akan terpikat ke Korea Selatan, beberapa pembantu yang bekerja di Singapura atau Hong Kong mengatakan kepada Al Jazeera bahwa mereka akan mempertimbangkan untuk pindah ke negara tersebut. Korea Selatan bisa menjadi “tujuan pilihan” bagi banyak orang jika gaji dan kondisi diatur dengan benar, mengingat popularitas budaya dan makanan Korea saat ini.

Ketika pembantu rumah tangga Filipina Metchie Oyonoyon pertama kali membaca tentang rencana Korea Selatan untuk membuka pintunya bagi pekerja rumah tangga asing, pikirannya berpacu dengan berbagai kemungkinan. Jika diberi kesempatan, Oyonoyon mengaku akan mengambil kesempatan untuk pindah dari Singapura, tempat dia bekerja selama 10 tahun terakhir, ke Korea Selatan.

Selama ini setelah menyelesaikan tugas rumah tangga dan merawat majikannya yang sudah lanjut usia, Oyonoyon, 39, menghabiskan sebagian besar malamnya untuk menonton drama Korea terbaru melalui situs web streaming di ponsel cerdasnya. Drama Korea favorit Oyonoyon termasuk Crash Landing on You, Descendants of the Sun, dan The Glory, dan dia menganggap dirinya sebagai penggemar bintang seperti Song Hye-kyo, Son Ye-jin dan Lee Do-hyun. Dia sering menonton episode sepanjang malam karena dia “tidak akan bisa tidur” tanpa mengetahui apa yang terjadi selanjutnya.

Saat Oyonoyon tidak sedang menonton drama Korea, dia menyiapkan mie kimchi pedas untuk dirinya sendiri, mengikuti blogger makanan Korea, dan mengadakan tamasya ke restoran prasmanan Korea bersama teman pekerja rumah tangganya. Dia bermimpi bisa melihat Korea Selatan di keempat musimnya.

“Saya sangat senang melihat salju di sana, melihat orang-orang mengenakan semua mantel… Ini akan menjadi sesuatu yang berbeda,” kata Oyonoyon kepada Al Jazeera. “Saya pikir banyak pekerja rumah tangga ingin pergi ke sana, karena kemungkinan gaji yang lebih tinggi dan kebebasan yang lebih besar.”

Oyonoyon adalah salah satu dari ratusan ribu pekerja rumah tangga di Singapura dan Hong Kong yang mungkin akan segera memiliki pilihan untuk bekerja di Korea Selatan. Tawaran yang menarik karena mencakup janji akan kondisi yang lebih baik dan fantasi kehidupan Korea yang dipromosikan dalam musik populer, drama, dan film.

Sementara Achala Perera, seorang pembantu rumah tangga Sri Lanka berusia 47 tahun di Hong Kong, mengatakan dia ingin pindah ke negara yang tidak memperlakukan pembantu “seperti robot” setelah bertahan dengan 16 jam hari kerja dan sedikit waktu istirahat.

“Saya mendengar dari teman-teman di Korea yang mengatakan memiliki lingkungan yang baik, perlindungan yang baik bagi pekerja… Jika memungkinkan, saya dengan senang hati melamar ke negara mana pun untuk bekerja demi keluarga yang nyaman. Saya tidak bergantung pada satu negara,” kata Perera, yang berpenghasilan sekitar 5.000 dolar Hong Kong (sekitar Rp9,6 juta) sebulan, kepada Al Jazeera.

Endang Yusita, pekerja rumah tangga Indonesia yang telah bekerja di Singapura sejak 2007, mengatakan dia juga akan mempertimbangkan Korea Selatan karena dia telah mendengar hal-hal baik tentang negara tersebut, menikmati aksi K-pop seperti BlackPink dan ingin belajar bahasa Korea. “Saya mendengar dari teman-teman saya bahwa Korea itu bagus, gajinya juga bagus… Mereka mengatakan mereka harus belajar selama enam bulan untuk membaca dan berbicara bahasa Korea,” katanya.

Tantangan bekerja di Korsel

Terlepas dari citra positif Korea Selatan di kalangan pekerja rumah tangga, para pengamat memperingatkan bahwa tinggal dan bekerja di negara yang secara historis homogen mungkin tidak berjalan mulus. Karena pekerja rumah tangga di Korea Selatan saat ini biasanya adalah keturunan Korea atau Tionghoa, banyak rumah tangga yang kurang akrab dengan budaya lain, kata Kathiravelu dari NTU.

“Pekerja rumah tangga Asia Tenggara akan datang dengan seperangkat norma dan harapan budaya yang berbeda, dan bahkan selera makanan yang berbeda,” kata Kathiravelu. “Jadi sikap terhadap pekerja rumah tangga dapat berubah dalam hal tempat mereka di rumah, dan terutama sebagai pengasuh yang membesarkan anak kecil. Mereka dapat dilihat dalam istilah yang lebih kontraktual dan sementara.”

Upah yang lebih rendah yang mungkin diterima oleh pekerja rumah tangga ini dibandingkan dengan orang Korea atau Tionghoa keturunan Korea “akan menghasilkan hierarki, di mana pekerja rumah tangga Asia Tenggara berada di bawah,” tambahnya, yang pada gilirannya dapat menyebabkan “kurangnya rasa hormat untuk para pekerja ini”.

“Sejauh ini Korea Selatan memiliki rezim imigrasi yang relatif ketat, jadi perlu ada perubahan pola pikir agar keluarga menjadi lebih nyaman dengan orang-orang dari Asia Tenggara yang bekerja di ruang intim rumah mereka dan menjaga anak-anak mereka,” imbuh Kathiravelu.

Back to top button