Market

Korban Ekonomi Berjatuhan, BI Dinilai Telat Selamatkan Rupiah

Bank Indonesia (BI) dinilai telat menyelamatkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS baik berupa kenaikan suku bunga acuan maupun operasi pasar. Korban ekonomi pun berjatuhan.

“Kebijakan BI menaikkan tingkat suku bunga relatif terlambat sehingga pasar tidak merespons positif. Capital outflow tetap terjadi sehingga rupiah akhirnya tertekan,” kata Direktur Eksekutif Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Tauhid Ahmad kepada Inilah.com di Jakarta, Senin (17/10/2022).

Sejak awal tahun hingga 26 Agustus 2022 (year to date), modal asing sebanyak Rp126,89 triliun telah keluar (outflow) dari pasar Surat Berharga Negara.

Pada saat yang sama, sambung Tauhid, operasi pasar yang dilakukan oleh bank sentral tidak terlalu signifikan. “Ini terlihat dari cadangan devisa kita yang turunnya tak signifikan ke US$132 miliar dari US$140-an di awal tahun,” ujarnya.

Meski tren cadangan devisa turun, BI tak terlalu signifikan melakupan operasi pasar untuk menstabilkan nilai tukar rupiah. “Operasi pasar yang dilakukan oleh BI belum terlalu kencang,” tukasnya.

Padahal, menurut Tauhid, posisi rupiah sudah jauh di bawah target kendali (Rp14.500 hingga Rp 14.900) sehingga krusial atau urgent untuk bank sentral jor-joran mengintervensi pasar.

Rupiah pada Senin (17/10/2022) pagi melemah 41 poin atau 0,26 persen ke posisi Rp15.468 per dolar AS dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan sebelumnya Rp15.427 per dolar AS.

Korban Ekonomi

Tauhid pun membeberkan banyaknya korban ekonomi akibat pelemahan tajam nilai tukar rupiah. Di antaranya adalah kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), kenaikan berbagai subsidi, bengkaknya nilai utang dalam dolar, impor yang semakin mahal, dan imported inflation yang semakin tinggi.

Meski begitu, Tauhid tak melihat potensi APBN ‘ambruk’. Dampaknya nyatanya adalah kenaikan subsidi BBM. Sebab, salah satu pembentuk dari harga minyak adalah nilai tukar. “Jika nilai tukar melemah, harga minyak otomatis naik. Subsidi Rp520 triliun itu masih bisa lewat,” kata dia.

“Itulah dampaknya keseluruhan kalau volatilitas pelemahan rupiah terlalu tinggi,” timpal Tauhid.

Sejak awal 2022, kata dia, nilai tukar rupiah melemah sekitar 7-8% (year to date). Ini selaras dengan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) BI di mana nilai tukar rupiah melemah Rp1.080 per dolar AS atau 7,54% dari Rp14.310 pada 4 Januari 2022 menjadi Rp15.390 pada 14 Oktober 2022.

Lebih jauh ia menegaskan, semakin tinggi pelemahan rupiah, semakin tidak bagus yang menandakan nilai tukar labil. Apalagi, target yang dipatok pemerintah berada dalam kisaran Rp14.600-14.700 per dolar AS, sudah terlewati.

“Rupiah awal tahun masih di Rp14.600-an. Baru sebulan terakhir, rupiah melemah tajam,” ujarnya.

Faktor The Fed dan Harga Minyak

Ia kemudian membeberkan beberapa faktor eksternal yang menjadi tekanan negatif bagi rupiah. Salah satunya adalah imbas dari kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral AS The Fed.

Kedua, sambung dia, pasar membaca resesi akan terjadi sehingga menganggap bahwa tingkat risiko di banyak negara, termasuk Indonesia akan melemah ekonominya. “Tanda-tandanya, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) turun ke 117,” ucapnya.

IKK pada September 2022 tercatat sebesar 117,2 lebih rendah ketimbang bulan sebelumnya sebesar 124,7. Hal itu menandakan bahwa fundamental ekonomi Indonesia mengalami gangguan. “Saya kira situasinya begitu dan Bank Dunia juga menunjukkan akan adanya risiko kenaikan inflasi,” ujarnya.

Apalagi, ditegaskan Tauhid, harga minyak dunia terus melonjak sejak OPEC tidak sepakat untuk menambah pasokan. “Karena itu, tren inflasi akan kembali meningkat seiring kenaikan harga bahan bakar minyak,” ucapnya.

Potensi Pelemahan Rupiah ke Rp16 Ribu per Dolar AS

Tauhid enggan mengungkapkan potensi pelemahan nilai tukar rupiah ke Rp16 ribu per dolar AS. Sebab, proyeksi tersebut akan memperburuk sentimen bagi rupiah di pasar.

“Untuk melemah ke Rp16 ribu, kayaknya enggak. Tapi, rupiah di atas 15 ribu masih akan bertahan hingga akhir 2022. Saya tak berani menyebut angka, karena market melihat itu memburuk,” ucapnya.

Agar tidak tembus 16 ribu per dolar AS, ia menyarankan BI lebih fleksibel dalam menaikkan suku bunga acuan meski sudah telat. “Naik bertahap 25 basis poin, kemudian 25 basis dengan lebih agresif,” ujarnya menyarankan.

Kalau sudah ada tanda-tanda rupiah menguat, dikatakan dia, BI tak perlu lagi menaikkan suku bunga acuan. “Kan ada batas toleransi berapa lama rupiah tidak bergerak di level pelemahan, saat itu pula intervensi suku bunga juga harus dilakukan,” timpalnya.

Menurut Tauhid, kemungkinan BI masih menunggu perkembangan tingginya inflasi di Tanah Air dan The Fed yang berpeluang kembali menaikkan suku bunga acuan Fed Fund Rate (FFR) kembali. “Sejauh ini, The Fed sudah ngasih signal,” katanya.

Selain itu, BI harus melakukan operasi pasar lebih giat lagi. “Capital inflow harus masuk. Yang harus dilihat juga, apakah yield (imbal hasil) obligasi naik, meski ini tidak disukai,” papar dia.

Selebihnya, pemerintah perlu menggenjot investasi asing masuk ke dalam negeri. “Dengan begitu, devisa pun diharapkan masuk baik langsung di pasar obligasi maupun melalui peningkatan ekspor sehingga ada reserve untuk BI melakukan operasi pasar,” imbuhnya.

Back to top button