News

Kisah Miris Warga Sipil Gaza Usai Tempat Tinggalnya Hancur Akibat Bom Israel

Sejumlah warga Gaza mengaku kebingungan setelah tempat tinggal mereka hancur akibat bom yang dilancarkan oleh pihak Israel.

Amer Ashour, salah satu warga Gaza, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa istrinya tengah mengalami kontraksi dan segera menjalani persalinan saat Israel mulai mengepung kawasan Gaza pada Sabtu (7/10/2023).

Ashour dan istri pun segera berlari menuju rumah sakit bersalin terdekat, dan berhasil diberkati dengan kelahiran seorang bayi laki-laki sebagai anak kedua mereka.

Nahas, setelah kedatangan bayi kedua, keluarga Ashour pulang dengan menyaksikan tempat tinggal mereka hanya menyisakan puing dan bebatuan setelah dibombardir oleh serangan Israel.

Menurut laporan Al Jazeera, Israel telah mengebom tempat tinggal mereka yang merupakan bangunan rusun 11 lantai di kawasan Al-Nasr, di sebelah barat kota Gaza.

“Apa yang paling saya khawatirkan ketika eskalasi dimulai adalah bahwa istri saya akan melahirkan,” kata Ashour seperti diwartakan Al Jazeera.

“Saya khawatir bagaimana kami akan sampai ke rumah sakit di tengah serangan yang terus menerus terjadi. Namun saya sama sekali saya tidak mengira bahwa rumah saya akan hancur oleh bom,” ujarnya dengan nada sedih.

Menurut laporan Al Jazeera, setidaknya 80 kepala keluarga lainnya juga menghuni gedung tempat tinggal Ashour tersebut.

“Hari ini, kami semua, anak-anak dan para istri kami, menjadi tunawisma,” katanya sambil mengeluarkan barang-barangnya dari reruntuhan. “Ke mana kami akan pergi di saat-saat sulit seperti ini?” sambungnya.

Bergeser sedikit menuju sisi timur Jalur Gaza, Shadi Al-Hassi dan saudara laki-lakinya juga melarikan diri dari tempat tinggal setelah serangan yang menghancurkan gedung di belakang rumah mereka.

Dalam kesaksiannya, Al-Hassi mengaku harus berlarian sebelum matahari terbit dan mengungsi menuju apartemen orang tua mereka di Al-Watan Tower di pusat Kota Gaza pada MInggu (8/10/2023).

“Pukul empat pagi, saya terkejut oleh pengumuman yang memerintahkan kami agar segera pergi dari gedung, karena terancam oleh serangan udara Israel,” kata Al-Hassi kepada Al Jazeera.

Kendaraan pemadam kebakaran dan ambulans bergegas untuk mengevakuasi penghuni gedung itu beberapa menit sebelum bom jatuh, sehingga memicu kepanikan dari para warga di gedung tersebut.

Al-Hassi mengaku begitu terkejut dengan penargetan gedung tersebut. Pasal, gedung tersebut merupakan pusat kegiatan warga sekitar dengan aktivitas sehari-hari seperti klinik, perusahaan, hingga pusat kecantikan.

Ia pun mempertanyakan klaim pihak militer Israel yang mengaku akan melakukan penyerangan jika terdapat perlawanan militer, meskipun terjadi di wilayah sipil.

“Hingga saat ini, saya masih terkejut bahwa gedung itu menjadi target mereka,” ujar Al-Hassi.

“Terdapat permukiman sipil yang aktif, dengan klinik, perusahaan, dan pusat kecantikan? Mana aktivitas militer yang telah diklaim oleh Israel?” cetusnya.

“Sekarang kita semua, saudara saya dan keluarga saya, menjadi tunawisma dalam hitungan jam dan kami tidak tahu apa yang akan terjadi berikutnya,” sambung Al-Hassi.

Di pusat kota, salah satu penghuni Al-Watan Tower, Youssef Al-Bawab juga bercerita kepada Al Jazeera bahwa mereka pada akhirnya menerima ultimatum dari pasukan Israel pada pukul 17.00 waktu setempat untuk segera meninggalkan gedung.

“Kami merasa sangat takut. Gedung itu hanya berjarak beberapa meter dari kami dan itu adalah gedung masyarakat sipil,” kata Al-Bawab.

“Kami tidak melihat ada aktivitas perlawanan seperti yang diklaim oleh Israel,” sambungnya.

Alhasil, gedung tempat tinggal Al-Bawab bersama 150 orang lainnya rusak parah dan tidak dapat dihuni lagi. Beberapa rumah dan gedung lain di sekitar Al-Watan Tower juga rusak parah akibat bom dari Israel.

Serupa dengan pengakuan Al-Hassi, Al-Bawab juga meyakini bahwa pasukan militer Israel dengan sengaja menyerang para sipil meskipun tidak ada aktivitas militer dan perlawanan yang terjadi.

“Israel mengatakan bahwa mereka menargetkan pejuang perlawanan, pusat militer, dan gedung-gedung milik Hamas, tetapi kenyataannya lain,” kata Al-Bawab.

“Saya percaya Israel dengan sengaja menargetkan warga sipil dan mengusir mereka untuk memberikan tekanan lebih pada Hamas. Tapi apa kesalahan kami? Kami harus pergi ke mana?” imbuhnya.

Di sebelah utara di area Beit Lahia, seorang warga bernama Mohammed Salah mengaku harus meninggalkan rumahnya dan mencari perlindungan di bangunan sekolah.

Pada bangunan sekolah hasil bantuan PBB tersebut, Salah tinggal bersama puluhan kepala keluarga lainnya untuk berlindung dari peperangan antara Israel dan Hamas.

“Semalam, pesawat-pesawat Israel membombardir daerah kami secara sembarangan. Situasinya sangat berbahaya, jadi saya meninggalkan rumah bersama keluarga-keluarga lainnya,” kata Mohammed Salah kepada Al Jazeera.

“Bom-bom Israel tidak membedakan antara warga sipil dan pejuang perlawanan. Dalam setiap perang, kami meninggalkan rumah kami karena serangan yang asal-asalan.”

“Kami telah hidup dalam situasi seperti ini selama bertahun-tahun, tanpa ada yang membela atau berdiri untuk kami. Kami memiliki hak untuk melawan penjajah kami,” tegas Salah.

Beberapa hari terkahir, situasi di Gaza terus memanas usai Israel dan milis Hamas saling serang. Serangan pasukan militan Palestina itu dimulai sejak Sabtu pagi, yang diklaim sebagai serangan untuk ‘mengakhiri pendudukan terakhir di Bumi’.

Pasukan Israel kemudian membalas dengan melancarkan Operasi Pedang Besi. Mereka mengeklaim operasi ini menargetkan infrastruktur Hamas di Jalur Gaza.
 

Back to top button