Kanal

Jangan Abaikan Ancaman Tsunami Long COVID-19

Kasus COVID-19 di Indonesia sudah melandai bahkan Pemerintah telah mencabut Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dan tidak lagi mewajibkan penggunaan masker di luar ruangan. Namun, ancaman masih belum berhenti mengingat masih ada kemungkinan tsunami long COVID-19.

Hingga Senin (27/2/2023), total kasus COVID-19 di Indonesia mencapai 6,74 juta jiwa dengan korban meninggal dunia 161 ribu orang. Sementara kasus harian dalam beberapa hari terakhir berada di kisaran cukup rendah di bawah 200 per hari.
Para ahli sudah memperingatkan potensi ‘tsunami’ kasus long COVID karena penelitian menemukan hampir separuh orang masih memiliki gejala. Temuan ini ‘mengkhawatirkan’ menurut para peneliti.

Studi yang dilakukan para peneliti dari University of Leicester bersama tim ahli internasional, meneliti 194 studi tentang Long COVID dan efeknya beberapa bulan setelah infeksi pertama. Studi tersebut kemudian melihat hasil kesehatan dari 735.006 orang yang selamat dari virus Corona, dengan 45 persen orang masih menderita beberapa bulan kemudian.

Gejala yang paling umum adalah kelelahan yang ditemukan pada hampir separuh kasus COVID-19 empat bulan setelah infeksi pertama kali terjadi. Ini berlaku untuk orang-orang terlepas dari apakah mereka memerlukan perawatan rumah sakit atau tidak.

“Temuan ini mengkhawatirkan karena menunjukkan sejumlah besar orang masih mengalami gejala beberapa bulan setelah COVID-19. Jika kita gagal mengatasi tonggak sejarah yang suram ini, layanan kesehatan masyarakat kita yang sudah kewalahan sekali lagi akan menghadapi tekanan besar,” kata Dr Lauren O’Mahoney, rekan peneliti di University of Leicester, mengutip Leicestermercury.co.uk.

Prediktor awal

Organisasi Kesehatan Dunia mendefinisikan long COVID sebagai gejala yang muncul tiga bulan setelah infeksi, berlangsung setidaknya dua bulan, yang tidak dapat dikaitkan dengan diagnosis lain. Gejala yang paling umum meliputi kelelahan, terutama setelah aktivitas, sesak napas, kabut otak atau kesulitan berkonsentrasi, masalah tidur, batuk kronis, nyeri dan nyeri otot, kehilangan indera penciuman atau rasa, depresi dan kecemasan.

Hanya saja tidak ada satu tes pun yang mendiagnosis long COVID. Jadi banyaknya gejala kompleks ini membuat kondisi sulit untuk dilacak, dipelajari dan diobati. Ada banyak aspek dari long COVID yang belum dijabarkan oleh otoritas kesehatan, dokter, dan peneliti.

Para akhli hanya menyebut, beberapa prediktor awal dari long COVID. Mereka yang mengalami long COVID cenderung lebih tua. Selain usia, mereka yang dirawat di rumah sakit karena COVID atau yang mengalami gejala yang lebih parah, termasuk kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari, memiliki lebih banyak penyakit penyerta atau menderita osteoartritis juga berisiko lebih tinggi terkena long COVID. Risiko long COVID meningkat pada orang dengan COVID yang lebih parah, wanita, dan orang dengan penyakit kronis, seperti diabetes, atau penyakit paru-paru atau jantung kronis.

Perkiraan long COVID pada populasi umum sangat bervariasi. Secara global, statistik penderita long COVID berbeda-beda karena desain studi yang berbeda, kurangnya kriteria pasti untuk long COVID dan berbagai jenis catatan kesehatan yang digunakan, serta pengalaman COVID yang sangat berbeda.

Sebuah penelitian di AS mengamati 4,5 juta orang yang dirawat di komunitas atau di rumah sakit, dan mengikuti mereka untuk melihat apakah mereka mengembangkan COVID yang lama. Pada enam bulan, 7 persen memiliki gejala long COVID.
Yang mengkhawatirkan, penelitian ini juga menunjukkan bahwa vaksinasi hanya mengurangi risiko long COVID sebesar 15 persen. Gejala seperti kabut otak dan kelelahan muncul, dengan vaksinasi tampaknya hanya melindungi sebagian dari gejala tersebut.

Sementara di Australia, antara 5 hingga 10 persen orang yang terkena COVID berkembang menjadi long COVID. Namun, Australia sebagian besar terlindung dari varian sebelumnya dan banyak orang setidaknya sebagian divaksinasi ketika gelombang Delta dan Omicron terjadi.

Profesor Martin Hensher, dari Menzies Institute for Medical Research di University of Tasmania, mengatakan bahwa berdasarkan data Inggris, ‘sekitar 10 persen orang yang pernah mengalami infeksi COVID mungkin masih mengalami COVID yang lama dalam tiga bulan’.

Di sisi lain, survei CDC yang sedang berlangsung di AS melaporkan bahwa di antara orang yang pernah terjangkit COVID, sekitar satu dari tiga mengalami gejala COVID yang berlangsung selama tiga bulan atau lebih.

Bagaimana di Indonesia

Saat ini banyak negara di dunia, termasuk Indonesia tidak serius menyoroti bahaya long COVID. Termasuk negara yang memiliki respons pandemi lemah, artinya terlambat dalam memberikan vaksinasi, obat, dan perawatan lainnya. Padahal disebut-sebut ancaman tsunami long COVID ini bisa terjadi di 2023 ini.

Pakar epidemiolog dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman sudah mengingatkan soal tsunami long COVID-19. Ia mengingatkan, pemerintah sudah mempersilakan masyarakat untuk melepas masker saat berada di luar ruangan namun tidak dibarengi dengan strategi komunikasi risiko yang baik. Padahal strategi komunikasi risiko yang baik penting untuk membangun kewaspadaan masing-masing individu.

“Takutnya, masyarakat jadi meremehkan, tidak pakai masker, tidak booster. Apalagi, kita ada kelompok yang rentan berisiko tinggi, misalnya penyintas HIV, kanker, lansia,” ucapnya, mengutip BI, Senin (27/2/2023).

Dicky menjelaskan, ketika seseorang terinfeksi berulang, maka dalam rentang waktu dua tahun ke atas, penyakit tersebut bisa memberikan dampak penyakit berbahaya. Meski, tidak mengalami gangguan imunodefisiensi layaknya HIV, di mana kondisi tubuh tidak mampu melawan infeksi dan penyakit, namun orang yang mengalami infeksi COVID-19 berulang, bisa mengalami gangguan imunitas hingga akhirnya mudah terinfeksi virus, bakteri dan jamur.

Apalagi, menurut sosok yang terlibat dalam pengendalian pandemi COVID-19 di kawasan Asean dan Asia Pasifik itu memaparkan, riset terakhir COVID-19 yang menunjukkan posisi, karakter dan sifat keparahan dari COVID-19 ini ada di antara HIV dan flu.

“Dia lebih parah dari flu dan sedikit lebih ringan dari HIV. Kalau HIV baru ketahuan penyakitnya saat lima tahun kemudian, COVID-19 pun, di mana dengan adanya long COVID-19 bisa membuat organ otak mengalami penuaan hingga gangguan imunitas,” ungkapnya.

Di lain kesempatan, WHO COVID-19 Technical Lead Maria Van Kerkhove pun menyampaikan kesetujuannya agar masyarakat tetap bisa mengenakan masker sampai studi komprehensif yang dilakukan WHO selesai. “Di tahun keempat pandemi kita, WHO masih tetap mencari bukti paling valid soal pandemi layaknya kita menemukan banyak fakta soal virus flu. Masker penting untuk mengurangi transmisi penularan COVID-19,” katanya.

Ancaman long COVID ini memang nyata. Selain harus mendapat vaksinasi termasuk booster, penting untuk tetap menjalani protokol kesehatan, untuk menghindari risiko infeksi COVID-19 dan juga subvariannya. Warga juga harus menguatkan imunitas tubuh dengan mengonsumsi asupan bergizi seimbang, suplemen, berolahraga dengan teratur serta beristirahat yang cukup.

Ingat, kekebalan yang baik merupakan perlindungan utama dalam mengurangi risiko paparan virus penyebab penyakit.

Lihat Juga
Close
Back to top button