Indonesia hanya mampu mencetak pertumbuhan positif bila melakukan ekspor ke China. Bila selain ke China, seluruh sektor mengalami penurunan ekonomi karena dibarengi harga komoditas yang juga ikut mengalami penurunan.
“Dan tentunya kalau kita melihat bahwa pertumbuhan yang positif satu-satunya ke China, apalagi kalau bukan pertumbuhan dari ekspor nikel,” kata Kepala Center CITI Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Andry Satrio Nugroho dalam Seminar Nasional bertajuk ‘Menolak Kutukan Deindustrialisasi Menuju Pengarusutamaan Industrialisasi Hijau’ di Jakarta, Selasa (8/8/2023).
Peningkatan pertumbuhan ekonomi ini nyatanya didorong oleh meningkatkan pertumbuhan ekspor nikel dan barang lainnya, khususnya nickel matte yang pertumbuhannya mencapai 40,29 persen. Hal ini lantas yang menjadi tantangan sendiri sehingga nanti pemerintah dapat meningkatkan nilai ekspor.
“Ini yang jadi challenge ke depan bagaimana kita bisa meningkatkan ekspor kita,” ujar Andry.
Turunnya berbagai macam ekspor ini rupanya didukung melemahnya harga komoditas serta perlambatan permintaan secara global. Selain harga minyak kelapa sawit yang lebih rendah dibandingkan dengan tahun sebelumnya, harga bijih besi juga mengalami hal yang serupa.
Dari segi impor, nyatanya baik migas dan non-migas mengalami penurunan. Penurunan di sektor non-migas terjadi akibat menurunya impor bahan baku hingga dua digit, sehingga menandakan belum mampu pemerintah memenuhi permintaan baik dalam negeri maupun domestik.
Selain itu, terjadi peningkatan pertumbuhan dari sektor konsumsi barang yang tentu disebabkan karena adanya stimulus yang diberikan oleh pemerintah beberapa waktu lalu, tepatnya di triwulan kedua. Akan tetapi, nyatanya stimulus yang diberikan pemerintah belum mampu mengalami peningkatan dari segi industri.
“Ini yang memang terjadi terkait dengan perdagangan, ada pelemahan dari ekspor dan impor, terutama dari penurunan harga komoditas,” tutur Andry.
Wahid Ma’ruf
