News

Menunggu Jurus Baru Heru Budi Atasi Macet dan Polusi di DKI

Operasi tilang emisi yang diterapkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mengatasi polusi, hanya bertahan sehari.

Sejak diberhentikan 2 November 2023, belum ada lagi kebijakan pengganti untuk menangkal polusi Ibu Kota yang makin mengkhawatirkan.

Penjabat (Pj) Gubernur Jakarta, Heru Budi Hartono, tak berdaya setelah Ditlantas Polda Metro Jaya memutuskan menghentikan tilang emisi lantaran banyak diprotes warga, khususnya pengendara sepeda motor.

“Iya, tidak apa-apa. Itu kewenangan Polda kalau (alasan menghentikan) buat kesulitan masyarakat,” kata Heru Budi kepada wartawan di Jakarta, Jumat, 3 November 2023.

Selanjutnya, razia emisi tetap berjalan, tapi tidak ada sanksi tilang. Kebijakan Pemprov DKI untuk menekan angka polusi, kini hanya sebatas imbauan.

Masalahnya, persoalan pelik Jakarta selain polusi yang mulai akut, ada juga kemacetan yang sudah menahun seakan tanpa perbaikan.

Data Bank Dunia, kemacetan Jakarta berpotensi menimbulkan kerugian hingga Rp65 triliun per tahunnya.

Jika ditambah wilayah penyangga seperti Bekasi, Tangerang, Depok dan Bogor, maka kerugian bisa mencapai Rp100 triliun per tahun!

Masalah tambah pelik jika melihat data pertumbuhan kendaraan di wilayah Ibu Kota.

Pertengahan 2023, tercatat ada 23 juta kendaraan di Jakarta berseliweran di jalanan setiap hari. Polda Metro Jaya menyebutkan bahwa jumlah itu meningkat dua hingga tiga persen per tahunnya. Dari 23 juta itu sekitar 70 persen atau 17 juta didominasi oleh kendaraan roda dua.

Sebenarnya sejumlah langkah terus dilakukan pemerintah untuk mengurangi kendaraan di Jakarta. Mulai dari integrasi transportasi umum di Jakarta, kebijakan three in one (3 in 1) dan saat ini ganjil-genap (Gage) hingga pemberlakuan kembali tilang uji emisi untuk kendaraan yang tak memenuhi indeks nilai standar gas buang ramah lingkungan.

Sejumlah kebijakan ini nyatanya belum mampu mengendalikan lalu lintas yang padat dan macet di sejumlah ruas jalan di Jakarta.

Satu kebijakan yang telah diwacanakan sejak lama yakni soal rencana penerapan kebijakan jalan berbayar elektronik atau Electronic Road Pricing (ERP) kini kembali dilirik untuk mengatasi macet dan polusi di Ibu Kota.

Sejatinya, ERP bukanlah cara baru dalam mengendalikan kemacetan lalu lintas. ERP merupakan bagian dari konsep smart city dan smart driving. ERP sebagai dasar kota cerdas tanpa kemacetan jalan akut dan pengendara atau pengguna jalan cerdas akan mampu memilih moda apa yang akan digunakan untuk bermobilitas menuju tujuannya.

Macet Jakarta, ERP Solusinya

Rencana penerapan ERP sudah diwacanakan sejak era Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso, dengan terbitnya Peraturan Gubernur Nomor 103 tahun 2007 tentang Pola Transportasi Makro.

Kebijakan itu bagaikan pisau bermata dua karena di satu sisi ERP dapat menjadi solusi kemacetan sekaligus memberikan Pendapatan Asli Daerah (PAD) untuk DKI Jakarta. Namun, di sisi lain kebijakan tersebut terhambat dalam sosialisasi dan meyakinkan masyarakat karena dinilai memberatkan perekonomian masyarakat. Untuk itu, ERP adalah kebijakan yang sangat tidak populer.

Tidak banyak kota yang menerapkan ERP, karena sulitnya mendapatkan dukungan politisi dan masyarakat. Contohnya di Stockholm, Swedia untuk menerapkan ERP, mereka melakukan referendum untuk mendapatkan persetujuan dari masyarakat.

Singapura bisa menerapkan ERP karena pemerintahnya berkomitmen kuat soal transportasi publik kemacetan dan penetapan kebijakan yang otoriter.

Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (Instran)  Deddy Herlambang mengatakan penerapan ERP lebih efektif mengurai kemacetan lalu lintas dan polusi udara di Jakarta. Siapapun yang membuat macet dan polusi itu semuanya kena denda dengan ERP.

Deddy Herlambang menilai ERP lebih efektif dan tepat sasaran dibanding dengan dua sistem pengendalian lalu-lintas sebelumnya yaitu sistem 3 in 1 dan sistem Gage. Penerapan ERP bisa memberikan rasa adil bagi semua pengendara di Jakarta.

Meskipun saat ini Jakarta punya TransJakarta, MRT Jakarta, LRT Jakarta, dan KRL Commuterline, sebagai transportasi massal, Integrasi meliputi jalur, halte dan stasiun, metode pembayaran, serta tarif, belum merata.

KRL yang biayanya terjangkau, masih jauh berbeda dengan LRT dan juga MRT Jakarta.

Integrasi transportasi di Jakarta sudah tentu membawa perubahan baik bagi warga Jakarta. Keuntungan integrasi bagi kota dan warganya tak lain adalah meningkatnya kemudahan dan kenyamanan dalam menggunakan transportasi publik massal yang juga efisien waktu.

Integrasi transportasi ini juga berpengaruh signifikan terhadap kesehatan kota Jakarta dan warganya. Bayangkan saja, dengan meningkatnya masyarakat yang memanfaatkan integrasi transportasi Jakarta, tentu tingkat kemacetan dan polusi pun menurun. Jakarta jadi lebih layak huni bagi warganya serta mendukung untuk menjadi kota bisnis dan pariwisata.

Semua langkah untuk mengurai arus kendaraan senantiasa harus dilakukan untuk memecahkan masalah kemacetan dan lingkungan yang menjadi ancaman di Jakarta.

Back to top button