Kanal

Ibrahim bin Adham tak Membalas Salam Seseorang


“Lalu mengapa Guru tidak menjawab salamnya? Bukankah menjawab salam itu wajib hukumnya?” “Aku sengaja tidak menjawab salamnya, sebab ia tidak mengerti etika menyampaikan salam. Pada dasarnya, menyampaikan salam kepada para jamaah yang sedang menyimak pelajaran itu tidak diperbolehkan, karena bisa mengganggu. Jika dia seorang yang alim, seharusnya ia mengerti. Selain itu, sudah seharusnya ia juga bergabung di masjlis ini, tidak memisahkan diri di sudut masjid.”

 

Dalam “Hilyah Al-Awliya wa Thabaqat Al-Asyfiya” karya Abu Nu’aim Al-Isyfahaniy (w. 430 H), tertulis bahwa suatu hari, saat wali sufi Ibrahim bin Adham tengah memberikan tausyiah keagamaan kepada murid-muridnya di sebuah masjid di kota Basrah, datang lelaki tua dengan mengenakan jubah hijau, lengkap dengan seuntai tasbih di tangannya. Dengan wajah yang sangat bersih dan berseri-seri, lelaki tua tersebut berkata, “Assalamu’alaikum.”

Namun, bukannya menjawab salam lelaki tua tersebut, Ibrahim bin Adham mengabaikannya. Dia malah kembali melanjutkan tausyiah keagamaannya. Dengan wajah tersenyum, lelaki tua tersebut segera menuju sudut masjid.

Setelah mengerjakan shalat sunah beberapa raka’at dengan khusyuk, lelaki tua tersebut kemudian mengangkat kedua tangannya dan berdoa sembari menangis. Ia pun mengulang salamnya kepada Ibrahim. Kembali Ibrahim bin Adham, tetap fokus pada tausyiah keagamaannya.

Merasa kehadirannya tidak diacuhkan Ibrahim, lelaki tua itu tampak sangat tersinggung dan segera meninggalkan masjid, tanpa sedikit pun menyapa Ibrahim murid-muridnya.

Melihat kejadian tersebut, para murid Ibrahim bin Adham bingung. “Mengapa Guru bersikap demikian, padahal ia seorang yang alim,” tanya salah seorang murid memberanikan diri.

“Dari mana kalian tahu bahwa dia adalah seorang yang saleh?” Ibrahim bin Adham balik bertanya.  “Tidak sekalipun kalian pernah berjumpa dengannya.”

“Jelas, ya Guru,” kata murid Ibrahim. “Ia tampak sangat saleh. Ia datang dengan mengenakan jubah dan seuntai tasbih di tangan. Bukankah itu semua merupakan tanda-tanda kesalehan?”

“Wahai muridku, kesalehan seseorang tidak selalu dapat diukur dari jubah dan untai tasbih yang ia bawa kemana-mana. Jubah hanyalah pakaian luar, sedangkan nilai di dalam tasbih tidak terletak pada biji-bijinya, tapi pada pengamalannnya,” kata Ibrahim bin Adham.

Sang murid terdiam mendengar jawaban tersebut. “Terkadang hal yang demikian justru memiliki maksud tertentu, seperti mencari perhatian orang banyak agar disanjung.”

Belum puas dengan jawaban Ibrahim, seorang murid lainnya kembai bertanya,”Lalu mengapa Guru tidak menjawab salamnya? Bukankah menjawab salam itu wajib hu-kumnya?”

“Aku sengaja tidak menjawab salamnya, sebab ia tidak mengerti etika menyampaikan salam. Pada dasarnya, menyampaikan salam kepada para jamaah yang sedang menyimak pelajaran itu tidak diperbolehkan, karena bisa mengganggu. Jika dia seorang yang alim, seharusnya ia mengerti. Selain itu, sudah seharusnya ia juga bergabung di masjlis ini, tidak memisahkan diri di sudut masjid.”

“Maaf Guru, apakah perbuatan memisahkan diri untuk melaksanakan shalat sunah dan berdoa dengan khusyuk sembari menangis itu salah?”

“Benar. Namun ia salah dan rugi besar,” jawab Ibrahim. “Selayaknya ia tahu bahwa pahala menghadiri majelis pengajian satu jam itu lebih baik daripada shalat sunah seribu rakaat. Lalu apakah tadi lelaki tua itu shalat sunah seribu rakaat? Lagi pula kita dianjurkan berdoa sembari menangis itu tidak disaksikan banyak orang, melainkan di ruang sepi di malam hari setelah shalat tahajud,”jawab Ibrahim bin Adham, panjang.

                                              ***

Seseorang mendatangi wali sufi Ibrahim bin Adham dan bertanya, “Wahai Abu Ishaq! Aku orang yang tenggelam dalam kemaksiatan, melampaui batas dalam melakukan dosa, berilah aku sesuatu yang dapat memalingkan diriku darinya.”

Ibrahim bin Adham menjawab, “Aku akan menawarkan kepadamu lima hal. Jika engkau mampu melakukan semua atau salah satunya, silakan berbuat sesukamu.”

“Tolong jelaskan kepadaku,” kata orang itu.

“Jika kamu ingin bermaksiat kepada Allah, jangan makan rezeki-Nya sedikit pun.”

“Dari mana aku dapat makanan, padahal semua yang ada di muka bumi ini adalah rezeki-Nya?”

“Kamu pikir bisa memakan rezeki-Nya, sementara kamu bermaksiat kepada-Nya? Ini jelas-jelas tidak sopan.”

“Ini sulit. Berilah aku yang lainnya.”

“Apabila kamu hendak melakukan kemaksiatan, jangan tinggal di negeri-Nya.”

“Ini lebih sulit dari yang pertama. Lantas di mana aku harus tinggal, padahal semua tempat yang ada di muka bumi ini adalah negeri milik-Nya?”

“Kalau begitu, apabila kamu ingin bermaksiat kepada Allah sedangkan kamu makan rezeki-Nya dan tinggal di negeri-Nya, lakukanlah kemaksiatan di tempat yang tidak dilihat-Nya.”

“Apa lagi ini, hai Ibrahim? Di manakah aku dapat menemukan tempat yang tidak mungkin dilihat-Nya, padahal Dia Maha Melihat isi hati, mengetahui segala rahasia dan aib?”

“Kalau begitu, apabila Malaikat Maut datang untuk mencabut nyawamu, jangan pergi bersamanya. Katakan kepadanya, “Biarkan aku tinggal di dunia ini, karena aku ingin hidup terus. Atau katakan kepadanya, berilah aku waktu hidup untuk bertobat.”

“Malaikat Maut tidak mungkin menerimanya. Jika ajalku tiba, tidak mungkin bisa didahulukan dan ditangguhkan walau sesaat.”

“Apabila malaikat pemberi siksaan mendatangimu pada Hari Kiamat untuk menyeretmu ke neraka jahanam, jangan ikut bersamanya. Kaburlah darinya dan berontak.”

“Tidak mungkin. Tidak mungkin. Mereka adalah malaikat yang kasar lagi kuat dan tidak pernah mendurhakai perintah Allah. Mereka melaksanakan apa yang diperintahkan-Nya.”

“Kalau begitu, bagaimana mungkin kamu terus berbuat maksiat?”

                                               **

Dulu, manakala Ibrahim bin Adham masih seorang raja Balkh dan belum menjalani jalan kesufian, tanpa sadar ia bertemu dengan Nabi Khidir AS.

Hari itu Ibrahim duduk di singgasananya, mendengarkan laporan para menteri dan  keluh kesah rakyatnya. Namun, pada hari itu, ada yang lain dari biasanya. Seseorang yang misterius tak bisa dihadang untuk masuk dan ikut pertemuan tersebut. Wajahnya begitu menakutkan sehingga tak ada seorang pun yang berani menegur dan menanyakan keperluannya. Ia dengan segera bisa langsung menghadap Raja Ibrahim bin Adham.

“Apakah yang engkau inginkan?” tanya Ibrahim.

“Aku baru saja sampai, berilah istirahat sejenak,” jawab orang misterius itu.

“Wahai orang asing, ini bukanlah tempat persinggahan kafilah. Ini istanaku. Perilakumu itu seperti orang gila saja,” kata Ibrahim dengan nada tinggi.

Namun lelaki misterius bukannya diam. Ia malah balik bertanya, “Siapa pemilik istana ini sebelum engkau?”

“Ayahku,” jawab Ibrahim.

“Sebelum ayahmu?”

“Kakekku,” jawab Ibrahim kesal.

 “Sebelum kakekmu siapa pemiliknya?”

“Ini warisan dari keluarga kakekku,”jawab Ibrahim kian emosi.

“Kemanakah mereka sekarang ini?” Orang misterius itu terus bertanya tanpa menunjukkan rasa takut sama sekali.

“Mereka telah meninggal dunia,” jawab Ibrahim.

“Jika demikian, tidakkah ini sebuah persinggahan yang diduduki oleh seseorang, untuk kemudian hanya ia tinggalkan dan diganti yang lain pula?” kata dia.

Mendengar penjelasan tersebut, Ibrahim bin Adham tersentak kaget. Namun sebelum Ibrahim sempat menjawab, orang misterius itu mundur ke belakang dan tiba-tiba saja menghilang.

Ibrahim bin Adham tidak menyadari bahwa orang misterius tersebut adalah Nabi Khidir AS, sampai pada pertemuan mereka selanjutnya Khidr mengakuinya. [dsy, dari “Tadzkiratul Auliya”, Fariduddin Aththar]

Back to top button