News

Gerakan Capres Alternatif, Ajak Pemilih Muda Lebih Kritis dan Partisipatif

Sejumlah pertemuan komunitas dan aktivis anak muda dalam beberapa waktu terakhir berlangsung di sejumlah kota. Pertemuan ini berlangsung dalam bentuk diskusi dan mengusung topik yang tengah hangat, yakni sikap politik anak muda menghadapi agenda Pemilu 2024.

Berawal dari pertemuan antarkomunitas kepemudaan Jawa Barat di Sumedang, Jawa Barat pada akhir Agustus 2023 lalu, sejumlah pemimpin muda menggagas sebuah gerakan bernama Nusantara atau ‘Anak Muda Satu Nusa Satu Suara’. Semangat pergerakannya mengambil semangat sejarah Sumedang yang menyatakan ‘Ingsun Medang, Ingsun Madangan’, artinya aku lahir untuk menerangi. 

Tekadnya adalah anak muda Indonesia dengan kondisi bonus demografi harus memberikan kontribusi positif bagi rakyat, bangsa, dan negara. Kini dialog komunitas dan aktivis anak muda melalui gerakan Nusantara ini sudah menjalar ke berbagai kota, seperti Medan, Denpasar, Yogyakarta, dan rencananya akan berlanjut di kota-kota lain.

Apa sajakah yang disuarakan dalam pertemuan mereka dalam kaitannya dengan Pemilu 2024? Sebagai pemilih terbesar, pemilik bonus demografi, para anak muda ini mengaku ingin lebih aktif dan partisipatif secara independen, serta terlibat dalam perumusan kebijakan yang berdampak pada kepentingan anak muda secara luas. Para pimpinan komunitas aktivis anak muda ini  menyatakan menolak politik artifisial dan eksploitasi terhadap anak muda, serta menolak sikap pesimisme anak muda dalam berpolitik.

Lebih mendasar, fenomena gerakan ini juga muncul sebagai respons kritis dan kegusaran mereka terhadap berbagai problem sosial, kesenjangan, persoalan SDM anak muda yang tidak merata, lapangan kerja, kelestarian lingkungan, pelayanan publik, sampai problem elitisme politik, oligarkisme dan fenomena dinasti yang semakin menguat.

Melalui metode serial dialog dan FGD, mereka juga bertujuan menyusun dan menyuarakan secara detail aspirasi anak muda terkait dengan kepentingan riil baik di bidang sosial ekonomi, sosial budaya dan sosial politik.

Seorang inisiator gerakan ‘Nusantara’ Anak Muda Satu Nusa Satu Suara, Raihan Muhammad Akmal, menyatakan munculnya gerakan ini adalah bentuk kritik karena selama ini isu anak muda terutama terkait bonus demografi hanya dijadikan isu pelengkap oleh elit politik sebagai display.

“Kalau pun ada itu sangat kental dengan kalkulasi elit dan oligarki. Untuk itu kami memunculkan gagasan politik alternatif, mulai dari isu-isu alternatif anak muda, usulan kebijakan yang dibutuhkan anak muda, sampai gagasan capres alternatif, kami misalnya memunculkan nama Dimas Oky Nugroho, menjadi simbol gerakan moral untuk menantang elitisme yang tidak berpihak pada perkembangan serta pemberdayaan anak muda secara nyata,” kata pemimpin komunitas muda asal Bandung itu dikutip di Jakarta, Rabu (11/10/2023).

Di Medan, Ketua DPD KNPI Sumut, Samsir Pohan menjelaskan bahwa wacana gerakan alternatif dan kritis dari kalangan anak muda adalah lazim terjadi jika merujuk tradisi dan sejarah partisipasi dan perlawanan politik anak muda di Indonesia.

“Gerakan politik alternatif ini harus ditempatkan sebagai momentum isu bersama, semacam vitamin untuk mengoreksi kehidupan politik yang artifisial, setengah-setengah dan formalitas, tapi juga rentan konflik dan penuh drama, polarisasi identitas, serta egoisme elite,” kata Samsir dalam Diskusi Publik bertema ‘Sekolah Kebangsaan Pemuda Indonesia’, baru-baru ini.

“Tantangannya adalah anak muda harus berani menjawab zaman, mengonsolidasikan isu-isu riil anak muda, dan memajukan aspirasi yang solid dan berdampak, dan bukan agenda elite,” lanjut dia.

Pada pertemuan komunitas anak muda kritis di Denpasar, Bali, pada 12 September lalu, Founder Praga Institute Arya Gangga menyatakan jika gerakan capres alternatif harus dilihat sebagai gerakan kebudayaan, bentuk protes dan bagian dari kritik anak muda yang sudah jenuh dengan dinamika politik di kalangan elite saat ini.

“Ini bagian dari kritik anak muda yang tidak dilibatkan secara esensial, katakanlah mulai dari dialog sampai dalam proses pengambilan keputusan untuk ikut membangun bangsa, padahal anak muda hari ini merupakan populasi terbesar di negeri ini. Dan mereka diharapkan untuk menjadi penggerak bonus demografi. Saya pikir memasuki tahun politik ini sudah saatnya anak muda untuk ‘speak up’ berani mengambil sikap, punya sikap politik sendiri, bukan ikut gendang elit,” ujar Arya yang juga aktivis KMHDI ini.

Di Yogyakarta, belasan pemimpin komunitas berkumpul dan menyatakan dukungan atas gerakan politik alternatif Satu Nusa Satu Suara ini. Pemimpin Komunitas Millenual.Id yang juga pimpinan komunitas anak muda nahdliyin Yogya, Fairaz Rhananda, menyatakan bahwa tujuan dari digaungkannya gerakan politik alternatif semata-mata agar anak muda peduli dengan negara, peduli dan aktif memperjuangkan isu-isu kemajuan dan kesejahteraan anak muda secara luas.

“Sehingga tidak tergantung pada konstalasi elit dan jebakan elitisme politik. Terkait dukungan kami terhadap sosok Bang Dimas, menurut sepengetahuan kami, Bang Dimas komit, membersamai dan mendukung berbagai program pemberdayaan anak muda di berbagai daerah sejak lama, ini merupakan narasi kritik terhadap perilaku elitisme politik,” ujar Fairaz dalam kegiatan diskusi  bertajuk ‘Anak Muda Ngobrol Politik’ yang digelar baru-baru ini.

Di sisi lain, Dimas Oky Nugroho merespons usulan anak-anak muda yang menggagas capres alternatif tersebut sebagai satire politik dan sikap kritis anak muda terhadap situasi saat ini yang dinilai elitis dan artifisial menjauh dari isu-isu mendasar kepentingan anak muda itu sendiri.

“Dalam sejarah aktivisme politik kita, anak-anak muda biasanya akan bergerak jika muncul kesenjangan. Fokus kami selama ini adalah ikut berpartisipasi meningkatkan SDM dan jejaring anak muda di seluruh Indonesia secara inklusif, agar mampu menjadi pemain utama, bukan penonton dalam proses transformasi sosial ekonomi dan politik,” tutur Dimas.

Back to top button