Market

Ganjar-Mahfud Ingin Terapkan Sistem Kontrak Kuota, Pakar: Bebani Nelayan Kecil

Salah satu program pasangan calon (Paslon) Ganjar Pranowo-Mahfud MD berkaitan dengan ekonomi biru, khususnya pada penangkapan ikan terukur berbasis kuota dan zonasi, melalui satelit didukung penggunaan aplikasi digital.

Kebijakan ini, sebenarnya hampir sama dengan melanjutkan rencana dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KPP) yang ingin memberlakukan sistem kontrak dengan memprioritaskan kuota bagi nelayan.

Hal ini diungkapkan oleh Pengamat Maritim dari Ikatan Alumni Lemhannas Strategic Center (ISC), Marcellus Hakeng Jayawibawa. “Hanya saja ada kelemahan dari program ini yang patut jadi perhatian dan catatan. Penangkapan ikan terukur dengan sistem kontrak kuota hanya bisa dirasakan manfaatnya oleh perusahaan kapal besar atau nelayan besar, di sejumlah Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP),” ujar Marcellus kepada inilah.com, Minggu (22/10/2023).

Ia menyatakan jika program ini diterapkan, maka nelayan kecil justru akan bersaing dengan perusahaan kapal besar dalam hal penangkapan ikan.

“Karena sebetulnya dengan terbitnya peraturan/program ini, sama saja dengan mengkapling-kapling lautan kita yang sebelumnya sudah dengan susah payah kita satukan. Nelayan dari satu daerah tidak akan lagi dapat mencari ikan di daerah lain,” jelasnya.

“Saya menyarankan jika program tersebut tetap ingin diterapkan, maka agar tidak diberlakukan kepada seluruh nelayan khususnya nelayan kecil atau tradisional. Tapi diterapkan hanya kepada nelayan besar atau perusahaan penangkapan ikan besar saja,” lanjutnya.

Terlebih, ucap dia, KPP telah melakukan penerapan tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 85 Tahun 2021 yang dinilai memberatkan nelayan. Karena ketentuan naiknya besaran tarif PNBP kepada nelayan menjadi sekitar 5-10 persen dirasa sangat memberatkan.

Padahal aturan sebelumnya, yakni PP Nomor 62 tahun 2002 mengatur kategori kapal kurang dari 60 GT hanya dikenakan tarif 1 persen. Kemudian di PP Nomor 75 Tahun 2015 naik menjadi 5 persen dengan kategori kapal kecil 30-60 GT. Dan di aturan terbaru, PP Nomor 85 Tahun 2021, ketentuan ini justru diperluas menjadi kapal dengan ukuran 5-60 GT dikenakan tarif 5 persen untuk PNBP.

“Dengan diterapkan peraturan tersebut, saya khawatir menyebabkan nelayan enggan melaporkan hasil tangkapan, karena merasa terbebani. Situasi itu tentu berdampak pada ketidakakuratan pengumpulan data produksi penangkapan ikan yang tercatat oleh pemerintah,” tutur dia.

Tak hanya itu, Marcellus bahkan mengusulkan untuk siapapun presiden dan wapres yang terpilih pada Pemilu 2024 nanti, dapat menyelesaikan beberapa permasalahan nelayan, seperti percepatan pembangunan SPBN di seluruh kampung-kampung Nelayan di seluruh Indonesia.

“Saat ini Jumlah SPBN hanya 388 buah dibandingkan dengan 11 ribuan Kampung Nelayan. Kemudian, segera dilakukan percepatan pembangunan Cold Storage di seluruh Kabupaten/Kota pesisir yang berada di seluruh Indonesia sehingga dalam 5 tahun masa jabatannya, akan terbangun minimal 300 Cold Storage di seluruh Indonesia,” imbuh dia.

Lalu presiden dan wapres di 2024 juga harus membangun akses ke dan dari pelabuhan-pelabuhan di seluruh Indonesia, sehingga ongkos angkut distribusi ikan bisa dikurangi secara signifikan. “(Terakhir), memberikan kredit berbunga ringan bagi para melayan guna memudahkan mereka, membeli kapal-kapal ikan yang lebih besar dan modern,” papar Marcellus.

Back to top button